Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 44] Hasil Akhir

Bantingan pigura dan botol parfum memecahkan telinga. Tak mampu berkata-kata, Seruni menatap nyalang lantai kamar Gempita yang sudah berserakan pecahan logam serta kaca. Di dekat meja rias, Gempita memandanginya dengan wajah memerah.

"Kenapa Tante jadi lebih ikutan membela gadis itu?! Dia bukan siapa-siapa Tante, kan?"

Seruni merasa jantungnya berdenyut lemah mendengar teriakan itu. Tak pernah disangka-sangkanya, bahwa Gempita yang selalu dirindukan keluarga Mahameru selama ini ternyata memiliki sifat yang sekeras ini.

"Dia memang bukan siapa-siapa, Tante!" Seruni menjawab dengan suara menggelegar yang tak kalah keras. Dengan hati penuh dongkol, ia berjalan cepat mendekati Gempi yang nyaris berubah seperti orang gila begitu Seruni memberitahuinya tentang syarat yang Arum berikan.

Memang, klarifikasi di media sosial akan memberi dampak yang hampir sama mengerikannya dengan penjara. Gempi bisa langsung mendapatkan celaan sosial dari orang-orang. Apalagi sekarang ia sudah dikenal sebagai bagian dari keluarga Mahameru yang punya nama baik dalam kalangan pengusaha di Jogja. Tapi, semua resiko ini ditumbuhkan oleh Gempi sendiri. Maka, dia yang harus menuai hasilnya.

"Dan kamu adalah keponakan Tante, Gempi! Anak dari orang tua yang sangat dikenal kebaikannya. Jadi, tolong jaga sikap kamu! Agar bisa jadi bagian dari Mahameru yang pantas!" Penekanan pada satu kata terakhir Seruni membuat darah Gempi mendidih. Satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum sinis.

"Gimana bisa Tante bicara kayak gitu, sementara orang tua aku sendiri yang udah ninggalin aku!" jerit Gempi dengan suara melengking.

Tatapan seruni nanar, ia bisa merasakan kepahitan dari teriakan Gempi. Raungan gadis yang kini menatapinya dengan napas tersengal, kembali membumbungkan rasa bersalah yang selama ini Seruni pikul puluhan tahun. Bukan hanya kakaknya, Sekar, yang merasa menyesal karena telah lalai menjaga Gempi. Seruni pun.

Sandainya saja perpisahan itu tak pernah terjadi, tidak, seandainya saja mereka tak pernah berlibur ke Jakarta, mungkin saat ini Gempi sudah tumbuh menjadi perempuan bersifat lemah lembut seperti ibunya.

"Mungkin orang tua kamu salah dan teledor tidak menjaga kamu dulu, Gempi. Tapi mereka enggak pernah meminta pada Tuhan untuk menjauhkan kamu dari mereka. Tante yang melihat seberapa sakitnya mereka kehilangan kamu. Dan selama itu, Tante juga yang menjadi saksi seberapa baiknya Gallend melindungi mereka, padahal dia hanya anak angkat. Tapi sikap dia jauh lebih erat dari sekedar hubungan darah."

Tak ada yang bersuara lagi. Sampai Seruni berkata lagi dengan penuh ketegasan.

"Suatu saat kamu akan jadi penerus perusahaan, Gem. Seharusnya kamu belajar banyak hal dari pengalaman pahit. Seperti Gallendra. Bukan hanya kamu yang punya masa lalu buruk. Anak itu juga melalui hidupnya tanpa orang tua, bekerja keras dari kecil tapi enggak pernah mengeluh sama sekali!"

Gempita menarik napas yang tercekat, ketika suara tantenya kembali mengisi ruang sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkan ia yang larut dalam tangisan.

"Ini ultimatum terakhir dari Tante. Segera buat klarifikasi di semua medsos kamu. Sekarang! Kalau kamu tetap enggak mau, Tante enggak masalah kalau Arum tetap memenjarakan kamu. Mungkin di sana, kamu bisa menggunakan akal sehat dengan lebih baik."

*

"Selamat ulang tahun, Tante. Semoga panjang umur dan sehat selalu."

Nyatanya, hubungan darah memang membuat kita memiliki jalinan yang tak akan bisa dilepas. Tapi hubungan tanpa darah yang dibalut penuh cinta dan kesetiaan, tetap mampu menjadikan kita sebagai keluarga.

Seharusnya Seruni mengingat kata-kata orang tuanya dulu dengan baik. Karena terbukti, orang yang pertama kali mengucapkan selamat ulang tahun padanya—selain suami—adalah Gallend. Bahkan, bukan Gempita.

Pagi-pagi sekali Gallend datang tanpa memberitahu, mengejutkan Seruni yang sempat kebingungan mendengar ketukan di pintu selepas subuh.

"Gallend.." Seruni hampir terisak. Menatap kue ulang tahun yang baru saja Gallend keluarkan dari dalam kotaknya di atas meja makan. Ternyata Gallend tetap mengingat tanggal ulang tahunnya. Padahal terakhir kali bertemu, adalah ketika Gallend mengatakan pada Gempita bahwa ia setuju memberikan perusahaannya.

"Terima kasih, Nak."

Gallend tersenyum. Untuk kesekian kalinya. Mungkin pemaksaan yang telah Seruni lakukan, menciptakan jarak di antara mereka. Kejahilan Gallend yang biasanya kerap Seruni terima, hari ini tidak ada.

Mengerjap menahan pedih, Seruni berkata, "sebentar, Tante ambil pisau kue dulu. Kamu makan di sini nanti sama-sama Tante dan Om, ya, Lend?"

Gallend menggangguk. Menyapu cepat airmatanya, Seruni melangkah ke counter dapur. Membawa pisau ke ruang makan dan mulai memotongnya menjadi beberapa bagian berbentuk segitiga. Ia terlalu larut dalam haru hingga tertergun begitu ucapan Gallend terdengar.

"Ada yang mau aku sampaikan, Tante. Karena itu, aku mengantar kuenya langsung ke sini."

*

"Gallend," Seruni menatap Gallend yang duduk di sofa tunggal, tepat di sebelah sofa yang dirinya sendiri duduki di ruang tamu.

"Tante minta maaf, ya. Apa yang Tante lakukan untuk kamu kemarin, Tante sadar itu salah."

Senyuman Gallend melegakan hati Seruni.

"Gallend juga minta maaf, Tante. Gallend enggak bisa mengabulkan keinginan Tante. Gallend ngerti maksud Tante baik, tapi Gallend benar-benar enggak bisa memaksakan diri untuk mencintai Gempita."

Seruni bergeleng kuat. "Tante tau. Tante sama Om minta maaf. Tante sudah salah karena belum bisa bersikap tegas pada Gempi."Seruni menggenggam tangan kanan Gallend yang berada di atas lengan sofa, menepuk-nepuknya penuh kehangatan. Dulu sekali, Gallend sering mendapatkan perlakuan tulus seperti itu dari ibu angkatnya, Sekar.

Sebersit kerinduan menyeruak di hati Gallend.

"Mulai sekarang.. apa pun keputusan kamu, pilihan kamu, Tante dan Om akan dukung selama itu baik. Tapi, mau, ya, kamu balik lagi ke keluarga ini. Tante akan minta Gempi untuk memberikan Mahameru Production lagi ke kamu. Gimana pun itu hak kam—"

"Aku akan ke Jakarta, Tante."

Merasa telinganya salah mendengar, Seruni mengerjap kaget. "A—Apa?"

"Aku akan menetap di sana." Jawaban Gallend kembali membuat Seruni yakin bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

"Kenapa tiba-tiba.." suara Seruni tersendat, keterkejutan membuatnya tak bisa melanjutkan kalimat.

"Aku.." Gallend menunduk sesaat, sebelum mengangkat wajah lagi untuk mengucapkan kalimat lanjutan. "udah ketemu sama ayah kandungku. Dan sekarang kesehatannya sedang kurang baik, Tante. Jadi, Ayah memintaku meneruskan perusahaan di Jakarta. Lagipula, aku juga ingin menjaga beliau. Bagaimana pun, dia ayah kandungku."

Seruni menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan satu telapak tangan. Keterkejutan lain membuatnya mendadak lemas. Ia memijit pelipis.

"Ta—Tante enggak pernah tau kalau kamu sudah berjumpa dengan keluarga kandung kamu, Lend.."

"Maaf, Tante. Aku enggak pernah cerita. Karena aku juga butuh waktu lama untuk bisa menerima beliau."

Seruni masih memijit pelipisnya. Sampai Gallend tiba-tiba meraih tangan kanan wanita paruh baya itu dan menatapinya dengan sejuta makna terima kasih yang sejujurnya, tak cukup hanya sekedar kata.

"Tapi, aku akan tetap menjadi bagian dari keluarga Mahameru. Sampai akhir, aku akan tetap menganggap Papa Bas, Mama Sekar, Tante, Om Hardi, dan.." Gallend menekan rasa kesal. "Gempi, sebagai keluarga. Kalian hadir seperti malaikat di hidupku dulu. Terima kasih untuk semuanya."

Pada akhirnya, Seruni tetap tidak bisa memiliki hak untuk membuat Gallend tetap tinggal di sisinya. Ia mengangguk-angguk, mengusap bahu sang keponakan.

"Aku akan sering-sering ke sini nanti, kok."

Seruni mengangguk singkat lagi. "Kamu baik-baik di sana, ya, Lend. Sering-sering nelpon Tante."

Gallend tersenyum lebar dan balas mengangguk. "Sore ini aku mau ke makam Mama sama Papa, Tante mau menemaniku?"

"Iya. Sebentar Tante hubungi Om kamu dulu, ya." Seruni baru hendak berdiri, tapi niatnya untuk berlalu menuju telepon rumah batal saat tiba-tiba teringat sesuatu.

Ia duduk kembali dan menatapi Gallend dengan alis bertaut, "Oh, iya. Pacar kamu, Arum.. dia sudah tahu kalau kamu akan pindah ke Jakarta? Dia setuju?"

*

Ucapan serempak orang-orang yang mengamini doa mengisi seluruh sudut ballroom D'Amore Hotel yang sudah di dekor dengan puluhan bunga lili dan mawar putih. Segala furniture, mulai dari bangku para tamu hingga mempelai, meja, bahkan pilar pot bunga yang berjejer rapi di sisi jalan menuju meja akad, semuanya bernuansa serba putih hingga menampilkan kesan minimalis dan klasik. Suasana khidmat melingkupi seluruh orang yang berada di ruangan.

Rumi melirik Arum di sebelahnya yang sudah tampil cantik dalam balutan kebaya berpayet aksen embroidery berwarna kuning, terlihat sangat cantik berpadu dengan kulitnya yang berwarna putih.

"Udah boleh makan, Rum?"

Arum yang hari ini rambutnya disanggul mungil dengan jepitan bunga pada bagian belakang, menoleh pada Rumi dan tersenyum lebar. "Udah." Jawabannya langsung membuat Rumi bertepuk tangan. Tentu saja pelan agar tak menyorot perhatian dari para tamu yang duduk pada deret yang sama dengan mereka.

"Yuk," Rumi menarik lengan Arum, mengajak untuk menuju pada meja prasmanan di sayap barat ballroom. Aneka makanan khas Jawa dan Kalimantan terhidang di sana. Ketimbang ikut mengisi piring dengan makanan seperti yang Rumi lakukan sekarang, Arum lebih memilih melihat ke sekeliling.

Ia tersenyum saat pandangannya jatuh pada Garfild dan mempelainya yang sudah duduk di sofa pada panggung dengan backdrop putih berhiaskan bunga mawar berwarna senada. Arum bahagia, melihat kakak lelakinya bisa menikahi kekasih tercinta hari ini.

Sayang, dia tidak ikut menyaksikan.

"Rum," sebuah tepukan menyadarkan Arum dari lamunan.

"Cantik banget, sih.." Padma yang entah sejak kapan muncul di samping Arum memberi pujjian, membuat Arum tersenyum simpul.

Rumi yang baru saja meneguk jus strawberry menimpali dengan mendekati kedua temannya. "Emang enggak salah kamu punya pacar baru Rum. Hidup kamu jadi lebih baik sekarang."

Arum tersenyum lagi.

Benar, hidup Arum jadi lebih baik sekarang. Ingatannya kembali mengulang memori lampau saat di mana Gallend memintainya untuk menjalin hubungan jarak jauh karena lelaki itu harus menetap di Jakarta mengikuti Ayahnya dan Arkana. Arum ingat, saat itu berat untuknya menjawab. Karena, Arum merasa yakin satu hal. Bahwa.. ia tidak bisa memenuhi keinginan Gallend.

"Jangan ngomporin, dong, Rum!" Padma menegur. Memeluki lengan Arum sambil mengulaskan senyum. "Udah, ah. Enggak usah ingat masa lalu lagi, ya, Rum. Udah dua tahun lho ini. Enggak boleh sedih-sedih lagi. Kamu udah jauh lebih bahagia sekarang. Semua itu berkat Bang Hun."

Rumi tertawa. "Bagus-bagus si Abang punya nama, kok malah kamu plesetin, sih, Pad."

Dan kemudian, kedua sahabatnya itu tertawa. Membiarkan Arum lebih memilih menatap langit-langit ballroom yang sudah dipenuhi hiasan Bungan serta lampu gantung yang menjuntai. Semua pemandangan ini.. sudah cukup membuat Arum bersyukur.

Manusia memang ingin memilih, tapi sudah menjadi kewajibannya untuk menerima takdir yang menawarkan hasil akhir yang jauh lebih baik dari pilihannya semula. Hanya perlu meyakini bahwa Tuhan lebih tahu yang terbaik untuk setiap makhluk-Nya.

Dan Arum yakin, dirinya juga akan segera menemui hasil akhir itu. Tanpa ada Gallend di sisinya saat ini.

Kalem braaay *dilemparsendal*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro