Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua puluh dua

Ada alasan mengapa kita dipertemukan, begitu katanya.

Waktu berlalu begitu cepat. Di setiap perubahan waktu, selalu ada yang berubah. Semisal rambut pendek yang memanjang. Umur yang semakin bertambah. Gelar yang sudah tersematkan pada nama, dan banyak hal lainnya.

Hanya saja satu yang tidak berubah, aku yang masih terus memikirkannya di sela-sela jeratan kesibukanku tiap harinya.

Mengedar pandangan ke seluruh sudut, aku tak lagi menemukanmu. Diantara padatnya penumpang bus, setiap harinya tidak ada dirimu. Padahal aku sudah rela mengabaikan Toy*ta Calya lengkap dengan plastik membungkus bangkunya berdebu di garasi, hanya dengan harapan dapat bertemu dengan dia lagi. Dalam pencarianku, aku jadi berpikir apakah kami tidak punya alasan lagi untuk bertemu, sehingga yang kuasa tidak lagi memberikan kesempatan itu barang sedetikpun.

Rentetan kejadian itu masih melekat erat di kepalaku. Sempat aku membencinya, namun aku tersadar bahwa itu adalah satu cara pendewasaan diri. Usai drama melukai diri yang sangat memalukan itu, aku dapat pelajaran yang berharga. Di satu sisi, aku menyesal akan perbuatan itu. Di sisi lainnya, aku kecewa mengapa saat itu masih tertolong, padahal jelas-jelas aku sudah melakukanya dengan kuat.

Percayalah hasil dari bunuh diri yang gagal itu hanya bekas luka jelek di pergelangan tanganku. Papa masih kukuh dengan pendiriannya, ia menolak jika aku mengikuti mimpiku—ini alasannya mengapa aku sekarang menjadi manager. Mama, wanita itu kini lebih lembut, namun tidak banyak banyak berubah dari sebelumnya. Kak Kirana, perempuan itu kini banyak mendukungku. Katanya di suatu waktu, aku boleh meninggalkan studi manajemenku, dan mendaftar ke jurusan tata boga. Suatu penawaran yang menggiurkan, tapi aku menolaknya, sudah cukup masalah yang kubuat. Kak Kirana akan melangsungkan pernikahan dengan Bang Neon bulan depan, persiapannya sudah sembilan puluh persen. Aku sangat senang akan itu.

Suara klakson yang nyaring menyadarkanku, aku masih berada di bus meskipun tiga puluh menit berlalu.
Jalanan Medan masih macet, semakin parah malah. Orang-orang banyak memilih membeli mobil dengan alasan jika mempunyai mobil membuktikan mereka memiliki uang bila mempunyai kendaraan beroda empat itu, terbodohi oleh stereotip yang terus-menerus berkembang tanpa memikirkan risikonya. Akhirnya jalanan semakin macet, BBM semakin mahal, dan udara semakin berpolusi. Jika sudah begitu, yang mereka lakukan adalah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang dibuat oleh mereka sendiri. Lucu sekali, sampai ingin tertawa ketika memikirkannya.

Bus berhenti di halte porwojoyo setelah berhasil lolos dari kemacetan parah. Para penumpang yang tujuannya jalan perintis kemerdekaan dan sekitarnya, satu persatu turun, pun juga aku. Kantorku adalah sebuah perusahaan dagang yang bergerak di bidang properti yang dewasa ini sangat banyak peminatnya, jam kerjanya sendiri di mulai dari pukul sembilan. Jadi, aku masih lima belas menit lagiuntuk berjalan ke gedung  berlantai lima belas itu dan sampai tepat waktu.

Dengan ringan kaki, aku melangkah masuk ke lobi, menyapa beberapa karyawan yang berpapasan denganku. Bercakap-cakap sebentar dengan Nila–si resepsionis–sebelum masuk ke lift menuju ruangan ku di lantai sepuluh.

Begitu memasuki ruanganku, aku segera mengecek beberapa data yang akan kugunakan untuk presentasi di hadapan klien satu jam kedepan. Menjalani pekerjaan yang memang bukan passionku memang sulit, namun bukan berarti aku tidak mampu.

Dua tahun lalu aku lulus dan menjadikan gelar sarjana manajemen tersemat di belakang namaku. Untuk mendapatkannya, aku harus mengikuti ujian ulang untuk beberapa mata kuliah, belajar mati-matian untuk setiap ujian, dan menyelesaikan skripsi. Walaupun setelah semua yang kulakukan, aku tetap tidak bisa menyelesaikannya tepat empat tahun seperti Rayhan. Papa memarahiku atas itu, mama juga mengomeliku, sedangkan Kak Kirana hanya menyemangatiku sekadarnya. Di tahun ke lima lebih empat bulan, aku akhirnya bisa mengenakan toga. Perjuangan yang melelahkan memang. Tapi, dengan posisiku sekarang dan gaji yang sangat memuaskan, aku tidak peduli lagi, yah ... walaupun kadang kala aku merindukan suasana memasak.

Getar ponsel samping laptopku membuatku mau tak mau harus mengeceknya, karena bukan tidak mungkin itu panggilan penting. Tanpa melihat nama si pemanggil aku menggeser ikon hijau. Suara bass menyapaku. Sudut bibirku melengkung mengetahui siapa yang berbicara.

"Apa kabar, Bu manejer?" 

Aku bangkit dari duduk dan berjalan ke dinding kaca. Melihat lurus depan, melihat satu persatu bangun tinggi pencakar langit yang kini telah menjamur di setiap titik di Medan.

"Baik. Pak CEO sendiri bagaimana? Sudah lebih dari tiga bulan tidak menelpon."

Rayhan begitu lulus segera masuk ke dunia Ayahnya, sesuai rencana sejak dulu. Melalui orang dalam—ayahnya—ia mampu menembus sebuah perusahaan besar di ibu kota dan segera mendapat posisi yang lumayan tinggi. Setelah tiga tahun berkarir, akhirnya ia dapat memimpin satu perusahaan mudah. Bagiku wajar, sebab ia memang bertalenta dalam bidang bisnis serta segala tetek bengeknya. Enam bulan lalu ia bercerita bahwa atasannya mempercayakan satu cabang perusahaan padanya karena telah berhasil meraup keuntungan 30% lebih besar dari tahun lalu.

Posisi itu masih belum terlalu tinggi katanya, saat itu aku mencibir pernyataannya. Memang perusahaan yang ia pimpin saat ini masih ukuran kecil, bahkan lebih kecil dari perusahaanku. Tapi aku tahu itulah alasan atasannya mempercayakannya pada Rayhan. Ia ingin pria itu yang mengembangkannya.

"Tidak pernah jadi baik jika belum bertemu denganmu," katanya setengah terkekeh.

Rayhan masih menjadi sahabatku. Ia masih rajin menegurku ketika aku mulai sedikit menyimpang seperti dulu. Ia juga sering kubuat begadang hanya untuk mendengarkan ceritaku, meskipun aku tahu ia sangat sibuk dan sangat membutuhkan jam malamnya untuk istirahat. Rayhan masih sama, walaupun kini penampilannya sudah sangat dewasa dan sangat menarik untuk di jadikan calon suami, ia akan tetap jadi sahabat terbaikku.

"Kapan kau kembali ke sini? Aku ingin menceritakan tentang bos-ku yang akhir-akhir semakin menggila," kukatakan dengan nada sebal mengingat si pria berkumis yang memarahiku kemarin malam.

"Hahaha, pria kumis itu masih menyusahkanmu? Sabar-sabar saja dulu. Nanti kalau kau sudah tidak tahan, kau boleh pindah ke perusahaanku."

"Aku ingin segera pindah saja. Oh, iya kau belum menjawab pertanyaanku. Kapan kau pulang?"

"Minggu depan. Tahan kerinduanmu, walaupun itu berat. Kita akan segera bertemu, sayang."

Aku berdecak. Aku tidak tahu sejak kapan, yang pasti Rayhan mulai sering menggombal padaku, meskipun kuyakini itu hanya bercanda. Namun, kesininya aku mulai tidak suka dengan sikapnya itu, apalagi ia tidak malu melakukannya di depan umum. Tidak, aku tidak akan membencinya kendati demikian.

Aku bingung mengapa dia masih jomblo sampai sekarang, padahal Rayhan itu sudah suamiable banget. Tampang, oke. Perkejaan, apa lagi. Dari keluarga baik-baik, tidak ada catatan kriminal, setia, dan sangat menghormati perempuan. Kalau aku baru bertemunya kemarin, sudah kujadikan ia target masa depanku. Sayangnya, melupakan satu orang saja sulit. Tempat di hatiku penuh dengan orang itu, sehingga tidak ada tempat kosong untuk yang baru, meskipun yang menempati entah di mana keberadaannya.

Aku pernah mencoba melupakannya, tapi tidak bisa. Jadi kujalani saja hari demi hari dengan merindukannya, berharap waktu akan membuatku lama-lama menjadi tidak mengingatnya lagi.

"Ray, tolong rayuannya disimpan aja. Nanti keluarkan itu untuk pacarmu."

"Emang Kinan nggak mau jadi pacar Rayhan?"

"Hahahaha, kau gila Ray. Lebih baik kau lanjutkan kerjaanmu. Aku sebentar lagi harus bertemu dengan klienku," kataku mengingat pertemuan itu.

"Mengapa harus kau yang turun tangan? Apa gunanya bawahanmu. Aku rasa selalu kau yang turun tangan, bahkan untuk masalah sepele," ujar Rayhan tidak terima.

Aku juga akan melakukannya, jika para karyawan yang hobi menggosip itu dapat bekerja dengan baik. Tapi nyatanya mereka hanya pandai menggibah. Aku tidak ingin mengecewakan klien jika memberikan mereka yang mengatasi.

"Ayolah, Ray. Aku akan segera memecat mereka jika saja perusahaan ini tidak memakai sistem kontrak."

Sistem kontrak membuat perusahaan tidak semena-mena terhadap karyawannya, bagus memang. Tapi menjadi tidak bagus bila karyawan yang diterima tidak bekerja dengan baik. Jika kami memecat, berarti kami harus memberikan bayaran terhitung lama masa kontraknya plus pesangon. Berlaku juga sebaliknya, jika mereka sendiri yang memilih resign, mereka yang akan membayar ke perusahaan.

"Yasudah, selamat bekerja, Kinan"

Setelah percakapan singkat itu berakhir, segera bergegas ke tempat pertemuan.

Kehidupanku benar-benar kembali normal, dan berjalan sebagaimana mestinya. Sampai aku melihatnya lagi, ia yang selama ini tak dapat kulupakan. Setelah bersusah payah bangkit ia kembali datang membuatku jatuh sedalam-dalamnya. Aku bukannya tidak menyukai dipertemukan lagi dengannya, aku senang sekali malahan. Namun, kutahu kehadirannya akan membawa kembali cerita lama itu. Cerita lima tahun lalu, tentang ia, aku dan dunia yang di sembunyikannya.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro