[Stage 37] (Tak) Lebih dari Bayangan
Arum benar-benar membenci dirinya sendiri yang hanya mampu terdiam hingga Gallend sudah keluar dari rumah ini bersama Gempita. Gallendra tampaknya benar-benar marah hingga ia tidak mengajak Arum pulang bersama.
Satu tangan Arum yang bergetar mencari penopang dengan memegangi pembatas tangga. Ia tak punya tenaga untuk sekadar melangkah. Semua ini benar-benar mengejutkan.
"Aku minta maaf, Rum."
Arum tersentak. Baru menyadari Bara masih berdiri di tempat yang sama.
"Untuk membuat Mas Gallend membenci aku?" tanggap Arum sinis. Pandangannya menusuk menatap Bara.
"Bukan." Jawaban Bara semakin mendidihkan darah yang dipompa lebih kuat oleh jantung Arum sekarang. Kebencian membuat pembuluh darah gadis itu seakan menyentak-nyentak.
"Kemarahan dan kekalahan dia adalah tujuanku. Aku minta maaf karena harus melibatkan kamu di dalam rencanaku."
Arum termangu. Tidak pernah menyangka sama sekali jika Bara yang dulu dikaguminya berani berbuat hingga sejauh ini.
Mengerjap, cairain panas yang sejak tadi bergumul di pelupuk mata Arum kini jatuh membasahi pipi. Dengan cepat, dihapusnya kasar dengan jari-jarinya sendiri.
Karena mungkin.. tidak akan ada lagi Gallendra yang bersedia menghapusnya kini.
"Tungguh di sini sebentar. Aku akan ambilkan kamu baju lain."
"Di mana bajuku?" pertanyaan Arum menunda langkah Bara untuk menuju kamarnya di sudut lantai satu.
"Besok dicuci dulu sama orang kerja di rumahku. Baru nanti aku kembalikan."
"Di mana, Bara?!" Tertegun, Bara menatap Arum tidak percaya. Baru kali ini gadis itu menanggalkan kesopanannya saat memanggil Bara.
"Tunggu sebentar." Bara menjawab sebelum kemudian menuju mesin cuci yang berada di kamar mandi belakang. Setelah kembali, ia mengulurkan pakaian Arum yang sudah dimasukkannya dalam sebuah kantung plastik. Dengan kesal, Arum meraih plastik itu dan segera kembali ke kamar di lantai atas untuk berganti pakaian. Masa bodoh dengan kemejanya yang sudah kotor akibat tumpahan air yang entah bagaimana bisa terjadi. Arum juga meraih tasnya di atas nakas lalu kembali ke bawah.
Ia harus menanyakan satu hal yang sejak tadi terasa mengganggu. Dua kali ia berada di situasi seperti sekarang, tapi entah mengapa kali ini dirinya yakin bahwa tidak ada yang terjadi di antaranya dan Bara.
Jawaban lelaki itu pun ketika Arum bertanya, sungguh melegakan. "Aku sungguh enggak melakukan apa pun untuk kamu, Rum. Kalau enggak percaya, aku akan panggilkan mbok yang bekerja di rumahku. Dia yang tadi mengganti baju kamu."
Arum berangguk cepat karena malas bersama Bara lebih lama. Tanpa pamit, ia melangkah menuju pintu keluar. Namun saat satu tangannya mencapai knop, suara Bara menahan keinginannya untuk pergi.
"Kenapa kamu harus mencintai Gallendra? Kamu tahu seberapa seringnya dia gonta-ganti pasangan? Kamu enggak perlu sebersalah ini, Rum, sekali pun kamu benar-benar berselingkuh denganku."
Arum berbalik cepat, menahan keras emosi yang serasa ingin membludak. "Karena dia bukan kamu. Karena itu, aku mencintainya."
Bara mengerjap. Ketegasan dalam sindiran tersebut mengoyak hatinya.
"Seliar apa pun Mas Gallend di mata kamu, tapi dia bukan lelaki pecundang yang tega memfitnah orang lain. Apalagi orang yang tidak bersalah sama sekali hanya demi kepuasannya semata."
"Aku melakukan ini karena aku mencintai kamu, Rum."
Meski tertegun sesaat, tapi Arum berhasil menguasai diri. Dulu, ia pernah sangat berharap mendengarkan kalimat itu dari Bara. Tapi, selain karena hatinya kini telah tertambat pada Gallendra, pernyataan Bara barusan justru terdengar sangat menjijikkan.
Hanya dengan alasan 'cinta', Bara tega melakukan perbuatan tercela pada Arum.
"Aku cuma enggak mau kalau kamu sampai dikecewakan oleh bajingan-"
"Berhenti menyebut Mas Gallend seperti itu!"
Bara terkesiap karena untuk pertama kalinya, suara Arum menggelegar dengan sorot mata yang membuncahkan kebencian hebat. Tubuh gadis itu menegang. Tidak memberi Bara kesempatan sama sekali untuk bicara lagi.
"Beritahu Mas Gallend yang sebenarnya, atau aku enggak akan memaafkan kamu." Jeda. "Satu lagi. Cari tahu lebih dulu, apa Gallend benar-benar sudah berbuat jahat ke orang tua kamu? Atau justru sebaliknya, kalian yang membuat dia menderita?"
*
Kenzi mengerutkan kening saat Arum muncul dengan napas tersengal.
"Mas Gallend ada, Ken?"
Kenzi mengangguk-angguk. Dalam hati berdoa agar tak ada drama yang terjadi hari ini. Sudah cukup dua hari belakangan atasannya uring-uringan sampai berulang kali dirinya disemprot. Sekarang, justru pacarnya Gallendra yang datang-datang berubah seperti power ranger yang lari-lari karena dikejar musuh.
"Ada di ruangannya, Mbak."
Arum mengangguk cepat, secepat Kenzi yang kebingungan karena lanjutan perkataannya tak jadi terucap berkat kecepatan lari Arum yang membuatnya tercengang. Arum melesat menuju ruangan Gallendra.
Tangan Arum memegang knop untuk melebarkan pintu yang ternyata sudah terbuka dengan sedikit celah, tapi suara Gallend membuatnya mematung.
"Harus berapa kali aku mengatakannya, Tante? Aku menolak perjodohan itu! Gempi, adikku. Walau kami bukan saudara kandung, tapi aku menyayangi dia seperti adik kandungku sendiri."
"Perlahan-lahan kamu bisa mengubah rasa sayang itu menjadi cinta Gallend. Tante yakin, kok."
Arum menutup mulutnya dengan telapak tangan yang bebas. Terkejut dengan pembahasan Gallendra dan perempuan yang entah siapa.
"Kecuali ada alasan lain kamu menolak dijodohkan? Kamu punya pacar? Siapa lagi sekarang? Lebih baik kamu segera memutuskan dia karena tante yakin, pacar kamu itu pasti hanya mendekati kamu untuk harta, sama kayak yang udah-udah. Percaya, deh, Gempi itu yang terbaik untuk kamu, Lend."
Jadi, Gallend dijodohkan dengan Gempita?
Arum merasa tubuhnya seketika lemas. Perutnya pun mendadak mual. Efek melewatkan makan pagi dan siangnya baru terasa sekarang, lantaran ingin buru-buru menemui Gallendra. Niat hati berkunjung ke Mahameru Production untuk memperbaiki hubungannya dan Gallend yang dua hari ini terus menghindarinya, Arum malah mendapat kejutan.
Membatalkan niatnya untuk bicara sekarang dengan Gallendra, Arum memutar balik tubuh Matanya mulai terasa panas oleh cairan. Sebelum ia menangis dan ditanyakan ini itu oleh Kenzi hingga menimbulkan kehebohan sekantor, Arum melangkah keluar dengan kecepatan yang sama mengagumkannya seperti tadi, sampai-sampai Kenzi menatapnya terkesima.
"Itu anak pasti titisannya wonder woman." Kenzi bergeleng-geleng tidak habis pikir.
*
Arum menggigit bibir. Semasa hidupnya, baru sekarang Arum mengambil keputusan seyakin ini. Bukannya meraung-raung meminta putus, Arum justru kembali ke ruangan Gallend setelah mengisi perutnya yang kosong di kafe kantor. Ia harus punya tenaga untuk berpikir.
Jika memang Gallend dijodohkan, Arum tidak akan goyah memperjuangkan hubungannya asal Gallend menolak perjodohan itu dan tetap memilihnya.
Saat tiba di ruangan, Gallend terperanjat begitu melihat kehadiran Arum. Kebingungan lelaki itu semakin nyata saat Arum berjalan mendekat, hingga berdiri di samping meja sang direktur Mahameru Production. Untuk beberapa menit hening menyelimuti, sampai Arum yang tidak tahan juga, akhirnya memecah kebisuan.
"Kamu dijodohkan dengan Gempita?" tanya Arum lirih. Keberaniannya tadi menguap dan hilang entah ke mana begitu berhadapan dengan Gallend. Suaranya jadi mirip cicitan anak kucing sekarang.
"Kamu tau dari mana?"
Arum menunduk. Meremas jari-jarinya yang saling bertaut.
Jadi benar.
"Maaf, aku enggak sengaja dengar percakapan kamu sama tante kamu, Mas."
Helaan napas Gallend kemudian membuat Arum menggigit bibir.
"Kamu menerimanya?"
"Kamu tau jawabannya."
Mengerutkan kening, Arum dilanda bingung hingga ia menelengkan kepala untuk berpikir maksud pertanyaan balik Gallendra. Ia belum juga menemukan jawaban ketika terpekik akibat tubuhnya diangkat oleh Gallend yang menyelipkan tangan di celah lututnya, sehingga dirinya kini terduduk di atas meja, sementara lelaki itu sendiri berdiri di hadapannya.
Arum gelagapan ketika menemukan wajah Gallend sudah berada sejengkal di depan wajahnya. Deru napas pria itu menerpa kulit Arum, membuat perutnya dipenuhi jutaan kupu-kupu yang mengepak liar hingga menimbulkan sensasi mulas.
"Kamu tau jawabannya, kan?" Gallend memastikan dan Arum menaikkan satu alis.
"Kamu pilih aku?" Arum bertanya ragu.
"Kamu mau aku pilih dia?"
Arum menggeleng cepat. Baik, satu masalah selesai. Arum menatap Gallend yang kini memandangi bibirnya sampai Arum salah tingkah dan spontan meremas lengan kemeja kekasihnya yang terlipat hingga siku.
"Yang soal Bara, kamu enggak marah lagi sama aku, Mas? Kemarin itu aku-"
Arum membeliak karena Gallend mengecup bibirnya tanpa permisi. "Aku tau." Kata Gallend setelah menarik wajah. Matanya kembali menatap Arum yang kini merona malu, membuatnya tersenyum sambil mengelus pipi gadis itu dengan jempol kanannya sendiri.
"Kamu enggak perlu menjelaskannya lagi." ujar Gallend. "Sedari awal, aku mempercayai kamu." Benar. Tidak pernah terbersit sedikit pun di benaknya bahwa Arum akan selingkuh. Justru yang selalu membuatnya was-was setiap hari adalah orang lain yang kemungkinan ingin merebut Arum darinya.
"Bara menjebak kamu. Dia mengakuinya padaku sendiri kemarin saat dia ke sini untuk memberi pelajaran kesekian kalinya." Tepatnya, Bara keceplosan. Saat mereka bertengkar lagi, Bara tidak sengaja mengatakan bahwa ia tidak habis pikir dengan Arum yang sangat mencintai dan mempercayai Gallend.
"Aku juga sudah memberitahu dia tentang kebenaran hubunganku dan orang tuanya, tapi Bara tetap menyangkal dan tidak percaya." Gallend mengedikkan bahu. "Setelah ini terserah dia akan percaya atau tidak."
Gallendra terdiam untuk meresapi jemari-jemari Arum yang kini bergerak membelai kepalanya seraya berkata, "Good job, cah bagus! [1]"
Gallend mendengkus mendengar pujian itu, bukan cuma keisengan Arum yang menggunakan dua bahasa, tapi juga cara memuji Arum yang sudah seperti orang tua, membuat Gallend merasa dirinya lebih mirip bocah.
"Aku benci lihat kamu berpenampilan seperti kemarin di hadapan Bara." Gallend menggeleng. "Di hadapan laki-laki lainnya pun, aku juga enggak akan suka melihat itu. Kamu milikku, Kencana Arum."
Terhipnotis oleh sendunya tatapan Gallendra, Arum membiarkan Gallend menyatukan bibir mereka lagi. Kali ini bukan sekedar sentuhan ringan. Pria itu melumatnya, lama. Seolah menyalurkan kerinduan. Arum spontan memejam dan mengalungkan kedua tangannya di leher Gallend ketika lelaki itu menarik punggung Arum lebih dekat. Ciuman itu semakin dalam, Gallend hanya sekali melepasnya untuk memberi Arum kesempatan meraup oksigen agar bisa bernapas. Lalu bibir pria itu menemukan bibirnya lagi, bermenit-menit hingga ciuman tersebut perlahan berpindah pada dagu Arum. Gallend memberikan banyak kecupan di sana.
Otak Arum memerintahkan untuk melarang, tapi tubuhnya tidak kuasa menahan gejolak desir yang Gallend beri. Arum hampir membiarkan Gallend menuruni ciumannya menuju leher, ketika mata gadis itu terbuka cepat dan mendorong dada Gallend untuk menjauh.
"Sebentar.."
"Apa lagi?" Gallend menatap gusar. "Aku udah rindu banget sama kamu, lho, ini.."
"Mas Gallend harus jelasin dulu. Gimana bisa kamu menolak perjodohan itu? Yang minta, kan, Tante kamu sendiri. Kamu berani menolak permintaannya?"
Gallend menghela napas. Sejujurnya, ia bersyukur Arum menahannya. Karena kalau tidak, Gallend pasti uringan-uringan jika berhenti di tengah jalan. Sebab dia pasti tidak akan membiarkan dirinya melewati batas pada Arum. Sudah menjadi tekadnya untuk menjaga gadis itu.
"Tante Seruni bilang, sebenarnya ide perjodohan adalah ide ibu angkatku dulu. Mama sangat berharap aku bisa menikahi anak kandungnya agar status kekeluargaan kami semakin terikat. Bukan hanya sebatas hukum dengan mengangkatku sebagai anak saja. Karena itu, Tante Seruni bersikukuh melakukan itu sekarang setelah Gempi kembali."
"Jadi?"
"Apanya?"
"Permintaan Mama kamu, kan, sama aja seperti wasiat, Mas. Artinya, kamu harus menjalankan, kan."
"Itu bukan wasiat, Sayang." Gallend memilih merebahkan dahinya di Pundak Arum. Ini lebih baik daripada ia terpancing nafsu lagi.
"Om Hardi, suami Tante Seruni sendiri yang bilang kalau dulu Mama hanya mencetuskan ide, tapi Mama juga tidak akan pernah memaksa bila aku enggak bisa mencintai Gempita. Begitu pun sebaliknya. Dan aku percaya itulah yang Mama katakan, karena memang seperti itulah sifat Mama sesungguhnya. Makanya, aku menolak perjodohan itu sejak awal."
"Tante kamu mengizinkan?"
"Aku akan terus berupaya, aku yakin bisa mengalahkan keinginannya." Gallend melingkarkan kedua lengannya untuk memeluki pinggang Arum. "Aku memang berhutang budi pada keluarga Mahameru, dan aku akan membayarnya dengan segenap jiwaku sampai aku mati. Tapi, dari kedua orang tua angkatku juga, aku belajar banyak hal. Bahwa kebahagiaan mereka terletak pada kebahagiaan anak-anaknya juga. Jadi, aku yakin mereka tidak akan marah bila aku memilih kamu."
Arum tersenyum. Satu tangannya mengusapi bahu Gallend untuk memberikan lelaki itu ketenangan.
"Maafin aku, ya, Mas. Aku udah mematahkan kepercayaan Mas Gallend kemarin." Saat itulah, Arum merasa pelukan Gallend semakin mengerat.
"Aku mendiamkan kamu selama dua hari ini bukan karena aku mau melepas kamu, Rum. Aku memang agak kesal, sehingga enggak menghubungi kamu sekali pun. Tapi, aku lebih takut jika Tante Seruni sampai melihat kamu. Tante hampir tiap hari mengunjungiku." Di kantor mau pun di rumah.
"dia ingin melihat siapa kekasihku yang baru. Aku juga ingin mengenalkan kamu, tapi, enggak sekarang. Aku enggak mau kalau Tanteku sampai berkata sesuatu yang membuat kamu justru menjauh. Kita berjuang bersama, ya? Kamu mau, kan?"
Arum tidak perlu menunggu jeda waktu untuk menganggukkan kepalanya.
*
Tapi..
bisakah perjanjian mereka berjalan, di saat salah satunya melanggar?
Arum meremas gift box berisi tas slempang rotan yang semula ingin dihadiahkannya untuk Gempi, ketika matanya menatap nyalang ke arah panggung di tengah taman yang di dekorasi sedemikian indah. Di sana, berdiri Gallend yang sedang memegang sebuah kotak beludru kecil. Kotak yang baru saja Seruni berikan padanya agar Gallend segera menyematkan cincin di dalamnya ke jari manis Gempita yang kini terlihat begitu ayu dalam balutan kebaya brokat hitam, berdiri di samping Gallendra yang mengenakan kemeja batik berwarna serupa.
Arum mengerjap, menyesali kedatangannya malam ini ke kediaman Mahameru. Padahal ia sudah begitu bahagia ketika Gempi tiba-tiba mengundangnya ke perayaan pesta penyambutan gadis itu sebagai bagian dari Mahameru.
Ia benar-benar bodoh, tidak menaruh heran sama sekali ketika Gempi menyarankan Arum datang sendiri. Memintainya untuk menolak jika Gallend mengajak pergi bersama. Sesuai rencana Gempi, Arum juga ingin memberi kejutan untuk Gallendra dengan tiba-tiba hadir di pesta. Tapi, pilihannya menjadi bumerang.
Arum pikir.. Gempita sudah mulai menyukainya.
Tapi..
"Malam ini akan menjadi perjalanan indah untuk keponakan-keponakan saya. Mereka akan secara resmi melangsungkan pertunangan." Tepat ketika perempuan yang Arum kenali sebagai Tante Seruni itu bicara, musik yang semula mengalunkan instrumen syahdu perlahan-lahan berhenti. Berganti hening, seolah menghormati detik-detik di mana sang Raja akan memasangkan cincin di jari calon Ratunya.
Kepala Arum terasa berputar. Kebahagiaannya tadi kini menguap menjadi partikel debu yang tidak berarti.
Mata Arum mengedar pandang, mencari apa pun yang bisa ia jadikan penopang tubuhnya yang lemas sekarang. Hingga ketika dia menemukan sebuah kursi kosong milik tamu, satu tangannya memegang punggung kursi, sementara tangan yang lain masih mendekap kotak kado, dengan wajah menunduk.
Dadanya berdenyut nyeri.
Apa-apaan ini?
Gallend menipunya?
Lelaki itu bilang ingin berjuang bersama Arum, kan?
Lalu?
Mengapa kenyataan sekarang membuktikan, bahwa kata-kata tersebut tidak akan pernah bisa menjadi lebih dari sekadar bayangan?
Inikah tujuan Gempita mengundangnya ke pesta malam ini?
Inikah tujuan Gallendra untuk terus membuatnya jatuh hati? Agar seluruh tulang Arum retak tak bersisa setelah dihempaskan dari ketinggian begitu saja?
Mengapa Gallend tidak memutuskan Arum dulu sebelum menerima perjodohan dengan Gempita?
Ada terlalu banyak pertanyaan yang siap meledakkan kepala Arum sebentar lagi. Arum menarik napas, mencoba mencari pasokan udara yang bisa dihirupnya agar tetap tenang. Namun gagal.
Dengan tangan bergetar, meninggalkan kadonya yang tidak ia sadari terjatuh ke rerumputan, Arum melangkah cepat hendak meninggalkan taman. Tapi, gerakan terburunya justru menambah masalah lain karena ia menubruk seorang pelayan wanita yang sedang membawa dua gelas minuman. Gelas jatuh dan pecah. Suara nyaringnya menyedot perhatian semua orang, termasuk Gallendra yang langsung membeliak ketika tatapannya bertemu dengan Arum.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro