Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

Bus begitu padat hari ini, sebenarnya selalu padat apalagi pagi dan sore. Masalahnya aku tidak pernah suka berimpitan dengan orang-orang asing yang suka sekali mendorongku. Padahal jelas-jelas mereka tahu, berdiri sepanjang perjalanan ke tujuan saja sudah cukup melelahkan, lalu mengapa perlu saling menyenggol?

Seperti saat ini, ketika aku hendak membasahi kerongkonganku yang kering sehabis mengejar bus tadi, tiba-tiba saja ada yang menyenggol ku, lantas separuh isi botol minum ku—yang seharusnya bisa menghilangkan dehidrasi ku—akhirnya tumpah dan membasahi kemeja putihku.
Asal dia tahu saja ini masih pagi untuk emosi.

Kutegakkan tubuhku lalu kulihat ada seorang pria yang melirikku aneh. Sekarang aku tidak bisa tidak berpikiran negatif terhadap pria ini, pasalnya air yang mengenai kemejaku membuat dalamanku terekspos.

“Maaf-maaf, baju kamu jadi basah gara-gara aku.”

Aku terbengong beberapa detik. Jadi dia yang menyenggolku? Oke, baiklah, dia sudah minta maaf. Tapi mengapa setelah dia memandangku dengan tatapan anehnya dan setelah beberapa menit berlalu? Aku akhirnya hanya bisa berdeham sebagai tanggapan atas ucapannya dan memindahkan tasku ke depan untuk menutupi bagian yang basah.

Sepanjang perjalanan pria itu tetap memandangku, dan dari sekian banyak pengalaman menyebalkan dalam bus, hari ini kunobatkan sebagai yang paling mengesalkan. Rasanya aku ingin menusuk kedua matanya karena berani memandangku seperti itu, ya meskipun tatapannya tidak seperti pria hidung belang seperti papanya Lira—oke, maaf untuk itu, Lir. Tapi Ayahmu benar-benar genit!

Setelah melewati persimpangan keenam terhitung dari rumahku, akhirnya bus berhenti di halte tepat samping kampusku. Namun, baru saja aku ingin melewati pintu bus, sebuah tangan menahan lenganku, ketika aku menoleh sebuah jaket langsung tersampir di pundakku.

“Pakai ini buat menutup kemejamu yang basah,” katanya.

Baru aku ingin merespons, namun orang-orang yang juga turun di pemberhentian ini mendorongku hingga aku keluar dan bus beranjak pergi. Aku hanya bisa memandangi kepergian pria di dalam bus—yang jaketnya masih berada di tubuhku—dengan tampang bodoh.

“Lihat apa 'sih sampai segitunya?”

“Lihat sesuatu yang nggak perlu kau tahu, masuk aja 'yuk.”

Aku tahu itu Rayhan sahabatku, yang memang selalu setia menungguku di halte, sebab mengapa aku langsung mengenalinya tanpa menoleh. Laki-laki yang sudah ratusan kali menawarkan untuk menjemputku saja dari pada naik bus, namun aku tetap bersikeras untuk pergi ke kampus sendiri.

Rayhan menarik tanganku masuk ke kampus. Ruangan ber-AC menyambut kami, dan itu cukup mampu membuat sejuk tubuhku setelah dua puluh menit berada di tengah sesaknya orang-orang. Setelah menaiki undakan tangga—yang tidak pernah aku ketahui jumlahnya— untuk sampai di ruanganku, lantai dua gedung ini. Aku langsung mendudukkan diri di kursi ujung kelas, dan Rayhan seperti biasa berada di sampingku.

“Pinjam catatan yang kemarin dong,” ujar Rayhan yang sudah siap dengan pulpen dan buku.
Aku menurunkan tas dan mengambil buku yang dimaksud, lantas memberikannya pada Rayhan.

“Hari ini hitam, ya?” Katanya sambil menyengir ketika mengambil bukuku.

Aku refleks menutup dadaku dan membenarkan letak jaket pria yang tadi, dan mengumpat dalam hati mengapa kemeja ini lama sekali keringnya. “Matamu minta di colok?!”

“Sabar Kin, aku nggak sengaja kali. Abis terpampang jelas gitu,” katanya lalu terkekeh sambil menyalin.

Bau parfum maskulin menusuk hidungku, setelah memakainya beberapa menit baru aku sadar bau itu dari jaket ini. Omong-omong tentang kemejaku yang basah, aku masih bingung dan sangat terkejut akan pria aneh yang tadi. Dan sekali lagi jaketnya masih kupakai! Sekarang bagaimana caranya aku mengembalikan benda ini?

“Rey....”

“Hmm.”

“Kalau misalnya ada orang asing tiba-tiba ngasih kau sesuatu, dan kau sama sekali nggak kenal dia, lal–”

“Mau nanya apa sih Kinan? To the point.

“Tadi tuh ada orang yang ngasih aku jaket, kau tahu nggak cara mengembalikannya?”

“Enggak.”

“Ishh, aku serius.”

“Coba ceritakan gimana bisa ada orang asing ngasih kau jaket.”

Aku menceritakan perjalanan dua puluh menit itu dalam tiga menit, Rayhan hanya manggut-manggut dan itu sangat tidak membantu. Dari pada memusingkan hal itu aku ingin menjulid dulu melihat postingan artis-artis yang doyan pamer barang mewah.

Tapi setelah merogoh-rogoh tas kecilku, benda itu tidak juga kutemukan. Perasaan tadi aku sudah memasukkan benda itu ke tasku, kurogoh sekali lagi, tapi tidak ketemu juga.

“Kenapa, Kin?"

“Hape aku, nggak tahu dimana," kataku berusaha tenang, karena aku tiba-tiba saja diserang kepanikan.

“Jangan-jangan ketinggalan?"

“Eh tunggu? Dompet aku juga hilang.” Sekarang aku tidak bisa untuk tidak panik.

“Serius, Kin?”

Aku menuang isi tasku, tapi kedua benda itu tetap tidak ada. Di saku jeansku juga tidak ada, bahkan aku mengeceknya berkali-kali juga tidak ada.

“Makanya kalau ke kampus sama kakakmu aja, kan jadi kecopetan di bus padat itu.”

Sungguh teman yang sangat tidak membantu!

“Gimana ini? Bisa habis aku dimarahi Mama," kataku frustasi.

“Nanti pulang aku anterin, sekalian bantu jelasin.”

“Tetap aja aku takut.”

•••

Aku melambaikan tangan pada Rayhan, laki-laki itu melaju menjauhiku setelah mengatakan 'semua akan baik-baik saja'. Dan sesuai janjinya ia benar-benar membantuku menjelaskan pada mama, tapi aku tahu, aku tidak akan lolos semudah itu.

Ketika aku hendak masuk ke kamar, suara mama mengintruksikan agar aku duduk di sofa depan mama. Aku menyiapkan hati untuk omelannya kali ini.

“Kalau kayak gini siapa yang rugi?” Mama memulai.

“Maaf, Ma."

“Kan udah Mama bilang kalau ke kampus bareng Kirana aja! Pagi-pagi bus padat, kita nggak tahu siapa yang benar-benar sibuk atau orang-orang yang mengambil kesempatan di sana. Degil sih dibilangin!"

“Maaf Ma.”

“Mama juga sudah bilang jangan pake celana jeans ketat kayak gitu, nanti apa-apa kamu kantongi gampang di ambil orang! Ada kamu dengerin?! Sok-sokan sih! Kalau sudah kayak gini senang kamu?!"

"Maaf Ma."

Beribu pembelaan berada di ujung lidahku, tapi hanya dua kata itu yang lagi-lagi kuucapkan. Rasanya semua omongan mama menyumpal pembelaan yang selama di kampus tadi aku pikirkan.

“Kamu 'mah maaf-maaf doang. Besok diulang lagi! Bisa nggak jadi anak yang penurut?!"

Penurut? Rasanya pengertian penurut terlalu rumit untuk dijabarkan. Apa maksudnya dengan aku berkuliah di jurusan pilihan mama itu bukan penurut? Apa dengan aku yang tidak pernah keluar malam sesuai yang diperintahkan mama-papa itu bukan penurut? Apa dengan aku yang selalu dibatasi dan hampir tidak pernah melewati batasan itu bukan penurut?

Hanya karena memakai jeans dan naik bus aku jadi anak pembangkang? Dengan memakai jeans aku lebih leluasa bergerak, dan aku tidak mau merepotkan Kak Kirana atau papa. Kantor mereka berbeda arah dengan kampusku, sehingga aku lebih baik sempit-sempitan di bus dari pada membuat mereka menghabiskan banyak waktu di perjalanan.

“Kalau Papa tahu kamu bakalan dimarahi lebih dari ini, jadi jangan pasang wajah seolah menjadi korban di sini!"

“Iya, Ma. Kinan minta maaf. Kinan benar-benar nggak tahu kapan Kinan kecopetan.”

“Kamu ke kamar sana, bentar lagi Papa pulang.”

Aku lagi-lagi hanya bisa menurut dan mengurung diri di kamar, sampai suara mobil papa memasuki garasi dan mama lantas memberi tahu semuanya, aku benar-benar hanya di kamar sembari mendengarkan semua pernyataan papa yang mengatakan hal-hal mengenai betapa bodohnya aku.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro