
Delapan belas
Pintu itu tak kunjung terbuka walaupun sudah berulang kali kugedor. Aku berteriak memanggil namanya berkali-kali, pun tak kunjung ada respons dari dalam. Tidak habis akal, selepas tidak mendapat hasil dari rumah Bara aku segera memesan ojek online. Tidak butuh waktu lama, motor dengan supir berjaket hijau datang.
Dalam perjalanan menuju tujuanku, aku tidak henti-hentinya menelpon Bara, berharap agar sambungan itu terhubung. Jalanan macet membuatku hanya bisa menggeram di belakang si ojol. Tayangan vidio yang kutonton dari laptop Rayhan memenuhi isi kepalaku, berputar-putar, membuatku tidak bisa tenang sebelum aku melihat sendiri faktanya.
Beruntunglah macet berakhir setelah polisi lalu lintas menertibkan penyebab macet, aku tidak tahu bagaimana kalau macet ini berlangsung lama, mungkin aku akan mengamuk di tempat dan memaki semua pengendara di sekitarku.
Setelah memberikan ongkos lekas kutelusuri gang sempit yang hanya bisa di lalui oleh pejalan kaki. Aku tahu jalan ini karena terkadang Bara suka mengajakku pergi kemari dengan bus, sebab keretanya dipinjam temannya. Ia mengatakan bahwa jalan ini akan langsung tembus ke tempat tongkrongan itu.
Pintunya tidak dikunci ketika aku membukanya, seakan tidak ada barang yang berharga di dalamnya, padahal seingatku ada TV, kulkas kecil, dan peralatan memasak di sana. Aku menganga lebar melihat tempat menyeramkan itu semakin menyeramkan dengan tampilan yang berantakan. Banyak barang-barang yang tergeletak sembarang, juga beberapa di antaranya hancur dan rusak.
Saat aku ingin semakin dalam menelusuri tempat itu, sebuah tangan menyentuh pundakku, aku sontak berteriak saking kagetnya. Pria paruh baya dengan wajah bersahaja memandangku penuh curiga, dan sekarang aku baru tahu pandangan mencurigai itu sangat tidak nyaman bila diri kita yang mendapatkannya.
"Mbak ini salah satu dari mereka, ya?" Tanya pria itu begitu aku menormalkan wajah terkejutku.
"Salah satu dari mereka? Memangnya ada apa dengan orang-orang yang sering berada di tempat ini?"
Masih menatapku curiga si pria bersahaja itu membawaku keluar, lalu menujuk bagian kaca jendela yang pecah dan bagian dinding yang rusak. Di dinding kutahu bahwa penyebabnya adalah sebuah peluru yang ditembakkan.
"Semalam tepat pukul satu penggerebekan oleh densus 88 pada rumah ini. Berdasarkan desas-desus yang saya dengar, mereka yang sering nongkrong di sini itu adalah sindikat kriminal, ada maling, ada tukang palak, ada begal dan mungkin pengedar narkoba. Yang pasti mereka sudah jadi incaran polisi selama ini," jelas pria itu.
Penjelasan itu sanggup membuatku semakin panik dan jantungan, secara refleks kutekan lagi nomor ponsel Bara, berharap besar bahwa sambungan kali ini diangkat. Aku tidak akan percaya sebelum Bara sendiri yang menjelaskan.
•••
"Kamu pasti tahu sesuatu, Dinda," kukatakan demikian dengan nada frustasi.
Satu-satunya harapanku adalah jawaban dari Dinda. Perempuan itu pasti tahu masalah ini, namun sejauh ini yang dapatkan hanyalah jawaban pendek, 'aku tidak tahu di mana dia'. Karena tidak puas dengan jawaban itu aku kembali membujuk dan memohon pada Dinda yang sekarang memfokuskan dirinya padaku setelah sebelumnya fokus pada lembar-lembar kertas di mejanya.
"Aku. Tidak. Tahu."
"Please, Dinda. Aku sudah sangat frustasi dengan menghilangnya dia hari ini."
"Mungkin saja dia ada urusan yang penting di luar kota, atau ada acara lainnya," tukas Dinda karena aku yang mulai gila dengan semua ini, semuanya terlalu nyata untuk dikatakan hanyalah sebuah mimpi buruk.
"Tapi kenapa dia tidak mengangkat telepon dariku."
"Baru sehari, kalau dua puluh empat jam tidak jua kamu mendapat kabar darinya, berarti kau berhak frustasi. Tapi ini baru beberapa jam, seingatku terakhir kali ia membalas WA-ku semalam pukul sebelas malam. Kalau memang dia menghilang, kamu boleh nangis dan frustasi."
Aku tahu itu sindiran halus untukku yang sekarang sedang menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Aku tidak ingin ucapan Rayhan benar adanya, aku tidak ingin lagi-lagi harus mengakui bahwa keputusanku ternyata salah. Aku nggak mau salah, tidak mau disalahkan lagi.
Kujambak rambutku sendiri saat rasanya sakit kepala menyerangku yang tidak bisa berpikir apa-apa selain berharap dapat bertemu dengan Bara dan mengetahui bahwa Bara adalah pilihan terbaik yang pernah aku putuskan.
"Kinan, maaf, aku memang tidak punya info apa-apa tentang dia. Kalau pun ada bakalan aku beri tahu dari tadi."
Mendadak aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi, berbagai spekulasi bermunculan menentang pendirianku. Bisikan-bisikan aneh mengatai tentang kebodohanku, lama-lama bisikan itu berubah menjadi teriakan yang memecahkan telinga.
Aku lagi-lagi tidak bisa menahan untuk tidak menggeram, Dinda yang melihatku mulai panik dan memberikan kata-kata penenang yang sama sekali tidak bisa kudengar sebab bisikan ditelingaku lebih mendominasi alam bawah sadarku.
Laki-laki itu benar-benar membuatku gila. Belum lagi tiba-tiba saja sosok yang tidak kuharapkan hadir di ruangan Dinda. Wajahnya tampak ngos-ngosan, mungkin ia berlari untuk ke sini, tapi terlihat jelas kecemasan di rautnya.
"Aku nyariin kamu, kenapa tiba-tiba lari tadi? Kinan jangan bertindak gegabah, polisi bisa menyangka kamu salah satu dari mereka kalau kamu lagi-lagi dekat dengan eksistensi Bara."
"Cukup! Aku nggak mau dengar satu kata lagi yang menuduh Bara macam-macam!"
"Sadar Kinan, dia bukan orang baik-baik."
"Berhenti untuk membuat aku semakin marah!"
"Kinan...."
"Pergi! Aku ingin Bara sendiri yang mengatakan faktanya!"
"Ia tidak akan kembali, sebab bila ia keluar dari tempat persembunyiannya polisi akan menangkapnya."
"Bohong! Bohong! Bohong! Aku tidak percaya. Kamu iri 'kan aku punya teman cowok selain kamu? Selama ini hidup aku cuma berputar-putar di sekitar kamu, giliran aku punya yang lain, kamu pasti tidak suka. Aku akan tetap berada di pihak dia apa pun nanti kenyataannya!"
Setelah mengatakannya, sedetik kemudian, aku terdiam, tidak tahu kenapa atau mengapa, aku sendiri tidak mempercayai apa yang kukatakan. Yang kutahu aku teramat sangat tidak suka bila ada orang yang menghina Bara di depanku, mereka tidak tahu saja apa yang sudah Bara berikan padaku. Sebuah kebahagiaan dan kebebasan yang selama ini ku inginkan.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro