Dua puluh tujuh
Aku meringis saat menyapu kapas yang dibasahi alkohol ke luka di dagunya. Dia yang terluka aku yang merasakan sakitnya. Sedangkan dia tampak biasa saja, pun ketika kutekan lukanya.
"Boleh aku tahu kenapa kamu bisa seperti ini?" tanyaku setelah selesai mengobatinya.
Aku sedang menuju pulang ketika kudapati Bara terkapar di pinggir jalan dengan keadaan yang mengerikan. Awalnya aku ingin membawanya ke rumah sakit melihat banyak luka dan lebam di sekujur tubuhnya, tapi ia menolak. Akhirnya kami sekarang berada di kontrakannya. Ia tidak lagi tinggal di rumahnya yang dulu, melainkan di sebuah rumah kecil tanpa kamar, yang sepi perabotan.
Untungnya rumah Bara dekat dengan apotek, aku jadi bisa membeli salep, perban, kapas dan obat-obatan lainnya yang sekiranya berguna. Sejak tadi ia tidak banyak berbicara, hanya sepatah dua kata yang keluar saat aku bertanya.
Aku amat penasaran mengapa ia bisa seperti ini. Ia seperti di keroyok, tapi aku tidak tahu siapa yang melakukannya.
"Aku tanya kenapa kamu bisa seperti ini, Bara?" Kuulang pertanyaan yang sama saat ia tidak kunjung bersuara.
"Karena sesuatu yang tidak perlu kamu tahu," jawabnya pelan.
"Kenapa aku nggak perlu tahu?"
"Karena sudah seharusnya kamu tidak perlu tahu."
"Bara tolong, sekali saja kamu berbagi cerita padaku. Aku sudah menceritakan seluruh masalahku padamu, kamu juga harus berbagi masalahmu."
Ia kembali terdiam, membuatku semakin geram. Aku butuh tahu tentang dia, siapa tahu itu juga alasan dia menghilang.
"Kalau kamu nggak mau cerita, aku pulang saja," putusku, lalu aku bangkit berdiri.
Tangannya menahan pergerakanku, membuatku kembali terduduk di sampingnya. Aku berdecak jengah, untuk apa aku di sini jika keberadaanku saja tidak ia indahkan.
"Aku pulang, aku ada acara makan malam hari ini. Jangan buat aku dalam masalah."
"Aku mohon jangan pergi, aku akan menjelaskan semuanya," aku terenyuh melihat muka memelas penuh luka dan lebam itu.
Kudengar ia beberapa kali menghela napas. Apa penjelasannya akan sangat berat, sampai ia harus bersikap seperti itu. Aku mempersiapkan diri untuk mendengarkan apa yang ingin Bara jelaskan.
"Sebelumnya aku ingin bilang, kalau setelah kamu tau semuanya, aku ingin kamu percaya bahwa aku tidak punya pilihan lain makanya melakukan hal itu." Kuanggukkan kepala.
"Aku tidak pernah jadi supir siapa pun. Aku bohong soal itu. Aku bahkan tidak bisa mengendarai mobil."
Baru pernyataan pertama tapi aku sudah dibuat terkejut. "Kenapa, kenapa kamu berbohong?"
"Aku tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya di depan orang tuamu, Kinan."
"Aku seorang buronan."
Aku ternganga, mendadak semua sarafku mati. Aku tidak bisa mengerti ucapan itu, hal yang selalu kusangkal selama ini, kini menjadi boomerang yang mampu melumpuhkan sarafku.
"Kamu pasti sudah tahu dari Rayhan. Seharusnya kamu mendengarkannya, semua yang ia katakan tentang diriku memang benar. Juga itu alasan di balik menghilangnya aku.
"Kamu ingat, waktu pertama kali kita bertemu? Saat itu kamu adalah korban aku dan temanku. Aku sengaja menyenggolmu untuk mengalihkan perhatian. Kamu ingat John, dia yang mengambil dompet dan ponselmu. Lucunya aku malah terjebak dalam labirin matamu, aku tidak tau cara keluar dari sana.
"Sampai dengan bodohnya, besoknya aku mencarimu di setiap bus. Tidak ada yang namanya kebetulan, aku memang sudah merencanakan semua pertemuan kita. Matamu mengingatkanku akan pada Ibu. Aku ingin terus melihatnya, dengan begitu kasih sayang yang telah lama tidak kurasakan, kudapatkan kembali.
"Awalnya, semenjak mengenalmu aku ingin meninggalkan dunia gelap itu. Dinda juga sudah menyarankanku untuk tidak lagi melakukan pencurian, bahkan menawarkan untuk menaikkan gajiku. Aku menyadari kamu bisa membawaku keluar dari dunia itu, jadi aku tidak langsung memberitahukan yang sebenarnya padamu. Tapi ternyata tidak semudah itu, aku telah terjatuh terlalu dalam.
"Ditambah pamanku jatuh sakit dan butuh biaya besar. Aku tidak punya pilihan lain untuk dapat segera mendapatkan uang banyak, mencuri adalah jalan pintasnya. Aku tahu konsekuensinya, tapi sekali lagi, aku tidak punya pilihan lain." Kudengar ia mendesah frustasi dan sangat menyesal telah berbohong.
"Untungnya saat itu ada Rayhan. Selepas mengantarmu pulang, ia datang ke rumah, menemuiku. Menyarankan aku segera kabur, ia bahkan telah membelikan tiket ke luar kota. Aku tidak bisa berpikir saat itu, Kinan. Aku hanya ingin lolos, ada Paman yang masih harus kubiayai. Kalau aku dipenjara siapa yang merawat dan menanggung biaya rumah sakit Paman Toni.
"Sebulan kemudian ternyata Paman tidak bisa terselamatkan, aku hancur Kinan. Keluarga satu-satunya yang kumiliki pergi meninggalkanku."
Aku menyesal tidak mengetahui fakta ini. Seandainya aku tahu, mungkin aku bisa membantunya. Tapi tetap saja marah ia merahasiakannya sendiri. Pun keterlibatan Rayhan yang juga membuatku semakin merasa kecewa dengan kedua orang ini.
"Aku turut berdukacita. Namun, kenapa setelah lima tahun, kamu baru datang lagi? Bukankah kamu bilang sebulan kemudian kamu tahu Pamanmu meninggal berarti kamu sempat pulang dong. Kenapa tidak menemuiku?!"
"Aku butuh waktu untuk menata hidupku, belum lagi aku masih incaran polisi, aku tidak bisa bergerak leluasa."
"Lalu apa bedanya sekarang?"
"Aku sadar keputusanku salah, setelah lima tahun tersiksa sendiri dengan kerinduanku. Aku seharusnya lebih memperjuangkanmu dari pada berlarut larut dalam kesedihan. Aku baru menyadari itu semua setelah lima tahun.
"Kamu pikir hanya kamu yang tersiksa, Kinan? Aku juga. Berulang kali aku ingin mengangkat telepon darimu, tapi selalu kutahan. Aku ingin menemuimu dan menjelaskan semuanya, tapi aku sadar aku tidak akan bisa masuk ke dalam kehidupanmu.
"Sampai suatu ketika aku menyadari seharusnya aku memperjuangkanmu mati-matian. Tidak peduli apapun akibatnya. Hanya kamu kini yang kumiliki."
Aku memejamkan mata, berusaha agar tidak memakinya atas apa yang ia ceritakan. Bara tidak tahuyang terjadi seminggu ia menghilang, bahkan ia tidak meminta maaf atas apa yang ia lakukan.
Ia hanya terus mengulang kalimat pembelaan diri. Sejumput hatiku mulai tidak mempercayai lagi. Kalau ia benar-benar tersiksa jauh dariku, maka lima tahun adalah waktu yang sangat lama untuk menyadari itu. Tidakkah ia mengerti dengan waktu selama itu banyak yang akan terjadi, mengapa ia sepercaya diri itu mengatakan kembali memperjuangkanku? Ataukah dari awal ia tahu aku tidak akan bisa melupakannya?
"Kenapa setelah lima tahun, Bara?"
"Tidak ada yang tahu selama apa yang dibutuhkan seseorang untuk sadar."
Hatiku mulai goyah, pernyataannya terlalu membual. Jika benar, ia tidak akan babak belur seperti ini. Kalau tebakanku benar, ia seperti ini karena dikeroyok warga akibat mencuri.
"Jadi kamu seperti ini karena di keroyok warga?"
Ia tertawa miris lalu mengangguk, satu hal lagi yang perlahan meruntuhkan perasaanku. Ia tidak benar-benar serius saat mengatakan akan berjuang untukku.
"Kamu bisa cari pekerjaan lain. Kali ini mungkin hanya bonyok, besok siapa yang tahu? Mungkin warga akan bunuh kamu atau memenjarakan kamu."
"Sulit. Tidak ada pekerjaan yang cocok dengan orang seperti aku."
"Kamu bisa kembali bekerja dengan Dinda."
"Aku tidak mau terus-terusan menyusahkannya, lagi pula aku tidak sudi bergantung padanya lebih lama lagi. Apa lagi sekarang ia sudah berumah tangga."
Semakin aku tahu lebih banyak, semakin aku kembali mempertanyakan perasaanku. Bara selama ini hanya memikirkan tentang dirinya, ia sama sekali tidak mengerti aku. Ternyata yang dilakukannya dulu hanya semata untuk mendekatiku saja, hanya sekadar membahagiakan pacar. Ia tidak benar-benar tahu masalah apa yang kuhadapi.
Bodohnya aku dulu. Kenapa aku bisa menyukainya sedalam itu? Jelas-jelas dari semua yang ia jelaskan tidak ada sedikitpun penyesalan yang tersirat di sana. Aku meringis menyadarinya.
"Kamu akan menepati janji untuk mempercayai ucapanku 'kan? Kinan aku tidak punya pilihan."
"Aku akan menepatinya kalau kamu menikahiku. Lamar aku sekarang, ayo minta restu dari orang tuaku."
Ia membulatkan matanya, "kamu gila! Mereka tidak akan memberikan restu, lihat kondisiku, Kinan."
"Kalau begitu kita kawin lari saja. Aku sudah punya pekerjaan dan sepertinya rumah ini muat untuk kita berdua," balasku tidak mau kalah.
"Kamu tidak waras, Kinan. Menikah itu bukan perkara mudah. Aku belum memiliki apa-apa, kamu bisa hancur bila bersamaku," ucapnya sambil mendengus frustasi.
"Ayo, hancur bersama. Kamu kenapa nggak berani mengambil resiko, katanya mau memperjuangkanku?"
"Tapi tidak seperti ini, tunggu aku dapat pekerjaan."
Lagi-lagi aku mendapat pernyataan yang tidak sinkron dengan pendapat sebelumnya. Itu membuatku semakin penasaran dengan pemikiran Bara.
"Aku sudah punya pekerjaan, gajinya cukup untuk kita berdua."
"Tidak. Harusnya laki-laki yang membiayai perempuan."
Nah, sekarang ia terlihat seperti Papa yang tunduk pada standar masyarakat.
"Lalu maumu apa?"
"Jangan menikah dengan siapapun kecuali aku, tapi tunggu aku mendapat pekerjaan yang layak."
Aku tertegun, tidak percaya dengan yang ia katakan. Bara yang ini benar-benar berbeda dengan yang selama ini aku kenal. Yang ini sangat egois.
"Lebih baik aku pulang."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro