[Stage 42] Gelora yang Terjebak
Dinding cokelat menjadi pemandangan yang menyapa netra Arum ketika membuka mata. Gadis itu mengerjap-ngerjap, membiasakan retinanya untuk menerima cahaya dari ruangan. Kicauan burung terdengar jauh, tapi cukup menyadarkan Arum bahwa waktu sudah menjelang pagi.
Ia menguap sebentar sebelum menuruni ranjang kamarnya. Tapi, warna lantai keramik membuatnya termangu beberapa detik. Kok, lantai kamarnya tiba-tiba berubah motif? Dari motif marmer menjadi putih polos?
Saat terlintas dugaan dirinya diculik, Arum bergeleng kuat untuk mengenyahkan pikiran buruk. Untung pakaian dan tas miliknya di atas nakas masih lengkap. Terburu dan ketakutan, Arum segera berdiri dan menyambar tas sebelum bergerak cepat membuka pintu kamar yang syukurnya tidak dikunci, tapi..
BRUK!
Bahu seseorang menubruk wajahnya. Membuat dia hampir terjengkang jika saja orang itu tidak menarik lengannya sehingga Arum kembali berada dalam jarak dekat dengan orang tersebut. Spontan gadis itu menengadah dan seketika pupilnya melebar.
Gallendra.
Pantas saja hidungnya sempat menghirup aroma woody saat bertubrukan tadi. Aroma tubuh yang sangat Arum rindukan.
Tapi, kerinduan itu tampaknya hanya akan Arum simpan rapat-rapat karena saat ini, tatapan tajam Gallend membuatnya menciut gelisah.
*
Arum menghela napas. Entah sudah yang keberapa kali dari sejak ia dan Gallend duduk di ruang tamu yang tidak terlalu besar, berada tepat di depan kamar yang tadi Arum tiduri.
Masih tidak habis pikir, Arum merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia benar-benar ceroboh bisa ketiduran saat tengah menunggu Gallend di teras depan kontrakannya, yang alamatnya ia dapat dari Arkana tiga hari lalu.
Yah, setelah berpikir berulang kali dengan menanyakan saran sana-sini pada Rumi, Padma, dan Guntoro-yang tentu saja berakhir mengomeli Arum, Arum berniat mengunjungi Gallendra ke rumahnya sekarang. Seakan bara semangatnya di awal lenyap, Arum terus ragu mengetuk pintu begitu tiba, Tapi, saat ia sudah mengumpulkan beranian mengetuk, Gallend ternyata tak di rumah. Jadi Arum putuskan duduk menunggu di teras depan. Tapi sialnya, dia malah ngantuk dan berakhir tidur.
Masalahnya.. bagaimana bisa ia ada di kamar Gallendra dan tampaknya semalam tidur di sana? Gallend yang mengangkatnya? Semoga saja. Semoga bukan makhluk astral benaran yang membawa Arum ke kamar Gallend.
"Kabar kamu.."
Arum tersentak berkat suara Gallend.
"gimana, Rum?" lelaki itu lanjut bertanya. Tapi, Arum hanya termangu. Bingung harus mulai dari mana untuk bicara.
"Ba-baik, Mas." cicitnya kemudian. Gallend mengangguk pelan. Kedua tangan Arum di atas paha memilin-milin ujung kemeja birunya sendiri dan bertanya, "Mas Gallend, gi-gimana?"
Dari cerita Arkana kemarin, sebenarnya Arum sudah tahu seperti apa keadaan Gallendra sekarang. Tadi, sejenak Arum miris melihat bagaimana Gallend saat ini. Bukan karena di mana ia menetap, atau karena hanya membuka usaha ekspedisi kecil-kecilan alih-alih memiliki event organizer sebesar Mahameru Production dulu. Arum sedih, karena melihat Gallend menjadi lebih kurus dari saat tiga bulan lalu. Penampilan laki-laki itu berubah. Walau pakaiannya tetap rapi, tapi rahangnya dipenuhi sedikit jambang dan kumis tipis. Berbeda dari Gallend yang biasanya tampil maskulin.
"Seperti yang kamu lihat." Gallend menjawab santai, membuat Arum tersenyum canggung.
"Kamu, kok, bisa ke sini? Nyasar?"
Sontak, Arum bergeleng kuat. "A-Arkan kasih aku alamat rumah ini."
"Dia suruh kamu temui aku?"
Arum tidak sanggup membantah, karena kata-kata itu benar adanya. Beberapa detik terlewati lagi dalam hening. Sampai suara Gallend kembali terdengar.
"Kalau kamu masih belum siap, enggak ada siapa pun yang harus memaksa kamu, Rum." Setelah mengatakannya dengan datar, Gallend bangkit berdiri dan meraih sebuah kantung plastik putih yang semula sudah ditentengnya sejak awal bertemu Arum di kamar.
"Aku antar kamu pulang. Tapi, setelah sarapan, ya. Tadi aku udah keburu beli nasi buat kita." ujar Gallend, mengangkat plastik di tangannya.."
Gallend tidak tahu Arum menahan diri untuk tidak menitikkan airmatanya sekarang. Semua kalimat dan bahasa tubuh Gallendra seolah menyiratkan bahwa ia enggan berlama-lama berada di satu atap yang sama dengan Arum.
"Ma-Mas Gallend enggak perlu antar aku." Tolak Arum sopan, tapi gelengan samar Gallendra membuat Arum terpaksa menghela napas.
"Aku sekalian mau balik ke tempat kerja." Dan kata-kata Gallendra berikutnya, diucapkan tanpa lelaki itu melirik ke arah Arum sama sekali. Punggung Gallend menghilang di balik sekat yang entah menghubungkan ruang tamu dengan apa. Kesedihan dan luka kembali menggores hati Arum.
Tampaknya, Gallend benar-benar marah. Atau mungkin.. lelaki itu sudah memiliki kekasih baru sehingga menginginkan Arum cepat-cepat pulang sebelum kekasihnya itu memergoki mereka bersama di rumah ini.
*
Mengantar pulang yang dimaksud Gallendra adalah dengan mobil yang bukan Arum kenali. Mobil ini berukuran lebih besar dari mobil Gallend dulu, dan Arum bisa melihat beberapa kardus tersusun rapi di kursi belakang. Diikat dengan tali yang ujungnya disampirkan pada kepala kursi, mungkin agar kardus tidak jatuh.
Meremas kuat-kuat kedua tangannya di atas pangkuan adalah kegiatan yang terus ia lakukan selama perjalanan. Demi apa pun, ia bingung harus bagaimana memulai untuk berbaikan dengan Gallendra.
Apalagi jika mengingat kemungkinan sudah ada perempuan lain yang mengisi relung lelaki itu.. Arum jadi semakin sesak dan pusing tiap kali memikirkan dugaan tersebut.
Gerus ban mobil yang bersinggungan dengan kerikil membuat Arum sadar bahwa kini ia sudah memasuki lorong perumahannya. Gallend mematikan mesin mobil yang sudah terparkir di depan pagar rumah Arum dalam beberapa detik. Gadis itu buru-buru turun setelah mengucapkan terima kasih, tapi kesusahan saat membuka pintu.
"Kayaknya harus dibuka dari luar. Sebentar." Arum menoleh, bersamaan dengan Gallendra yang sudah membuka pintu mobil dan turun untuk memutari kendaraan, menuju pintu Arum. Begitu pintunya terbuka, Arum turun dan mengucapkan terima kasih lagi yang hanya ditanggapi Gallend dengan anggukan samar lalu berkata tanpa menoleh kemudian. "Aku balik." katanya.
Arum mengangguk lemah. Bersamaan keduanya saling berbalik badan, tapi baru beberapa langkah Gallend berjalan, punggungnya ditubruk wajah seseorang hingga lelaki itu tertegun dan terpaksa berhenti.
"Aku bukannya enggak siap." Suara Arum membuat tubuh Gallend kian menegang. Arum.. memeluknya? Benar. Ia bisa melihat kedua lengan kecil Arum melingkari perutnya kini.
"Tapi, aku enggak tahu harus mulai dari mana. Aku yang minta waktu untuk sama-sama berpikir ulang, aku juga yang menyerah duluan. Tapi aku yang enggak rela kalau Mas Gallend.. kalau sampai Mas Gallend menyetujui permintaanku." suara Arum yang bergetar meremas kuat jantung Gallend. Isak tangisnya hanya butuh sepersekian detik untuk keluar.
"Aku rindu, Mas. Ta-tapi, aku takut Mas Gallend enggak mau terima aku lagi." Pelukan Arum semakin erat, sampai-sampai membuat Gallend susah bernapas. "Aku takut Mas Gallend udah lupain aku, enggak peduli lagi sama aku. Aku takut Mas Gallend udah ketemu perempuan lain. Aku takut.. aku takut kalau-"
"Rum," Gallend melepas kedua tangan Arum yang memenjarakan tubuhnya. Entah bagaimana, begitu mudah karena Arum mengendurkan pelukan.
"Jangan bilang sekarang.." Arum bergeleng, hatinya terpelintir karena Gallend berkesan ingin menjauhinya dengan menolak pelukan. Ia mendongak menatap Gallend. "Jangan katakan apa pun sekarang, kalau Mas Gallend benar-benar bersedia pisah. To-tolong jangan bilang sekarang, Mas. A-Aku enggak siap." Dan, hanya butuh beberapa detik untuk tangisnya pecah. Dengan kekanakan, Arum menarik ujung kemeja Gallend dan menunduk sambil masih mencucurkan air mata.
"Kalau kamu beri aku kesempatan untuk memohon, Mas." Arum menarik napas dalam. "Aku mohon, jangan tinggali aku." Suaranya melirih saat melanjutkan, "Aku cinta sama Mas Gallend. Dulu.. dan sampai sekarang."
Akhirnya, pengakuan itu tiba.
Tapi seakan semesta tak mendukungnya, gelengan Gallend sebagai respon membuat Arum ketakutan. Susah payah dia menarik napas yang tercekat, bersiap untuk mendengar kalimat buruk Gallendra, meski inginnya tak pernah siap.
"Bukannya kamu mau kita pisah?"
Arum menggeleng, sampai Gallend ngilu melihat sentakan kepala gadis itu begitu kuat. "Enggak. Enggak lagi!" Arum menunduk. "Kemarin aku cuma takut, kalau aku bisa membuat hubungan Mas Gallend dan Tante Seruni jadi lebih parah. Sampai Mas Gallend keluar dari Mahameru Production kayak gini. Maaf, ya.. ini semua gara-gara aku."
"Bukan karena kamu."
Arum menarik cairan yang sudah berkumpul di hidung karena tangisnya. "Tapi, aku lupa satu hal.. aku lupa, kalau enggak semestinya aku hanya mikirin perasaan Tante Seruni aja. Padahal ada perasaan kamu juga yang harus aku jaga. Maaf, ya, Mas. Aku benar-benar minta maaf."
Beberapa detik hanya senyap yang menemani. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, membiarkan semilir sejuk udara pagi menerpa kulit.
"Enggak seharusnya kamu memohon, Rum." Gallend memangkas jarak, membuat Arum terkesiap. Telaga pekat lelaki itu memendarkan harapan. Salahkah Arum bila menganggapnya sebagai harapan ingin mengakhiri semua kesakitan? Kesakitan yang berbulan-bulan membelenggu mereka dalam hampa.
"Ke-kenapa?" tanya Arum.
"Karena itu tugasku sebagai laki-laki." Gallend menunduk, Arum kembali terkesiap ketika jemari Gallend mengusap wajah basahnya, menatapi Arum dalam sejuta kerinduan. "Aku enggak punya banyak hal saat ini. Kamu tau aku memulai semuanya dari bawah lagi, kan?"
Arum mengangguk kaku.
"Kamu mau menjalani apa pun kesulitan ke depannya bersamaku?"
Kali ini anggukan Arum berubah kuat dan tangis leganya langusung pecah begitu Gallend menariknya untuk masuk dalam dekapan hangat lelaki itu. Terisak, Arum membenamkan wajah di dada Gallend yang tetap saja nyaman seperti dulu, meski penampilan lelaki itu berubah banyak.
Untuk kali ini saja, Arum berharap waktu mau bersedia berhenti. Membiarkan Arum dan Gallend menyalurkan kerinduan yang selama tiga bulan ini tak pernah menemukan muara.
Tanpa menjauhkan tubuh, Arum mendongak menatap Gallend. Sudut mata lelaki itu tampak basah. Satu tangannya masih melingkari punggung Arum, sedang tangan yang lain membelai rambut belakang gadis itu. Gadisnya.
"Mas Gallend enggak jadi ninggalin aku, kan?"
Alis Gallend bertaut. "Bukannya kamu yang ninggalin aku duluan? Kamu yang minta putus."
"Oh, iya.." Meringis, Arum menepuk jidat sendiri. "aku lupa."
Gallend tersenyum tipis. Kecerobohan Arum, kepolosannya, ia bersyukur sekali bisa kembali menyaksikan hal itu dalam jarak sedekat sekarang.
"Aku kira perasaan Mas udah berubah." Arum kembali mencicit, lebih memilih menatapi dada Gallend daripada mata lelaki itu karena bisa saja, Arum khilaf menyalurkan rindunya dengan sebuah ciuman.
"Tadi Mas Gallend nolak aku peluk. Terus juga.." Gadis itu membersit hidung. "tadi di kontrakan, Mas Gallend pingin aku cepat-cepat pulang. Aku pikir.. aku pikir Mas takut bakal ketahuan sama pacar Mas yang baru, kalau aku ada di sana."
Gallend menyatukan kening mereka. "Menurut kamu aku bisa punya kekasih lain, saat hampir tiga bulan aku stres mikirin kamu?" satu tangannya menarik dagu Arum agar pandangan gadis itu berfokus padanya. Hanya untuknya.
"Kenapa kamu harus ninggalin jejak yang begitu kuat untukku, Rum? Aku kewalahan, saat aku terpikir kalau mungkin aja aku enggak akan bisa mencintai wanita lain lagi."
"Maksudnya? Mas Gallend mau pindah haluan suka sama laki-laki?"
Tawa samar Gallend membuat Arum memberengut. Arum menahan napas ketika Gallend merapatkan pelukan.
"Enggak, Sayang. Kalau gitu aku enggak bisa punya anak yang lucu-lucu, dong."
Arum terkesiap, lalu mendecak sambil memukul bahu kiri Gallend. "Apaan, sih, ngomongnya.."
Gallend tidak menanggapi lagi, karena kini ia sibuk merapikan anak rambut Arum yang berantakan karena udara pagi Jogja.
"Aku benar-benar terkejut dulu, waktu kamu menyudahi jeda dengan bilang kalau kamu mau mengakhiri semuanya." Napas Gallend tercekat sesaat sebelum melanjutkan, memandangi Arum dalam tatapan syukur teramat sangat.
Arumnya kembali.
"Terima kasih mau bersamaku lagi."
Arum tersenyum, tapi air matanya kembali tumpah. Sampai membuat Gallend tertawa pelan. Kedua tangan lelaki itu berpindah untuk menangkup wajah gadisnya.
"Jadi, apa 'jeda' kita bisa menemui akhir sekarang?"
Arum mengangguk.
"Iya?" Gallend memastikan.
"IYA!"
Senyum geli terpatri di bibir Gallendra kala Arum menjawab dengan semangat empat-lima.
"Akhir jedanya gimana?"
Sungguh, pertanyaan tersebut hanya sebuah candaan untuk mengusili Arum. Tapi, tak pernah Gallend bayangkan reaksi gadis itu adalah dengan sedikit berjinjit, membingkai wajah Gallend dengan tangan mungilnya, lalu bibir merah yang selalu Gallend rindukan itu mampir untuk beberapa detik lamanya, mengecup bibir Gallend.
Lelaki itu mengerjap kaget. Tidak pernah terlintas dalam bayangnya jika Arum akan mencium lebih dulu.
Ciuman Arum tidak ahli, tapi Gallend menyukainya. Teramat sangat menyukainya. Hingga ia beralih mendekap punggung Arum agar tubuh mungil gadis itu semakin rapat padanya.
Gallend semakin memangkas jarak, tidak menciptakan celah.
Lama keduanya berciuman, hingga lumatan-lumatan kecil tercipta dengan Gallend yang lebih mendominasi. Keduanya menyalurkan gelora rindu dan cinta menggebu yang selama ini terkurung dalam relung kecil bernama lengkara. Puncak kemustahilan.
Tidak ada yang benar-benar sadar bahwa Gallend sudah mendorong tubuh Arum hingga punggung gadis itu terpojok karena membentur kap mobil.
Tapi..
TAAK!
Sebuah pukulan keras menimpa kepala Gallend, memutuskan tautan bibir mereka di mana keduanya sama-sama berjengit kaget. Sepersekian detik, gelegar amarah dari orang yang sangat Arum segani terdengar disertai pukulan bertubi-tubi lagi pada tubuh Gallend.
"Kamu apain anak saya, hah?! Berani-beraninya kamu, ya! Kalau mau cium, nikahi dulu! Dasar kurang ajar! Cah gendheng! Edan! [1]"
"Bapak!"
"Ayah, berhenti!"
Garfild yang berdiri di ambang pagar hanya menghela napas melihat drama pagi hari di pekarangan rumahnya. Sang Ayah yang kunjung memukuli kekasih adiknya dengan gagang sapu, lalu ibu dan adiknya yang saling bersuara tumpang tindih menyuruh ayahnya berhenti.
"Terusin, Pak! Pukul aja sampai bolong itu kepala!"
Arum menoleh kesal pada Garfild yang membalas tatapannya dengan cengiran lebar seraya mengedikkan bahu.
Bukannya membantu untuk menengahi, Garfild malah terus-terusan berseru mengompori.
Arum kesal!
[1] Cah gendheng! Edan! : Bocah gila
Nah, lho.. makanya Gallend jangan suka mesum di pinggir jalan. Masih untung ketemunya ayah arum, kalau Pak RT, bisa diarak keliling kampung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro