Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 40] Penerimaan

"Udah mau jalan kamu, Le? [1]"

Gallend mendongakkan wajah ke asal suara, sedang kdua tangannya terus memasang tali sepatu. Dia tersenyum ketika Bu Wulan, pemilik panti sekaligus orang yang menjaganya pertama kali sejak dirinya lahir, ikut bergabung dengannya yang duduk di bangku bambu panjang pada teras panti.

"Nggih [2], Bu. Gallend masih harus ngantar paket ke Dinas Pertanian dulu. Baru setelah itu pulang."

"Yowes [3]," imbuh Wulan. Wanita yang usianya mungkin setara dengan ibu kandungnya itu, meletakkan rantang stainless bersusun empat di samping Gallendra. "ini ibu bawakan kamu makanan. Ada rawon sama kerupuk kesukaanmu. Dihabisin, yo."

Melihat itu, seutas senyum lebar terbit di bibir Gallendra. Setelah menepuk-nepeuk kedua tangannya, ia meraih rantang itu dan meletakkan di atas pangkuan. Matanya berbinar cerah, tidak sabar menikmati makanan kesukaannya yang beberapa hari ini jarang sekali ia makan. Keuangan yang tidak seberapa karena harus menjaga modal untuk bisnis ekspedisinya yang baru, membuat Gallend harus pandai-pandai berhemat. Untung ia masih memiliki apartment yang bisa dijual guna menambah modal membangun bisnis baru kecil-kecilan.

"Matur nuwun [4], Bu."

Berganti Wulan yang kini tersenyum. Cukup lama dipandanginya Gallend yang hampir dua bulan ini jarang mampir ke Gemilang Kasih. Wulan memang sudah mendengar tentang keputusan Gallend menyerahkan perusahaannya pada keluarga angkat dia, tapi lelaki itu beralasan ingin mencari bisnis baru dengan memulainya dari awal kembali. Tapi, entah mengapa Wulan punya firasat tidak baik tentang hal itu.

Pada akhirnya dia mengiyakan saja, hanya ingin mendukung Gallend melakukan pekerjaannya sekarang. Walau masih tidak mengerti banyak tentang mendirikan usaha-usaha seperti yang kali ini Gallend lakukan, tapi Wulan bisa tahu sedikit banyak tentang jasa layanan pengiriman yang Gallend lakukan dengan jumlah pegawai tak seberapa disbanding saat memiliki Mahameru Production.

Lelaki itu bekerja siang-malam, pasti. Wulan sangat mengenalnya sedari kecil. Mungkin karenanya, Gallend mulai jarang menghabiskan waktu setiap akhir pekan bersama adik-adiknya di panti. Padahal biasanya sering datang, kadang bersama teman-temannya juga. Wajar saja saat ia datang kembali hari ini setelah dua bulan lamanya, seluruh anak panti berhamburan ingin menjumpai dia yang biasanya selalu menyumbangkan mainan atau makanan bagi mereka.

Gallend yang begitu dicintai..

Dan Wulan sungguh berharap, pria itu selalu mendapatkan cinta yang tulus dari orang-orang di sekelilingnya. Rasa bersalah tidak mampu melindungi Gallend yang berkali-kali mendapatkan orang tua angkat tidak bertanggung jawab, rasanya masih membekas bagi Wulan hingga sekarang.

"Kamu iki jangan lupa makan, Le. Jangan sibuk kerja terus. Kamu itu punya anak buah, tapi kayak ndak punya. Bukan karena pegawai kamu malas, toh. Tapi, kamunya yang ndak bisa diam kalau ndak ngerjain apa-apa sendiri."

Gallend tertawa kecil, membuat Wulan menghela napas. "Ibu serius, lho, ini."

"Nggih, Bu. Gallend tau."

Gallend menyunggingkan senyum lagi saat telinganya mendengar suara adik-adik panti yang saling bersahutan dari dalam, sepertinya sedang menjawab pertanyaan karena setiap dari mereka selalu berseru 'Saya! Saya!' lebih dulu. Tadi, ia sempat melihat mereka tengah diajari oleh beberapa pemuda yang Gallend taksir merupakan anak kuliahan. Wulan juga mengatakan ada penyumbang panti yang beberapa bulan ini, telah mengirimkan pengajar yang rutin datang tiga kali dalam seminggu.

"Gallend senang ada donatur yang mau mengirim tenaga pengajar buat adik-adik." Senyumnya terukir miris, tapi segera berganti cerah bersamaan dengan kalimat, "Nanti kalau Gallend udah bisa ngumpulin lebih banyak uang, Gallend belikan buku-buku sama alat tulis buat mereka, ya."

Alih-alih senang, Wulan justru menghadiahkan Gallend satu tabokan pelan yang tidak kentara sakit di punggungnya. Khas wanita paruh baya itu setiap kali hendak mengomel. Dulu sekali, Gallend kecil sering mendapatkannya setiap kali ketahuan bekerja serabutan apa saja sampai larut malam.

"Ndak perlu. Adik-adik kamu itu, sudah bisa sekolah gratis saja sudah syukur sekali." Wulan menghela napas, ada kelegaan tersemat di dalamnya. "Ibu bersyukur, keuangan panti mulai membaik sekarang. Alhamdulillah, bulan ini juga ada beberapa donatur lagi yang datang memberi bantuan."

Wulan menatap Gallend sedih. "Kadang, ibu merasa bersalah ke kamu. Waktu kamu kecil dulu, boro-boro bisa sekolah, kamu malah harus bantuin ibu cari nafkah untuk adik-adik panti. Maafin Ibu, ya, Lend."

Gallend tidak menjawab, tapi senyum tipisnya seolah menyatakan bahwa ia tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.

"Ibu ndak bisa membayar semua kebaikan kamu dulu, tapi ibu selalu doakan supaya kamu dapat yang terbaik di hidupmu, Lend."

Gallend kembali tersenyum, tapi lengkungan di bibirnya seketika hilang saat Wulan melanjutkan. "Termasuk calon istri. Tapi, harapan ibu, sih.. kamu dapatnya yang kayak Neng Arum. Anaknya udah cantik, baik, kalem nenangin lagi. Cocok buanget, deh, buat kamu yang kayak ulat bulu. Ndak bisa diem sama sekali."

Tawa Gallend pecah akibat sebutan terakhir Wulan. "Ibu muji atau nyindir, sih?"

"Dua-duanya."

Lagi-lagi kedua orang berbeda usia itu tertawa, sampai fokus Gallend tersita pada sebuah ingatan. Arum. Dua bulan, status hubungan tanpa kejelasan. Bukan, bukan Arum yang membuat jalinan di antara mereka mengabu. Arum justru sangat memperjelasnya dengan mengirimkan sebuah pesan, dua minggu setelah pertemuan terakhir mereka di taman hotel.

'Maaf, Mas. Tapi, aku enggak bisa melanjutkannya lagi.'

Delapan kata itu, nyatanya jauh lebih menakutkan daripada jumlah digit di buku tabungan Gallend yang terus berkurang. Galllend memilih tidak membalas sama sekali. Karena ia takut. Ingin berkata 'tidak' tapi dirinya tidak mau mengekang kehendaknya, ingin berkata 'ya', hatinya tidak siap.

Gallend sadar, justru ia sendirilah yang bersikap selayaknya pengecut. Arum mungkin sudah mengartikan kediamannya sebagai tanda persetujuan.

Gallend menghela napas. Masih ingat betul, saat mendapatkan pesan tersebut hampir seminggu dirinya seperti orang hidup tanpa nyawa. Dariel dan yang lain sampai mengomelinya berkali-kali.

Raganya ada, namun lumpuh. Berlebihan mungkin..

Tapi untuk pertama kalinya dalam menjalin sebuah hubungan, Gallend benar-benar merasa lumpuh hanya karena kehilangan kekasih. Nyatanya Arum adalah salah satu orang paling berarti baginya, tapi kini gadis itu tidak bersedia lagi menemani Gallend untuk menjalani hari.

Ada kalanya dia selalu merindukan sentuhan Arum, rindu bagaimana wanita itu menenangkannya setelah seharian Gallend harus melewati hari yang pelik.

"Gallend.." suara Wulan menyentak Gallend dari lamunan.

"Ya, Bu?"

"Ada yang belum ibu ceritakan ke kamu. Ibu minta maaf baru menceritakannya sekarang, ya." Pendar ragu bercampur rasa bersalah terpantul nyata di telaga ibu pantinya, membuat Gallend terkekeh canggung. "Kenapa, Bu? Kok, tiba-tiba minta maaf? Kayak lebaran aja, deh."

Tak menggubris candaan Gallend, Wulan tetap melanjutkan dengan kata yang terdengar sangat berhati-hati. "Donatur baru yang mengirimkan relawan pengajar, juga yang sering membantu keuangan panti beberapa bulan ini.. dia adalah Sadana, ayah kamu."

Kekhawatiran teramat sangat Wulan rasakan ketika melihat senyum Gallend lenyap. Tanpa bekas. Tapi, dia tidak bisa menunda untuk mengatakannya lagi.

"Ibu yakin kamu sudah bertemu dengan beliau, kan. Ibu yang menghubunginya. Memberi tahu segalanya tentang kamu. Sehingga dia akhirnya menemui kamu di sini."

Hening kembali. Wulan melirik cemas pada Gallend yang hanya merespon dalam diam. Tidak senang atau pun marah. Tapi, tidak ada lagi tarikan melengkung ke atas di bibir lelaki itu yang biasanya kerap Gallend lakukan.

"Gallend.. kamu ingat ndak, cerita ibu dulu tentang bagaimana ibu bisa menemukan kamu?"

Gallend mengangguk samar.

"Saat Ibu dan Bapak bawa kamu dari panti asuhan di Aceh ke panti di sini, ibu sudah berencana untuk menelepon ayah kamu ketika itu. Nomor ponsel dan nama beliau ada di kertas selipan dalam sapu tangan yang ibu kandungmu berikan ke ibu sebelum ia meninggal."

Gallend ingat kisah itu. Tentang pertemuan Wulan pertama kali dengan Mada—ibu kandungnya— di sebuah panti asuhan yang berada di Banda Aceh, salah satu kota paling ujung di Indonesia. Mada tinggal di sana selama hamil, membantu pekerjaan sehari-hari di panti sebagai balasan atas kebaikan Bulik Tari, kakak kandung Wulan yang mendirikan panti asuhan juga di kota tersebut.

Tiga puluh satu tahun yang lalu, ketika Gallend lahir, ibunya tidak sanggup bertahan karena pendarahan berat dan akhirnya memilih menyerah dari dunia yang mungkin selama ini begitu tidak adil untuknya.

Gallend mengerjap, mencoba menghalau rasa panas di mata. Suara Wulan masih terdengar.

"Tapi, sebelum Ibu benar-benar menelepon Pak Sadana, Ibu sempat melihat beliau di TV dulu. Dia tampak memiliki keluarga yang bahagia. Ibu juga sempat mencari tau tentangnya di internet. Ternyata, malah ndak ada riwayat pernikahan Ibu kamu dengan beliau. Karena itu, ibu jadi khawatir kalau Ibu memberitau tentang kamu, bisa saja kamu tidak diakui oleh Pak Sadana atau pun keluarga besarnya.

Belum lagi ibu dengar desas-desusnya, Ibu tiri kamu itu orang yang punya sifat kurang baik terhadap orang yang status sosialnya lebih rendah. Jadi, ibu putuskan untuk merawat kamu dan membawa kamu ke Jogka."

Wulan menelengkan kepala. Rasanya berat untuk kembali mengingat masa lampau. "Tapi lama-lama, ibu merasa bersalah karena terus menyembunyikan ini semua. Makanya, saat kamu mulai beranjak remaja, Ibu menelepon Pak Sadana. Hingga akhirnya saat kami bertemu, ibu menyadari bahwa ternyata selama ini, bertahun-tahun lamanya beliau sudah mencari keberadaan kamu dan Mada. Tapi pencariannya ndak kunjung berhasil."

Gallend sungguh tidak tahu harus bagaimana bersikap ketika Wulan menggenggam tangannya yang masih berada di atas rantang.

"Tolong maafkan Ayahmu, ya, Le. Jika kamu ndak ingin melakukannya untuk beliau, tolong lakukan itu untuk ibumu. Dia pasti akan sangat bahagia kalau anaknya berhasil memiliki ayah, saat dia sendiri ndak bisa menemani kamu di dunia ini. Lagipula," Wulan menyapu cepat semua tangisannya dengan tangan kanan yang sudah dipenuhi keriputan, lalu tersenyum menggoda Gallend. Perubahan ekspresinya mendadak sekali, sampai Gallend terkejut dengan apa yang dikatakan Wulan.

"ibu yakin kamu sangat merindukan ayahmu, kan?"

"Enggak." Gallend menjawab cepat.

"Kalau ndak, kamu ndak mungkin sekhawatir tadi saat menolong laki-laki yang pingsan di pasar dekat panti kita. Ibu lihat, lho, waktu kamu lari tunggang langgang gendong ayahmu buat di bawa ke mobilnya. Waktu itu 'kan ibu lagi di pasar."

Pada akhirnya, kalimat Wulan tidak bisa membuat Gallend mengelak. Dalam hati, ia menyesal mengapa harus belanja keperluan sehari-hari di pasar yang berada dekat dari Panti Gemilang Kasih.

*

"Pak Sadana mengalami gejala kondisi hipoglikemia. Kadar gula darahnya terlalu rendah. Mungkin beliau menggunakan obat diabetes dengan dosis yang terlalu tinggi, atau porsi makannya terlalu sedikit, sehingga akhirnya lemas dan jatuh pingsan."

Gallend menghela napas. Diabetes. Pantas saja Sadana terlihat kurus. Berbeda dari foto-fotonya yang selama ini ditampilkan dalam majalah bisnis yang pernah Gallend lihat.

"Gallend.." Sebuah suara menyapa Gallend yang baru memasuki ruang segi empat yang tidak terlalu besar, tapi cukup privasi karena hanya memiliki satu ranjang tidur pasien. Gallend hanya punya biaya untuk membayar tipe kamar rawat inap kelas VIP C.

"Kamu.. gi—gimana bisa ada di sini?"

Termangu, Gallend kesulitan menjawab pertanyaan Sadana yang entah sejak kapan bangun dari kondisi tidak sadarkan dirinya. Padahal Gallend baru meninggalkan ruangan kurang lebih lima belas menit untuk mendengar penjelasan dokter di ruangannya.

"Sa—saya kebetulan menemukan anda di pasar. Pingsan." Canggung, Gallend mendekati ranjang di mana Sadana berusaha mendudukkan dirinya. Dalam diam, ia membantu lelaki paruh baya itu untuk bisa bersandar pada kepala ranjang.

"Saya pikir anda punya banyak asisten rumah tangga. Tapi, kenapa harus ke pasar sendirian?" Sungguh, Gallend berjuang keras memilih kata apa yang bisa dijadikan basa-basi agar suasana tidak menjadi tegang dan asing. Bisa dilihatnya Sadana masih memandangi dirinya tidak percaya.

"Ta—tadinya ayah ingin membeli buah untuk dibawa ke panti—" seolah sadar bahwa dirinya hampir saja keceplosan, Sadana segera beralih pembahasan. "terima kasih, Gallend."

Gallend mengangguk. Lalu, menarik kursi yang berada di samping ranjang dan duduk.

"Saya sudah menghubungi Arkana. Dia sedang dalam perjalanan ke sini. Maaf, tadi saya pakai ponsel anda untuk meneleponnya."

"Enggak apa-apa. Sekali lagi terima kasih, ya."

Hening. Tapi, bukan seperti atmosfir mencekam di mana terakhir kali mereka bertemu di mall, kali ini suasananya hanya terasa janggal.

"Saya baru akan pergi kalau Arkana sampai." Meski Sadana tidak bertanya, tapi Gallend merasa berkewajiban mengatakanya. Sadana mengangguk.

"Gallend, Ayah.."

"Anda butuh sesuatu?"

Sadana mengerjap lemah, jantungnya seakan teriris mengetahui bahwa Gallend mungkin tidak berkenan memanggilinya dengan sebutan 'ayah'.

Gelengan kepala Sadana membuat Gallend ber-oh singkat. Dia baru ingin membuka ponsel untuk mendapatkan pelaporan Kenzi—asisten menyebalkan yang kini sudah turun pangkat menjadi staf operasional tanpa anak buah sama sekali di Gland Express. Dengan selorohnya, ia mengatakan tetap ingin bekerja bersama Gallend karena cuma Gallend, bos yang bisa diomeli sesuka hati olehnya tanpa takut dipecat.

"Ayah minta maaf." Satu kalimat tersebut membuat Gallend menahan napas. Gerakan jempolnya yang sejak tadi menggulir di layar ponsel, terhenti.

"Ayah benar-benar minta maaf. Maaf karena telah lama meninggalkanmu dan juga ibu kamu. Maaf." Kalimat itu diakhir oleh tangisan pecah dari Sadana.

Menekan rasa sedih, Gallend tidak mengerti mengapa bibirnya dapat sponta berucap. "Kenapa meninggalkan ibuku?"

Sadana mengusap wajah dengan tangan kanannya yang tidak terpasang selang infus. Kalimatnya melirih. "Dulu, ayah menikah dengan ibu kamu tanpa restu. Keluarga besar ayah tidak menyukai Mada, karena dia bekerja sebagai pembantu di rumah kami. Tapi, sumpah demi Tuhan, ayah mencintainya, sangat. Bahkan hingga sekarang."

"Bagaimana bisa anda mengatakan masih mencintainya di saat anda sudah punya istri lain?"

"Kami sudah bercerai."

Gallend mengerjap kaget.

"Salah satu alasannya juga karena ayah tidak pernah bisa melupakan ibu kamu. Dulu, adik ayah yang sangat membenci Mada melakukan fitnah dengan mengatakan bahwa ibu kamu tidur dengan lelaki lain. Bukti saat itu begitu kuat. Di satu sisi, perasaan ayah yakin kalau ibu kamu enggak mungkin melakukannya. Tapi, kecemburuan benar-benar membuat ayah buta. Ayah marah dan mengusirnya dari rumah untuk ditempatkan di villa ayah yang ada di Sukabumi."

Gallend meremas ponsel di tangan. Bayangan saat ibu kandungnya diusir seketika membuat hatinya panas. Baru tadi ia merasa bisa memaafkan Sadana, tapi mendengar perbuatan lelaki itu pada perempuan yang rela mengorbankan nyawanya untuk Gallend dahulu, membuat Gallend serasa ingin menonjok apa pun yang ada di dekatnya sekarang. Ia tidak mungkin menghantam Sadana, Sekar tak pernah mengajarkannya demikian.

"Saat itu, ayah bahkan enggak terpikir sedikit pun untuk menceraikan ibu kamu. Bahkan sekali pun ibu kamu berselingkuh, ayah merasa sulit melepas dia. Apalagi saat itu, sudah ada kamu dalam kandungan. Ayah.. hanya butuh waktu untuk bisa menenangkan diri agar tidak emosi di depan ibu kamu yang sedang hamil."

Waktu.. jeda..

Mengapa semua orang selalu menjadikan dua hal itu sebagai alasan untuk berpikir.. kalau pada ujung-ujungnya tetap juga memilih keputusan egois karena memberatkan salah satu pihak dan menyenangkan pihak lainnya.

"Kesalahan terbesar yang pernah ayah perbuat adalah, menikahi anak perempuan dari teman kakek kamu. Ayah terpaksa melakukan itu karena permintaan kakek yang sakit parah. Lagipula, saat itu Lidia menyetujui bahwa kami hanya akan menikah sementara, pura-pura sampai kesehatan kakek sedikit membaik. Saat itu, Lidia bahkan sudah memiliki kekasih." Sadana mengusap wajahnya dengan tangan bergetar.

"Tapi, semua menjadi bumerang ketika ibu kamu tau entah bagaimana. Dia datang di hari pernikahan, marah, lalu pergi. Dan setelah itu menghilang sampai puluhan tahun lamanya. Ayah sudah berusaha mencari kalian, tapi enggak pernah ketemu. Ibu kamu seakan benar-benar membenci ayah karena dia tidak memberi jejak pergi sama sekali.

Sampai tepatnya beberapa tahun lalu, saat kamu masih SMA, ada seorang wanita yang menelepon ayah tiba-tiba. Memberitahu tentang kamu. Dia Ibu Wulan. Ayah benar-benar bahagia. Meski pun tetap terluka saat tahu ibu kamu sudah tiada. Tapi, ayah bersyukur masih bisa melihat kamu, putra ayah, dari wanita yang paling ayah cintai. Maafkan ayah, ya, Nak. Maaf."

Gallend tidak bisa menahan air matanya lagi ketika Sadana tiba-tiba hampir bersimpuh dari posisi duduknya, memegangi lengan Gallend yang seketika berdiri mendekat dengan remasa erat. Menekan perih teramat sangat di dada, Gallend mengangguk sembari mengalihkan pembahasan. "Aku mau ke kantin sebentar."

Sadana yang napasnya tersengal tidak mampu menjawab. Tapi, sebuah senyuman lega luar biasa ia ukir ketika mendengar kalimat Gallendra sebelum benar-benar membuka pintu kamar rawat.

"Ayah.. mau titip sesuatu?"

Tidak mendapat jawaban karena Sadana masih tercengang, Gallend berkata lagi. "Aku belikan roti gandum aja, ya. Itu rendah gula."

"Kamu sudah memaafkan Ayah?"

Senyum tulus Gallend menjawab semuanya.

"Ayah tunggu sebentar. Aku enggak akan lama."

[1] Le: Panggilan dalam bahasa jawa yang diperuntukkan untuk anak laki-laki; biasanya dari orang yang lebih tua.

[2] Ngggih : Iya

[3] Matur Nuwun : Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro