Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam


Kinanti tidak tahu keberanian dari mana yang membuatnya melakukan hal senekat ini. Yang pasti ia sedang tidak ingin berpikir, ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Ia butuh waktu untuk sendiri, begitu pikirnya.

Kinanti tidak punya tujuan ketika petugas bus menanyakannya. Jadi, Kinanti ucapkan nama sembarangan tempat yang masih di jalur transportasi itu. Pikirannya melalang buana ke angan-angan yang tidak akan pernah bisa dia raih, ia menghela napas panjang, seakan dengan melakukannya semua beban itu akan menguap.

Ada satu hal yang membuat Kinanti melupakan sejenak masalahnya, ialah tingkah aneh seorang pemuda yang sedang gusar di tempat duduknya dan seperti sedang mengawasi seorang ibu-ibu yang tertidur. Awalnya Kinanti mengabaikannya, sampai ketika pemuda itu mengambil dompet dari tas ibu-ibu itu, terlebih lagi saat itu bus hampir sampai di pemberhentian.

“Mas, copet, ya?” kata Kinanti tidak tahan dengan kejadian itu.
Si pemuda terlihat panik dan mengabaikan. Ia berdiri bersiap-siap turun. Kinanti mengikuti si pemuda, lalu menahan lengannya.

“Kembalikan dompet ibu itu atau saya teriak copet!” ancam Kinan.
Bus berhenti. Bukannya menuruti Kinanti, pemuda itu malah tergesa-gesa ingin keluar.

“Copet...! Copet...! Copet!” teriak Kinanti akhirnya, pemuda itu lari setelah mendengar teriakkan Kinan.

Orang-orang mulai mengejar pemuda tadi, Kinanti juga melakukan hal yang sama. Sedikit kesusahan ia berlari dengan rok span panjangnya. Sampai di sebuah gang kecil Kinanti terjatuh dan tertinggal, tidak ada yang memedulikannya. Pergelangan kakinya nyeri sehingga ia kesusahan berdiri.

Tepat di tengah-tengah usaha Kinanti untuk berdiri, sebuah tangan terulur di depannya. Kinanti mendongak, mendapati seorang pria yang beberapa hari ini sering mengiriminya pesan. Laki-laki itu membantunya dengan hati-hati seakan Kinanti sedang mengalami patah tulang, yang bila tidak berhati-hati tulangnya bisa terlepas.

“Katanya kamu orangnya waspadaan, tapi kenapa selalu ceroboh.”

“Kalau tidak ikhlas membantu, mendingan nggak usah. Jangan menyalahkan aku, salahkan rok yang membuat aku sulit bergerak ini,” sungut Kinanti saat ia sudah berdiri. Namun baru selangkah, denyutan nyeri membuat ia meringis kesakitan. Ternyata pergelangan kakinya keseleo cukup parah.

“Mari aku bantu. Sebenarnya kamu mau ke mana?” Bara memapah Kinanti berjalan.

“Copet tadi—”

“Mereka tidak akan bisa menangkapnya, ini wilayah mereka.”

Kinanti mengerutkan keningnya. “Dari mana kamu tahu? Kamu satu di antara mereka?”

“Aku tinggal di daerah sini,” balas Bara yang menghentikan langkahnya dan berjongkok di depan Kinanti, “bakalan lama kalau kayak tadi. Kamu aku gendong saja.”

Kinanti menggeleng, ia tidak pernah di gendong lagi semenjak SMA, lagi pula bakalan sangat awkward bila berada sangat dekat dengan Bara.

“Hei, kau hanya akan berdiam saja? Naiklah. Kakimu sepertinya lecet, kita ke rumahku sebentar, akan kuobati.”

Sekarang Kinanti benar-benar tidak ingin melakukannya, apalagi tawaran Bara yang sangat mencurigakan. “Tidak usah, aku bisa sendiri. Aku sebenarnya sedang terburu-buru,” bohong Kinanti lalu berusaha berjalan sendiri.

“Oh, ayolah. Aku tidak berniat buruk, walaupun wajahku buruk. Kau bisa menahan KTP-ku bila tidak percaya.”
Kinanti tetap berusaha berjalan, nyeri itu membuat ia tiba-tiba berhenti dan membalik badan.

“Baiklah, kemarikan KTP-mu.”

Bara tersenyum lebar dan merogoh tas kecilnya, meletakkan benda berlaminating itu pada telapak tangan Kinanti. Lantas berjongkok kembali di depan kinanti.

“Jangan terlalu rendah, naik dikit,” ujar Kinan yang kesulitan dengan rok span panjangnya.

“Uhhh, kamu berat juga, ya?”

“Diam! Ini artinya aku sehat!”

Berada di atas tubuh Bara, Kinanti dapat merasakan kerasnya punggung milik Bara, dan hidungnya tergelitik oleh bau parfum yang sama seperti yang pernah ia cium di jaketnya. Tangan Kinanti melingkar di leher Bara, dengan satu tangannya memegang KTP tadi, mengundang Kinanti untuk membaca biodata pria itu.

“Namamu hanya Bara saja?” tanya Kinanti menjulurkan kepalanya di samping wajah Bara.

“Ya. Setidaknya aku punya nama.”

“Aku 'kan hanya bertanya!” Mata Kinanti beralih pada tanggal lahirnya, terhitung sekarang berarti Bara masih dua puluh lima tahun.

“Kenapa golongan darah kamu kosong?”

“Aku tidak tahu golongan darahku.”

“Pas sekolah tidak pernah dicek?” Tanya Kinanti penasaran.

“Aku takut jariku ditusuk, akhirnya aku tidak tahu,” Bara menoleh pada Kinanti yang masih fokus melihat KTP-nya, membuat wajah mereka sangat dekat.

“Lihat depan saja sana!”

Sepanjang perjalanan Kinanti menanyakan perihal isi biodatanya, yang menurut Kinanti sangat mengundang rasa penasaran.

•••

Rumah Bara hanya berukuran enam kali enam, dengan halaman depan yang minimalis juga. Terdapat dua buah kamar, satu ruang tamu yang juga ruang santai—di terdapat satu buah TV tabung dengan antena kecil di atasnya, dapur yang sederhana dan kamar mandi kecil di sudut ruangan.

Kinanti duduk di sofa hijau yang warnanya sudah kusam, menanti Bara yang katanya mengambil obat merah. Kakinya hanya tergores, tidak parah, yang sakit adalah pergelangan kakinya yang sekarang sedikit membiru keunguan dan membengkak.

Rasanya masih sangat sakit walau tidak sesakit tadi.
Bara akhirnya datang dengan sebuah kotak ditangannya. “Aku bersihkan lukanya terlebih dahulu, ya?”

Sebuah sapu tangan bersih yang telah di celupkan ke air disapukannya pada goresan di kaki Kinanti, luka yang terkena air menimbulkan rasa perih yang membuat Kinanti meringis. Bara langsung meniup lukanya melihat raut wajah Kinanti.

“Tinggal dikasih obat merah,” katanya mengolesi kaki Kinanti.

“Kakimu juga terkilir, mau kupijat dengan minyak?”

Kinanti menggeleng. “Sakit. Biarkan saja nanti juga sembuh.”
“Jangan keras kepala, kamu mau kakimu tidak sembuh,” tanpa seizin perempuan itu Bara memijat kakinya dengan minyak yang baunya aneh di hidung Kinanti, sentuhan jarinya tidak menimbulkan sakit yang berlebih, namun rasa aneh yang membuat Kinanti tidak nyaman.

“Aku tidak suka di pegang-pegang, geli tauk!”

Bara berhenti, “kata-katamu seolah aku berbuat sesuatu padamu.”

“Lagi pula itu minyak apa? Baunya aneh.”

“Minyak Karo, terkenal cepat menyembuhkan keseleo,” jelas Bara sambil menyimpan benda itu ke kotaknya dan membereskan barang-barang yang lain. Kotak itu dia letakkan di atas meja.

“Ngomong-ngomong, kau terburu-buru ke mana tadi?” Bara mendudukkan diri di samping Kinan yang masih memperhatikan kakinya.

“Tidak ke mana-mana. Aku bolos kuliah hari ini,” aku Kinan.

“Kenapa?”

“Bukan berarti aku anak nakal aku hanya malas saja hari ini, terlalu banyak pikiran, pelajaran juga tidak akan nyangkut kalau aku tetap masuk.”

“Aku tidak mengatakan kamu nakal, itu biasa dilakukan. Setidaknya kamu ada pengalaman bolos kuliah.”
Kinanti menatap Bara, menelisik wajah pria itu. “Kamu tidak menyalahkan aku?”

“Buat apa? Semua orang pernah melakukan kesalahan, dan yang kamu lakukan beralasan,” jawab Bara santai.

Diam-diam Kinanti menghela napas, Bara tidak seperti orang tuanya. Sepertinya ia telah menemukan teman yang mengerti dirinya. Baguslah, sekarang ia tahu harus bercerita pada siapa kalau tidak mau disalahkan.

“Kamu nggak kerja?” tanya Kinanti menyadari bahwa setiap mereka berjumpa selalu di jam-jam kerja.

“Aku bekerja di salah satu kafe di daerah Setia Budi, datanglah jam tujuh malam, aku sudah stand by di sana.”

“Malam ya? Aku tidak dikasih keluar malam,” lirihnya.

“Jangan bilang kamu dilarang orang tuamu?”

“Mereka memang sangat kolot. Katanya hanya perempuan yang nggak benar yang berkeliaran malam-malam.”

“Jadi kalau pacarmu mengajak makan malam, bagaimana?”

“Aku juga tidak dibolehkan berpacaran, katanya itu berbahaya, nanti kebablasan. Seorang pria sejati tidak akan mengajak pacaran, namun menikah.”

Bara terkekeh. “Benar-benar konyol. Belum tentu pria yang langsung ngajak nikah itu baik-baik, bisa-bisa setelah menikah ternyata kalian tidak cocok.”

“Iya, benar. Terus aku jadi janda. Mana mau aku!”

“Ahahaha. Janda beranak satu yang menyedihkan.”

Kinanti mau tak mau tertawa melihat pria itu tertawa, “lalu aku akan menggendong anakku sambil nyari kerjaan. Duh, menyedihkan banget!”

“Makanya itu gunanya pacaran. Dan bilang sama orang tuamu bahwa pacaran itu tidak selalu buruk.”

“Mereka tidak akan mendengar, buang-buang tenaga melakukan itu. Dan membuat lapar.”

“Ini kode?” Kinan menjawab dengan anggukan kecil.

“Tidak ada makanan di sini, tapi beberapa gang dari sini ada rumah makan. Kamu mau kubelikan apa?”

Kinanti menimang beberapa hal yang sekarang sangat ingin ia lakukan, di tempat asing bukan di rumahnya. Di tempat ia tidak akan terkena amarah mamanya bila melakukan hal tersebut.

“Kamu ada bahan makanan? Biar aku yang masak.”

[]




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro