Lima
Langit malam tampak jelas dipenuhi oleh bintang-bintang, gedung-gedung yang menjulang tinggi di perkotaan tak mampu menghalangi salah satu keunikan yang dimiliki ibu kota yang terkenal suku Bataknya itu. Di sebuah kafe tongkrongan, yang seluruh dindingnya dihiasi gambar dan grafiti, sudah sepi pengunjung. Bara terdiam memandangi jalanan kota di depannya.
Pekerjaannya sudah selesai saat jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tiga puluh menit yang lalu. Dan sekarang ia tengah bersantai di bagian belakang kafe yang memang terdapat tempat duduk yang nyaman. Sekadar untuk menghilangkan penat dan jenuh menunggu temannya selesai mengganti baju, Bara mengambil gitar disampingnya.
Bara tersenyum sendiri sambil memainkan gitarnya dengan nada tidak beraturan. Pria di sampingnya berulang kali memanggil namanya namun Bara seakan tuli, akhirnya pria itu menepuk pundak Bara agak keras, membuat yang ditepuk tersadar dan segera mengusap wajahnya.
“Mikirin cewek itu lagi?”
“Aku nggak tahu cara untuk nggak mikirin dia, Bang John,” kata Bara sambil tersenyum dan memetik senar gitar yang kali ini dengan nada yang benar.
“Kau tahu? Sebenarnya aku nggak masalah kau mau suka sama siapa, tapi jangan sampai kayak gini? Kalau orang bilang, ngebucin.”
“Matanya menyihir ku untuk selalu memandangnya, sirat teduhnya membawaku pada kenangan yang sangat kurindukan, senyumnya selalu bisa membuatku memimpikan dia setiap malam, lalu bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padanya?” Bara menghentikan permainannya dan menatap lurus ke langit, “entalah, Bang. Apa pun orang menyebutnya, mungkin seperti itulah aku.”
“Bahasamu bung, kayak pujangga saja,” John terkekeh kecil, tapi tidak bermaksud menghina.
“Setiap melihatnya aku merasa dia ingin dibebaskan, entah dibebaskan dari apa? Yang pasti aku ingin selalu bersamanya untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja.”
“Kau benar-benar sangat menyukainya? Kau tahu 'kan bahwa pasti sulit untuk memberitahu tentang siapa kau sebenarnya?”
Bara menoleh pada John dan mengangguk membenarkan pernyataan itu. Satu hal yang akan selalu sulit untuk diberitahukan. Jika nanti Bara benar-benar bisa mendapatkan Kinanti, apa tanggapan perempuan itu tentangnya? Tentang pekerjaan sampingan Bara?
“Aku tidak tahu, Bang. Yang kutahu bahwa aku sangat mencintainya.”
“Sudah sangat larut, ayo pulang. Adikku sudah menunggu,” kata John tidak ingin membahas kisah cinta temannya itu lagi.
“Shena tidak pernah berharap kau pulang, Bang. Justru dia akan marah bila kepulanganmu mengganggu tidurnya.”
“Hahaha, kau tahu saja. Adikku itu memang sangat menyebalkan!”
•••
Setelah memastikan bahwa bus yang dimasukinya lagi-lagi tidak ada Kinanti di dalamnya, Bara dengan segera berseru 'pinggir' untuk memberhentikan bus. Si petugas tampak tidak suka dengan cara Bara menghampiri pria itu.
“Halte berikutnya seratus meter lagi, Bang. Tunggulah sebentar lagi.”
Bara hendak membalas ucapan si petugas tiba-tiba saja mengurungkan niatnya saat melihat motor matic dengan sepasang manusia di atasnya. Keduanya tampak berbincang dan perempuan yang berada di boncengan tampak tertawa menanggapi ucapan si pengemudi. Bara merasakan ada bagian di dadanya yang tercubit ketika melihat hal itu.
Bara mengalihkan pandangannya, tidak tahan melihatnya lebih lama. Sebagian dirinya merasa kesal, tapi sebagian lainnya mengatakan betapa bodohnya Bara karena harus merasa cemburu, karena jelas-jelas dia bukanlah siapa-siapanya kinanti. Fakta itu yang membuat Bara menahan diri untuk turun di depan kampus Kinanti, ketika motor matic tadi memasuki kawasan itu.
Patah hati oleh seseorang yang tidak kamu miliki itu sangat sakit rupanya, hati Bara berbisik.
•••
“Seharusnya sedari dulu kamu mau aku jemput, lebih hemat ongkos, dan tentunya aman.”
Kinanti melepaskan helmnya dan memberikan pada Rayhan.
“Kalau bukan mama yang pagi-pagi sudah memarahiku, aku tidak akan mau.”
“Kenapa lagi?”
Kinanti menimang, apakah seharusnya ia menceritakan masalahnya lagi pada Rayhan? Kinanti tidak ingin dipojokkan untuk kedua kalinya dalam pagi yang sama. Padahal masalah keluarga Kinanti sudah diketahui Rayhan sejak istilah sahabat tersemat di hubungan mereka.
“Tidak ada apa-apa,” ucap Kinanti pada akhirnya.
Kinanti mendahului Rayhan untuk meninggalkan tempat parkir, Rayhan segera mengejarnya karena merasa ada yang ditutupi Kinanti. Semakin Rayhan ingin menyamakan langkah dengan Kinanti, semakin Kinanti mempercepat langkahnya.
“Tunggu Kinan!” Rayhan menahan lengan kurus Kinan, “ada apa denganmu? Kamu bisa cerita seperti biasanya, kamu tahu itu 'kan? Aku akan selalu mendengarkan.”
Kinanti menyerah pada pergolakan batinnya, dan berharap kali ini Rayhan akan mengerti dirinya. Semoga saja.
“Aku tidak ingin bercerita di koridor, seperti ini.”
“Kamu pikir aku mau? Ayo ke tempat biasa.”
•••
Rooftop gedung fakultas ekonomi selalu sepi, dan hal itu yang membuat Kinanti dan Rayhan memilih tempat itu sebagai tongkrongan mereka saat menunggu waktu masuk kelas, juga tempat bagi mereka saling berbagi cerita. Dan di dekat pembatas tepi gedung ada semacam beton yang mereka jadikan tempat duduk.
“Mama memarahiku lagi,” kata Kinanti sambil melihat kendaraan yang melintas di depan kampus mereka.
“Kamu sudah mengatakannya tadi. Aku mau tahu alasannya,” ucap Rayhan yang duduk di samping Kinanti.
“Tadi pagi Bi Ija kelihatan tidak enak badan.” Kinanti mengingat keadaan Bisa Ija—pembantu di rumah Kinanti—yang menggigil dan wajah pucat wanita tua itu, ketika Kinanti tidak sengaja melintas di dapur.
“Bibi sakit, aku nggak tega biarin dia tetap kerja. Jadi aku yang menggantikannya ... memasak.” Ada helaan napas berat di kata terakhir, dan Rayhan sadar itu.
“Tante bilang apa aja, sama kamu?”
Wajah merah Hanum—ibu Kinanti, dan kata-kata kasar itu membuat Kinanti memejamkan matanya. Butuh beberapa menit bagi Kinanti untuk bisa melanjutkan ceritanya.
“Masih berharap bisa jadi tukang masak? Kamu lupa apa yang papa bilang sama kamu malam 'itu'?” bentak Hanum pada Kinan yang sedang menggoreng ikan.
“B-bukan, bukan begitu, Ma.” Kinan berusaha untuk menjelaskan tapi lagi-lagi alasan itu seakan tak ada.
“Kenapa nggak bisa ngikut apa yang dibilang mama, sih Kinan?” Hanum mematikan kompor dan menarik tangan Kinanti kasar, menyeret Kinan ke ruang di mana ada Harris, suaminya tengah menonton.
“Kenapa, Ma?” tanya Harris belum melepaskan pandangannya dari layar LED di hadapannya.
“Kinan masak lagi!” Hanum meninggikan suaranya.
Harris memandang Kinanti yang sudah pucat, seharusnya mudah memberitahu alasan sebenarnya, tapi lidahnya terlalu keluar untuk melontarkan satu kalimat saja.
“Bukan, Pa. I-tu, ta-tadi Bi—“
“Kamu mau jadi tukang masak? Nggak mau belajar manajemen?”
Kinanti menggeleng pelan, hatinya sesak saat lagi-lagi kata 'tukang masak' didengarnya.
“Bukan begitu, Pa.”
“Bukan? Lalu apa? Kamu ingin jadi seperti koki-koki di tv itu? Seberapa hebat kamu memasak?”
“Kinan nggak bermaksud, Pa.”
“Kamu lupa bahwa kamu pernah gagal lomba memasak hari itu? Kamu lupa hanya masakan rumahan yang kamu bisa?!” Harris tidak bisa lagi mengontrol tinggi suaranya.
“Kamu tidak punya kemampuan! Kamu bodoh, tapi sok-sokan mau jadi koki! Papa ingin kamu punya masa depan yang cerah. Bukan nggak jelas seperti tukang masak.”
Kinanti sakit hati. Sangat. Yang dia lakukan hanyalah diam, tidak menyangkal kebenaran itu. Yang dia lakukan adalah berusaha tidak menjatuhkan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Jangan membangkang Kinan! Jadilah anak penurut, dengarkan orang tuamu bicara,” Hanum menimpali.
“Kalau mama bilang jangan masak lagi, ya jangan. Dengar!”
Kinanti mengangguk.
“Maaf, Ma. Maaf, Pa. Kinan salah.”
Rayhan menggoyangkan tangannya di depan wajah Kinanti, dan membuat perempuan itu kembali lagi ke dirinya yang sekarang.
“Aku masak gantiin Bi Ija. Dan kamu tahu masalahnya.”
Rayhan terdiam cukup lama, seperti memikirkan soal ujian yang tersulit. Keningnya berkerut, menandakan keseriusan. Hal yang menggemaskan bila mood Kinanti sedang bagus.
“Kenapa kamu nggak bilang dulu sama Tante, mungkin mereka nggak akan salah paham. Atau bilang Kak Kirana, dulu.”
Kinanti tersenyum miris.
Bukan jawaban itu yang ingin dia dengar. Kalimat itu justru menegaskan bahwa dia benar-benar melakukan kesalahan, dan itu membuat Kinanti mengutuk dirinya yang menceritakan hal ini pada orang yang menjadi orang tuanya di kampus.
“Kinan, jangan salah paham. Orang tuamu menginginkan yang terbaik padamu.”
Lagi-lagi hatinya sakit, mendengar pernyataan dari orang terdekatnya bahwa ketika dia mengambil keputusan sendiri, ia telah melakukan kesalahan.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro