Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua belas

“Kenalkan ini Johnny, teman aku, dia juga kerja di Freedomios,” kata Bara memperkenalkan seorang pria berambut pirang—karena dicat, kepada Kinan.

“Kinanti,” ucap Kinan memperkenalkan diri.

“Jadi ini yang buat kau jadi bucin? Cantik banget ya.”

Berdiri di antara teman-teman Bara membuat Kinan terintimidasi, beberapa kali ia melirik Bara karena saking kikuknya. Hari Setelah mati-matian mengerjakan UAS, Kinan langsung pergi dengan Bara. Laki-laki itu berjanji akan mengenalkannya dengan teman-teman Bara, Kinan tidak menyangka bahwa teman yang dimaksud oleh Bara adalah gerombolan laki-laki menyeramkan dengan tampang bak preman. Sebagian dari mereka bahkan terang-terangan mengerlingnya, membuat Kinan semakin tidak nyaman di sana.
Pikiran Kinan penuh dengan hal negatif setelah ia melihat satu persatu dari mereka tidak ada yang kelihatan manusia baik-baik.

Sejak tadi Kinan memerhatikan teman Bara yang bernama Doni, pria itu selalu buang muka setiap kali Kinan mendapatinya mencuri pandang padanya. Wajah Doni seperti familiar, Kinan merasa ia pernah bertemu dengannya tapi entah di mana.

“Mereka itu teman-teman aku sejak aku masih SMA, kami sama-sama nggak punya biaya untuk menyambung pendidikan, teman senasib,” suara Bara membuatnya kembali fokus.

“Tapi aku nggak pernah lihat mereka di Freedomios.”

“Hanya aku dan John yang kerja di sana, yang lainnya kerja serabutan, dan sebagian lainnya kerja yang penting dapat duit.”
Aku menatap sekeliling.

Tongkrongan mereka ini terdiri dari ruang tengah yang luas, satu dapur dan satu kamar mandi kecil yang bau. Asap rokok memenuhi ruangan, namun sepertinya mereka tidak terganggu dengan itu karena sudah biasa atau karena asapnya memang dari mereka. Beberapa dari sedang bermain kartu di depan, yang Kinan tidak tahu bermain judi atau hanya permainan biasa, mereka sering mengumpat kata-kata kotor yang membuat Kinan semakin tidak betah berada di sana.

“Kamu nggak nyaman, ya? Kita pergi aja?”

Kinan menggeleng, ia tidak ingin Bara merasa ia tidak menghargai teman-temannya. Walaupun sebenarnya ia sangat tidak nyaman di sana. Tempat itu begitu mengerikan berisi orang-orang yang mengerikan juga, jiwa curiganya mengatakan bahwa mereka adalah  para maling, copet, dan begal yang  berkumpul dalam satu tempat, batinnya berteriak keras agar ia pergi saja dari sana kalau tidak ingin hal-hal berbahaya menimpanya. Tapi Bara yang tampak santai saja di sana membuatnya tidak mungkin melakukan hal tersebut.

“Kalau kamu ngerasa nggak enak di sini bilang aja, kita bisa ke Freedomios aja,” ujar Bara melihat ekspresi wajah Kinan yang sangat tidak suka berada di sana.

“Elah bocah, kalau mau pacaran di belakang aja 'gih,” tukas seorang pria yang fokus menonton pertandingan badminton di TV tabung dengan antena kecil di atasnya, sepertinya ia terganggu dengan pertanyaan Bara padanya.

“Cewek kaya dia itu mana mau lama-lama tinggal di tempat kumuh kayak gini.” Suara seseorang yang sejak tadi bermain game online.

“Sepertinya teman-temanku membuatmu tidak nyaman, kalau begitu kita pergi saja.”

“Bukan begitu, Bara. Aku hanya tidak terbiasa aja.”

“Nggak papa kalau kamu nggak suka di sini. Bawa pergi aja, Bar,” John yang memang mudah membaca ekspresi.

Tidak bisa Kinan elak lagi, mereka akhirnya keluar dari tempat itu Kinan dapat mengembuskan napas lega, tapi juga merasa tidak enak.

•••

Dinginnya es, manisnya santan bercampur gula merah dan lembutnya cendol memenuhi mulut Kinan, mereka sekarang sedang duduk di samping penjual es dawet setelah berhasil keluar dari tongkrongan yang menurut Kinan sangat menyeramkan itu.

“Tujuan aku bawa kamu ke sana, agar kamu tahu lebih jauh tentang aku. Maaf, aku malah membuatmu tidak nyaman.”

“Udalah jangan dibahas, aku mungkin agak risi gara-gara baru pertama kali kesana,” sahut Kinan cepat.

“Aku serius ketika bilang suka sama kamu.”

Kinan sekejap panik karena Bara membahas ini lagi, ia tidak punya pengalaman dalam berpacaran, jadi Kinan tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Yang ia lakukan adalah menunggu Bara berujar lagi.

“Aku ingin kenal kamu lebih jauh lagi, dan juga mengenalkanmu dengan duniaku. Maka mari kita mulai dariku.”

Bara menegakkan tubuhnya yang berada di samping Kinan dan menyerong agar mereka dapat berhadapan, Kinan melakukan hal yang sama.

“Seperti yang kamu lihat di KTP aku, namaku Bara saja. Umur dua puluh lima tahun. Seorang pelayan di Freedomios. Aku tinggal bersama pamanku di sebuah rumah kecil,” kata Bara.

“Orang tua kamu?” Kinan mendengar desahan
berat ketika pertanyaan itu terlontar.

“Ayah meninggal karena kecelakaan sewaktu aku berumur tujuh tahun, dan beberapa bulan kemudian Ibu menyusul karena depresi berat kehilangan Ayah dan hutang yang menumpuk di mana-mana. Setelah Ibu pergi, rumah kami dijual untuk melunasi hutang, dan akhirnya aku tinggal di rumah paman,” terang Bara yang di akhiri helaan napas panjang.

“Maaf, aku nggak tahu kalau....”

“Tidak apa-apa. Ada lagi yang ingin kamu tanya?”

“Kamu bilang tadi kalau kamu tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA, apa Pamanmu ... Mmm, tidak bekerja?”

“Oh, ya. Aku lupa menceritakan bagian itu. Istri Paman Tony sakit-sakitan, biaya pengobatannya mahal, jadi tidak mungkin aku tega semakin membenamkan Paman. Yah ... walaupun akhirnya Bibi tidak sembuh juga, dan meninggalkan kami setahun yang lalu.”

Kinan mengusap punggung tangan Bara. “Maaf, pertanyaan aku membuatmu mengingat kenangan sedih itu.”

Bara menyunggingkan senyum yang menandakan tidak apa-apa, lalu menggenggam tangan Kinan yang tadi ia gunakan untuk mengusap tangannya. “Aku yang minta kamu bertanya. Ada lagi?”

“Ada, sebenarnya ini sudah cukup lama ingin kutanyakan. Kamu kerja di Freedomios malam, jadi siangnya kamu ngapain?”

Bara terkejut mendengarnya, pertanyaan yang tidak diharapkannya untuk di lontarkan Kinan. Ia tidak akan pernah bisa memberi tahu yang sebenarnya.

“Siangnya aku mengurus kamu. Membawa kamu jalan-jalan, belajar masak, dan mengunjungi tempat menjual makanan paling enak di Medan, agar kamu dapat menyontek resepnya.”

“Aku serius!”

“Aku juga, dan sepanjang hari kita selalu bersama bukan?”

Kinan mencebik kesal, bukan jawaban itu yang ia mau. Meskipun pernyataan Bara memang benar. Semenjak berjauhan dengan Rayhan ia setiap hari selalu bersama Bara. Hal yang menyenangkan karena jika biasanya bersama Rayhan ia akan selalu di ingatkan dengan larangan orang tuanya, bersama Bara ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan.

“Sekarang giliran kamu.”

Menatap gelasnya yang telah kosong, Kinan tidak tahu memulai dari mana. Tidak tahu apakah ia harus menceritakan tentang kehidupannya yang sangat rumit itu atau tidak. Kinanti sudah percaya dengan Bara, dan terbukti laki-laki itu orang baik-baik—walaupun teman-temannya aneh.

“Nama aku, Kinanti Harrisyana. Anak kedua dari dua bersaudara. Mahasiswa manajemen, umur dua puluh satu tahun, yang sedang sibuk dengan perkuliahan beberapa bulan ke depan karena sudah semester enam, tapi aku sekarang tidak peduli lagi dengan itu. Sangat menyukai makanan dan hobi memasak. Ada yang ingin ditanyakan?”

“Bagaimana tipe laki-laki yang kamu suka?”

“Tolong Bara, bukan pertanyaan seperti itu maksudku."

Bara mengerutkan keningnya seperti berpikir keras. “Kenapa kamu enggak boleh masak di rumah?”

Sepertinya usahanya berpikir keras berbuah hasil sebuah pertanyaan yang langsung membuat Kinan terdiam cukup lama. Ia bingung memulai dari mana, pasalnya kalau di ceritakan secara keseluruhan, akan makan waktu berjam-jam dan yang mungkin akan membuatnya menangis, mengingat kata-kata menusuk papa dan mamanya saja sudah membuat ia sakit hati. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Bara.

“Ceritanya akan sangat panjang, kamu sanggup mendengarnya?”

“Apakah aku perlu minta cuti pada Dinda, agar bisa mendengar cerita panjang itu?”

Ditanggapi seperti itu, Kinan refleks memukul bahu Bara gemas. “Aku lagi serius Bara, dari tadi bercanda terus.”

“Aku juga serius ingin mendengar ceritanya.”

Awalnya Kinan berniat hanya memberitahukan garis besarnya saja, namun karena tanggapan Bara selalu berada di pihaknya membuat ceritanya melebar ke mana-mana. Ceritanya benar-benar panjang, sampai mereka memesan dua gelas lagi es dawetnya.

Saat menceritakannya, Kinan baru kali ini merasa begitu lepas berekspresi, ia tidak perlu merasa bersalah karena telah jadi anak pembangkang bersama Bara. Ketika ia meluapkan kekesalannya terhadap papanya, Bara juga tidak menyalahkannya. Itu sebabnya masalah tentang ia dan Rayhan juga di ceritakannya. Sepanjang bercerita Bara tidak menyela, hanya sesekali mengangguk membenarkan pendapat Kinan.

“Aku nggak ngerti mau mereka apa? Aku susah banget paham tentang ekonomi padahal jelas-jelas dulu mereka yang nyuruh ambil IPA di SMA, terus tiba-tiba maksa ambil jurusan IPS di kuliah. Gila bayangin aja gimana lelahnya memahami semua itu, otak aku rasanya mau pecah ketika tiba-tiba kuislah atau UAS-nya nggak ada kisi-kisi. Mau tau yang lebih gila apa? Mereka ingin nilai aku tinggi.”

“Kenapa nggak coba kasih tahu mereka? Jelaskan baik-baik.”

“Aku maunya gitu, tapi aku dibuat nggak punya kesempatan. Mereka maunya didengar aja. Sekali salah, ya tetap salah, walaupun alasan dibaliknya baik.”

“Orang tua kamu mungkin punya alasan kenapa mereka memperlakukan kamu seperti itu, tapi mereka nggak punya hak untuk mengatur hidupmu. Mereka seharusnya tahu kamu tersiksa dengan perlakuan mereka. Jadi, karena aku bukanlah orang yang memiliki jiwa penasihat yang baik, yang aku bisa katakan adalah, kamu yang bisa mengubah hidup kamu. Kamu yang berhak memilih bukan mereka.”

Seseorang yang berbeda akan memberikan tanggapan yang berbeda juga. Kinanti senang ada orang yang mengerti dirinya. Dan semakin ke sininya, Kinanti paham ia bukan hanya nyaman dengan Bara, namun juga telah jatuh hati.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro