Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 39] Jeda

"Maaf.."

Arum menunduk dalam, berupaya menyembunyikan cairan yang sudah sepuluh menit lalu bergumul di pelupuk matanya saat hanya hening yang menghiasi pertemuannya dengan Gallendra setelah dua hari lamanya mereka tidak bertemu.

Baru tadi pagi, Arum membalas pesan Gallend di ponselnya dengan mengajak bertemu di taman depan D'Amore Hotel. Bagaimana pun, Arum tau dirinya harus segera menyelesaikan masalah genting ini dengan Gallendra. Mereka bukan anak remaja yang wajar berdiam lama-lama. Selama dua hari ini, selain karena Paranita menugaskannya ke Sleman bersama Guntoro, Arum sudah merasa cukup menghindari Gallend dengan memblokir nomor pria itu.

Hanya sejenak. Sesaat. Bagaimana pun Arum butuh berpikir. Tidak bisa serta merta hanya mendengar penjelasan Gallendra yang sejujurnya, ia sendiri tidak tahu jujur atau tidaknya. Arum butuh berdamai dengan dirinya dahulu, sebelum mengambil keputusan setelah mendengar penjelasan Gallend nanti.

"Kamu menipuku, Mas?"

Hanya tiga kata. Tapi, itu sangat berhasil membuat tubuh Gallend menegang.

"Enggak, Arum!"

Melihat Arum yang menunduk kembali tanpa merespon, Gallend mendesah gusar. "Sama sekali enggak! Kamu enggak percaya?" Justru, Gallend merasa kalimatnya sendiri yang sarat akan ketidak percayaan.

Dari semua kalimat yang Gallend duga akan Arum utarakan untuk menunjukkan kemarahannya, mengapa kata 'menipu' yang diucapkan dengan nada biasa saja? Seolah gadis itu tidak marah. Tidak kecewa.

Itu lebih menyakitkan daripada Arum berteriak padanya.

"Cinta yang selama ini kamu kasih ke aku.." Gallend benar-benar merasakan sebuah denyutan di jantungnya ketika suara datar Arum terdengar lagi. "apa itu benar-benar nyata?"

Gallend tertegun. Butuh hampir satu menit untuknya mampu mengatur fungsi kerja saraf motoriknya kembali. Kedua tangan yang mengusap wajah beberapa kali. Menatap Arum frustrasi.

"Kamu tau jawabanku, Rum."

"Kenapa kamu selalu bilang kalau aku tau jawabannya?!"

Dan, Gallend terhenyak. Kehilangan kata-kata. Kali pertama Arum bicara dengan nada membentak.

Mengerjap, untuk berpikir apa yang harus ia lakukan sekarang, Gallend beringsut sedikit mendekati Arum yang duduk tepat di sebelah kanannya pada bangku taman panjang berwarna putih.

"Padahal sebenarnya aku enggak tau apa-apa, Mas. Bahkan rencana pertunangan kamu aja aku enggak tau sama sekali! Kalau aku tau, aku enggak akan memperlihatkan kebodohan aku sendiri dengan pergi ke sana malam itu. Tapi, nyatanya.." Arum menarik napas, tapi justru tersedak kecil karena kesusahan.

"a-aku terlalu mudah percaya kalau Gempita sudah mulai menerimaku. Aku terlalu bodoh, berpikir kalau hubungan kita akan mudah ke depannya, Mas.."

Ada sebuah tangan tak kasat mata yang kini meremas jantung Gallend. Suara getir Arum benar-benar membuatnya tersakiti. Dia tidak sanggup.

"Kamu juga kenapa enggak pernah bilang tentang pertunangan itu? Kalau kamu bilang, setidaknya aku cukup tau diri untuk enggak datang." Arum memandang Gallend kembali. Luka dalam iris pekat gadis itu, membuat Gallend menahan napas sejenak. Merasa begitu bersalah. Terlebih ketika caira bening itu membasahi pipi Arum sekarang, hingga dengan kasar gadis itu segera mengusapnya menggunakan jemari.

Seolah tidak bersedia jika Gallend menghapusnya lebih dulu.

"Aku mohon, Mas.."

Gallend menggeleng samar. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan Arum memohon padanya. Gallend ingin berucap, tapi pita suaranya seakan menghilang. Atau lebih tepat, bibirnya yang tidak bisa bergerak?

Entahlah..

Keadaan saat ini benar-benar membuatnya merasa.. takut.

"Berhenti bilang aku tau perasaan kamu, sementara kenyataannya..." Arum menarik napas yang kian terasa tercekat. "aku kesulitan. Bahkan untuk sekadar meraba apa yang akan kamu lakukan, aku enggak bisa."

Keduanya terdiam lagi. Arum sibuk memerhatikan beberapa valet boy yang melakukan tugasnya dengan menerima kunci mobil dari para tamu yang ingin kendaraannya diparkirkan. Sedang Gallend menatap gelisah pada air pancuran taman yang gemericiknya bukan menimbulkan ketenangan, tapi rasa kalut. [1]

"Aku benar-benar hanya mengira.. kalau malam itu adalah pesta penyambutan Gempi." Gallend memberanikan diri bersuara kembali. Kedua tangannya mengepal di atas paha. "Aku juga enggak tau tentang rencana pertukaran cincin, pertunangan, and whatever that's damn it!" ia mengedikan bahu. Rasa kesal kembali membumbungi hati, mengingat apa yang telah Seruni dan Gempita lakukan.

Perasaannya kalut ketika menoleh pada Arum kembali. "Aku bicara jujur, Arum. Kalau kamu masih enggak percaya, kamu boleh tanyakan itu pada Om Hardi. Dia sendiri juga enggak menduga hal kemarin itu akan terjadi."

Butuh beberapa detik untuk Gallend menunggu, hingga Arum mengangguk samar kemudian. Gadis itu tersenyum miris, satu tangannya mencengkeram kain roknya sendiri. "Pada akhirnya, aku tetap aja membuat kamu dan Tante Seruni bertengkar."

Gallend tidak menyukai kata-kata itu. "Arum-"

"Aku pikir kita membutuhkan jeda, Mas."

Gallend mengerjap. Sejenak, ada denging yang menyapa telinganya beberapa saat, sebelum ia mampu keluar dari keterkejutan. "Maksud kamu?" Tidak ada ramah dalam nadanya. Gallend sudah merasakan kekhawatiran itu kini.

Arum menunduk semakin dalam. Remasan tangannya pada rok sendiri makin menguat. Setelah melewati beberapa detik dalam hening, gadis itu mendongak dan menoleh kembali pada Gallend yang sedang menatapinya tajam. "Aku pikir... jika kita meneruskan hubungan ini, itu sama saja namanya dengan melawan restu, kan? Bukan enggak mungkin, tante kamu akan terus menentang hubungan kita, Mas."

Akhirnya terjadi.

Ketakutan Gallendra sejak tadi akhirnya benar-benar terjadi.

Galllend beringsut mendekat. Ia tidak siap jika Arum menyerah.

Gallend menggapai jemari-jemari Arum untuk masuk dalam genggamannya, tapi sembari terisak kecil gadis itu pelan-pelan melepas tautan mereka. Tangis Arum semakin melirih, menikam jantung Gallend bertubi-tubi. Bukan hanya karena Gallend ketakutan melihat gadis itu menangis karena dirinya.. tapi Gallend juga takut akan ditinggalkan.

Menggeleng samar, Gallend berharap ketakutannya hanya ilusi dari kemungkinan paling buruk yang melesat di pikirannya sekarang. Artinya, masih ada kemungkinan terbaik, kan?

"Tapi, Rum.." suara Gallend bergetar, takut jika ia salah bicara sedikit saja maka Arum akan benar-benar mengucapkan kata pisah. Tidak, Gallend tidak siap untuk itu. "kita udah janji untuk bersama-sama, kan?"

Ada perih teramat sangat yang Gallend rasakan, ketika Arum menggeser posisi duduknya sedikit menjauh. Gadis itu mengangguk kuat, seolah ingin segera menyudahi pertemuan ini. "Awalnya iya, awalnya aku kira sanggup untuk berjuang.. tapi.."

Arum bergeleng. Menyalurkan denyut yang menjalari seluruh bagian tubuh Gallendra.

"Saat itu aku bisa lihat, bahwa ada harapan besar, bukan hanya dalam kata, tapi juga dari mata tante kamu. Untuk kamu dan Gempita. Dia benar-benar ingin kalian bersama, Mas." Arum mengerjap lagi hanya untuk menggulirkan airmata berikutnya yang kembali menjejaki pipi. Untuk kali ini saja, ia tidak ingin repot-repot menghapusnya. Ia ingin Gallendra tahu.. seberapa ia merasa sakit dengan keputusannya sendiri juga.

Keputusan akhir yang diambilnya setelah dua hari menjauh dari Gallend untuk berpikir.

"Tapi-"

"Jadi.."

Gallend mendesah keras, tidak menyukai Arum kembali memotong cepat ucapannya.

"lebih baik kita pikirkan lagi matang-matang hubungan ini. Apa memang pilihan untuk bersama ini benar atau tidak? Kalau memang kita ditakdirkan berdua, toh pada akhirnya aku dan kamu akan kembali menyatu."

Menahan gentar saat kini matanya menatap lamat-lamat Gallendra dalam sorot sendu, Arum melanjutkan ucapan. "Tapi kalau tidak, sekuat apa pun kita berupaya semua hanya akan sia-sia. Yang ada, kita melukai banyak orang. Aku dengan orang tuaku yang menaruh harapan besar ke kamu. Dan kamu, dengan keluarga Mahameru yang sudah berarti begitu banyak untuk kamu, Mas."

Arum menggigit bibir kuat-kuat. Percayalah, ia pun tidak sanggup melihat wajah pucat Gallend.

"Kamu hanya meminta waktu untuk berpikir, kan? Bukan mengakhiri?" Kalimat Gallend yang terucap setelah beberapa menit lamanya, menyentak Arum dan membuatnya menoleh lagi pada lelaki itu.

Arum mengangguk-angguk. "Tapi, maaf.." ada getar dalam suaranya, lalu ia ganti bergeleng. "aku enggak tau sampai kapan, Mas."

Mengusap cepat pipinya yang kembali basah dengan kedua tangan, Arum menarik napas dalam untuk kesekian kali.

"Yang pasti, sampai masing-masing dari kita siap untuk menghadapi segala konsekuensinya jika kita memilih berjuang lagi." Arum menekan kuat-kuat rasa sesak yang menyergapi dada. "Jadi.. bisa kah memberiku waktu sesaat? Sebentar saja.. biarkan aku bernapas sejenak. Dan aku akan memberikan hal yang sama untuk kamu juga, Mas."

Arum harus segera menyelesaikan kalimatnya, sebelum ia kehilangan kemampuan untuk mengutarakan apa yang sejak awal menjadi tujuannya untuk menemui Gallendra. "Ta-tapi.. kalau memang Mas Gallend lelah dan ingin mengakhirinya-"

"Aku akan menunggu." sela Gallend cepat, membuat Arum termangu menatapinya.

Menekan nyeri yang menyambangi dada, juga cairan yang mulai terasa menghalau mata, Gallend melanjutkan dengan kalimat yang lebih tegas. "Aku mencintai kamu, Rum. Apa pun yang ingin kamu lakukan, selama aku bisa.. aku akan menyanggupinya."

Keinginan kuat untuk memeluk Arum yang kembali menatapinya dalam sendu sekarang, Gallend berjuang keras untuk melenyapkannya.

"Tapi, aku ingin kamu tahu satu hal, Rum. Bahwa untuk membangun dan menjaga sebuah hubungan, direstui atau pun tidak, itu hanya melalui sebuah perjuangan dari kedua pihak. Karena cinta bukan ditemukan, tapi ditentukan lewat kehendak untuk membangunnya bersama." Gallend menjeda untuk merekam baik-baik bagaimana rupa Arum yang mungkin akan menjadi kali terakhir untuknya bisa melihat.

"Dan aku enggak bisa berjuang sendiri. Aku butuh kamu." Kalimat terakhir Gallendra, sebelum lelaki itu pergi meninggalkan Arum sendirian di bangku taman hari itu, membuat isakan Arum semakin menjadi-jadi sepanjang hari.

Dia kesulitan berkonsentrasi pada apa pun di sekelilingnya dan hanya menghabiskan waktu menangis di kamar hampir setiap hari ketika malam menjelang.

Tidak ada yang benar-benar menyadari, bahwa waktu perlahan membawa keduanya pada berpuluh-puluh hari yang hanya mereka lalui dalam sepi.

Gallendra sungguh memberikan apa yang Arum inginkan.

Jeda.

Untuk memikirkan ulang semuanya.

Pada akhirnya..

semesta pun tidak bisa membiarkan mereka bersatu sejak awal, kan?

[1] Vallet : Sebuah pelayanan yang ditawarkan oleh pihak hotel untuk memarkirkan kendaraan para tamu

Aku ndak tau apa2 gengs, aku cuma duduk diam aja makan kacang. Kalau mau marah, marah sama Arum aja ya *kabur*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro