[Stage 36] Goresan Kepercayaan
Semoga cemas ini hanya sebuah ilusi.
Halusinasi akibat kelelahan hebat lantaran pekerjaan yang terus menumpuki pundak Arum selama seminggu ini. Tak dipungkiri, rasa letih itu mempertebal tingkat gelisah Arum hanya karena ucapan Gempita dua minggu lalu. Perlahan-lahan, entah mengapa rasanya.. keberadaan Gempita di samping Gallendra seolah sedang berusaha mengikiskan kebahagiaan dan kenyamanan Arum.
Bukan karena sikap kekasihnya berubah, meski Arum tahu bahwa dua minggu ini Gallend selalu berupaya membuat Gempita nyaman berada di kota asalnya. Lelaki itu menyempatkan diri membawa sang adik jalan-jalan menyusuri setiap destinasi rekreasi terkenal di Yogyakarta. Mulai dari mengunjungi toko-toko di kawasan Malioboro, menjelajahi hutan Mangrove dan air terjun Kelung Kedut di Kulon Prugo, hingga berwisata di Kalibiru.
Untuk yang terakhir, Arum memilih tidak ikut. Ia benar-benar tidak nyaman dengan Gempita. Hanya dalam dua kali perjalanan di minggu pertama ketika Gallend mengajaknya ikut serta, sikap Gempita terasa janggal untuknya. Gadis itu lebih banyak bicara pada Gallend, menanyakan ini dan itu. Tapi pada Arum, hanya sepatah dua patah berkomunikasi, itu pun jika Gallend menyertakan Arum masuk dalam percakapan mereka.
Ada kalanya Arum ingin berbagi kekhawatirannya akan sikap Gempita pada Gallend, tapi keinginan itu menguap setiap kali Gallend bercerita tentang betapa bahagianya keluarga Mahameru setelah kepulangan Gempita. Seringnya menghabiskan waktu bersama Gempita, sedikit banyak juga membentangkan jarak pada intensitas pertemuan Gallend dan Arum. Selain karena Arum lebih sering menolak ajakan, ia pun diberi tumpukan tugas yang seolah tak ada habisnya dalam satu minggu ini oleh Bara.
Mendesah keras, Arum menjatuhkan tubuh pada kursi kerjanya sendiri sesegara ia memasuki kubikelnya di kantor. Dengan wajah lesu, matanya menatap map merah berisi dokumen kerja sama yang barusan ia letakkan juga di atas meja. Ia dan Rumi baru saja selesai meeting ketiga di hari ini, melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan pasangan pengantin yang menyewa ballroom D'Amore Hotel untuk pergelaran akad dan resepsi pernikahan mereka dua bulan lagi.
PING!
Suara notifikasi chat menyentak Arum, memutuskan tatapan nelangsanya pada tumpukan berkas di atas meja dan kini, pandangannya teralih pada ponsel yang berada dalam genggaman tangan kanannya sendiri.
Gallend💕 :
[Kangeeen..]
Arum tersenyum. Tidak perlu membaca nama pengirim pun, ia sudah tahu siapa yang mengetikkan isi pesan dengan kata-kata 'rindu' seberlebihan itu. Dengan cepat, Arum mengetikkan balasan.
Me :
[Makasih udah dikangenin.]
Gallend💕 :
[Kamu enggak kangen aku?]
Pesan masuk berikutnya membuat Arum terkikik. Ah, dia rindu Gallendra. Padahal baru dua hari lalu, pria itu pergi ke Jakarta. Mengurus beberapa berkas resmi untuk identitas Gempi yang baru.
Me :
[Lagi sibuk banget iniii.]
[Enggak sempat kangen.]
[Rasanya mau nangis saking capeknya.
Gallend💕 :
[Udah aku bilang pindah kerja di kantorku aja.]
[Tugas kamu cuma duduk manis aja di sana jadi asistenku.]
[Kapan lagi coba bisa lihat cowok tampan waktu lagi kerja?]
Me :
[Di hotel juga banyak yang tampan🤭]
Gallend berulang kali 'mengetik-hapus'. Hingga hampir semenit lamanya, lelaki itu baru membalas.
Gallend 💕 :
[Jaga mata, ya, Sayaaang. Jaga hati juga.]
[Ingat, sudah punya pacar!]
Me :
[Pacarnya lagi enggak di Yogya.]
Gallend 💕 :
[Awas aja kalo matanya sampai jelalatan, ya.]
[Besok-besok aku tulis di jidat kamu pake spidol, 'MILIK GALLENDRA']
Arum tidak kuasa lagi menahan tawanya. Belum juga Arum membalas, pesan Gallendra sudah kembali mengisi room chat di ponselnya.
Gallend 💕 :
[Lagian Bara keterlaluan banget, sih.]
[Bisa-bisanya dia buat kamu sampai nangis.]
[Awas aja dia kalau aku balik ke Jogja nanti!]
Me :
[Mau kamu marahi?]
Gallend 💕 :
[Mau aku ajak karaokean,]
[Nyanyiin lagu Bang Rhoma yang judulnya 'Begadang']
[Biar dia tahu kalau manusia itu harus punya waktu istirahat juga.]
Arum bergeleng-geleng tidak habis pikir dengan jalan pikiran kekasihnya. Gadis itu mengerutkan kening ketika sebuah foto Gallend kirimkan. Senyumnya langsung tersungging ketika melihat wajah Gallend memenuhi layar ponselnya sekarang.
[Kangen dimasakin kamu. Pulang nanti masakin aku lagi, ya, Sayang😘]
Lagi-lagi gadis itu tertawa kecil melihat isi chat Gallend yang memberikannya emoticon 'cium'. Khas sekali dengan tingkah lelaki itu yang suka sembarangan menggodainya tidak kenal tempat.
Tapi..
Arum rindu.
Senyum Arum memudar secepat ia menyadari, mungkinkah Gempi yang mengambilkan foto ini? Gallend hanya bersama Gempi ke Jakarta. Jadi..
Arum bergeleng cepat. Menepis jauh pemikiran buruk. Gempi itu adik Gallend. Ya, adiknya.. kalau pun benar gadis itu tidak menyukai Arum, tidak masalah. Demi Gallendra, Arum akan membuat Gempita menyukainya suatu saat.
"Arum." Suara Bara yang khas terdengar tiba-tiba, membuat Arum spontan meletakkan ponselnya di atas meja setelah mengunci layar. Gadis itu bangkit dari duduk, menghadap Bara yang kini berdiri di ambang celah kubikelnya.
"Iya, Mas?"
"Kontrak kerja sama dengan Pak Revanza, udah?"
"Udah, kok." Arum menyerahkan dokumen dalam map merah kepada Bara. "Tapi list perencanaan event-nya belum selesai saya rapikan. Tema wedding-nya baru aja fix waktu meeting tadi. Nanti saya susun dulu. Baru setelahnya saya kasih, ya, Mas."
Bara mengangguk-angguk, tangannya kembali meletakkan map tadi ke sisi atas tembok kubikel. Lelaki itu menggumam tidak jelas, menambah sejenak kegelisahan Arum. Mungkinkah Bara ingin memberinya tambahan tugas? Yang kemarin saja belum selesai.
"Rum.." Bara menunduk sesaat sementara Arum menunggu dengan hati ketar-ketir.
"Ya?"
"Saya minta maaf atas perkelahian dengan Gallend tempo hari, ya."
Arum tertegun. Butuh waktu sampai satu menit hingga ia mampu mengeluarkan suara. "Seharusnya Mas Bara minta maafnya ke Mas Gallend, bukan ke saya."
"Saya tahu." Bara mengangguk cepat. "Tapi, bagaimana pun saya sempat melibatkan kamu dalam pertengkaran kami. Setelah dipikir-pikir.. rasanya salah kalau terus dendam seperti ini." Jeda. "Saya minta maaf juga karena beberapa kali menghindari Gallend ketika dia ke sini untuk menemui saya. Waktu itu, saya masih marah pada dia."
Arum meremas sisi rok yang dikenakannya. Gelisah.
Bara terlihat jelas, jarang sekali Arum melihatnya seperti ini.
"Jadi, saya ingin secepatnya menyelesaikan masalah ini dengan Gallendra. Karena itu, saya butuh bantuan kamu untuk memberi masukan. Saya bingung harus gimana dan kapan mengajak Gallend buat ketemu. Kamu enggak keberatan 'kan kalau setelah kerja nanti, kita bicara dulu di kafe? Baru setelah itu, kamu saya antar pulang."
"Mas Bara benaran serius mau berbaikan?" Bukannya menjawab, Arum malah balik bertanya. Kemudian, ada kecewaan yang tersirat di manik hitam Bara. Mungkinkah pertanyaan Arum sedikit menyinggungnya?
Tapi, bagaimana pun Arum harus memastikan betul niat Bara. Dia tidak ingin Gallendra kembali berseteru dengan Bara kalau dirinya sampai salah langkah. Apalagi, selama ini Gallend selalu mewanti-wanti agar Arum tidak perlu membicarakan masalah antara kedua laki-laki itu, hanya berdua saja dengan Bara. Gallend bilang, ia ingin menyelesaikannya sendiri.
Tapi, benar seperti apa yang Bara katakan. Rasanya pasti canggung memulai kalau tidak ada perantara di antara mereka.
"Enggak bakal ada tonjok-tonjokan lagi, kan, Mas?"
Bara menghela napas, mungkin lelah dengan ketidakyakinan Arum. "Enggak, Arum. Aku janji."
Setidaknya, Arum mengenal Bara bukan sebagai pribadi yang bisa 'berbohong'. Dan itu menjadi alasan kuat untuknnya memilih menganggukkan kepala sekarang. "Boleh, Mas. Kita bicara di kafe hotel aja. Tapi, saya pulang sendiri. Enggak perlu diantar."
*
"Ini pakaiannya, Den [1]."
Gerakan tangan Bara yang tengah mengaduk hot lemon tea, terhenti begitu suara takut-takut itu terdengar. Bukannya menoleh pada wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu dapur dan baru saja mengajaknya bicara, lelaki itu justru tetap memfokuskan pandangannya pada cangkir bermotif penguin yang sengaja ia beli karena tahu Arum sangat menyukai motif tersebut. Ada banyak barang-barang dengan motif sama di meja kerja Arum yang pernah dilihatnya.
"Taruh saja di mesin cuci."
"Tapi.."
Terusik, kali ini Bara benar-benar mengalihkan pandangannya pada wanita yang sudah setahun ini menjadi asisten rumah tangga di rumahnya—satu-satunya peninggalan keluarga yang berhasil ia tebus. Di tangan wanita itu, ada pakaian Arum yang sudah dilipati.
Beberapa detik Bara menitikan fokusnya pada pakaian itu. Ingatannya merambat pada kejadian tadi sore. Sejujurnya, ada rasa berat di hati Bara untuk melakukan tindakan ini pada Arum, gadis yang begitu ia cintai.
Bara meremat lebih kuat gagang cangkir karena kekesalan untuk dirinya sendiri.
Sudah terlanjur. Ia hanya tidak punya cara lain untuk bisa membuat Gallend merasa sangat-sangat kalah dari dirinya. Hanya Kencana Arum, kelemahan seorang Gallendra Madana Mahameru sekarang.
"Masukkan saja ke mesin cuci, Mbok Yem [2]." Datar, namun menekan. Setiap kata-kata Bara membuat Sariyem semakin khawatir dengan apa yang hendak diperbuat majikannya. Pribadi Bara yang biasanya hangat sangat berkebalikan dengan apa yang kini ia lihat.
Bagaimana bisa lelaki penuh sopan santun seperti Bara, baru saja membawa seorang perempuan dalam keadaan tidak sadarkan diri ke rumahnya sendiri, lalu menyuruh Sariyem menggantikan pakaian perempuan itu dengan kemejanya? Sejak awal Sariyem sudah merasa aneh, tapi tidak punya kuasa menolak perintah.
"Setelah dimasukkan ke mesin cuci, Mbok bisa pulang." Bara mempertegas perintahnya lagi. Dia berjalan mendekati Sariyem dengan cangkir di tangan. "Tenang saja, saya enggak punya niat ngapa-ngapain teman saya, kok. Bajunya basah karena terkena minuman di kafe kemarin." Bara berhenti sesaat untuk lanjut menjelaskan. "Lalu kepalanya sakit dan ketiduran. Saya enggak tau rumahnya, jadi terpaksa saya bawa kemari. Dia juga tidak akan menginap di sini. Sebentar lagi ada temannya yang datang menjemput."
Penuturan Bara membuat Sariyem akhirnya menghela napas lega. "Nggih. Kalau gitu, bajunya Mbok taruh dulu di mesin cuci."
Bara mengangguk, sebelum melanjutkan langkahnya lagi menuju ruang tengah dengan senyum miring terpatri nyata. Baru beberapa menit asisten rumah tangganya berpamitan, denting bel rumah terdengar. Berkali-kali, bahkan pintunya di ketuk kuat tidak sabaran. Bara yakin bila ia biarkan lebih lama, pintu kayu jati rumahnya berpotensi besar didobrak oleh sang tamu.
Mendengar ketergesaan itu, Bara melangkah santai dengan senyum terulas, tahu siapa pengunjung tersebut. Senyuman Bara semakin lebar kala mendapati Gallendra berdiri di depan pintu bersama seorang wanita.
"Di mana Arum?!" Gallendra menyerbu cepat, menarik kerah kemeja Bara sepersekian detik begitu Bara membuka pintu. Tatapan Gallend sarat kebencian, namun Bara membalas reaksi itu dengan senyum ejekan.
Wajah penuh amarah milik Gallend semakin memerah padam.
Dalam sekali sentak, Gallend melepas pegangannya di kerah Bara. Seolah sadar, dia tidak punya waktu menghabisi Bara karena menemui Arum jauh lebih penting sekarang.
"Katakan di mana Arum, brengsek!" suara Gallend meninggi, tapi tidak menyurutkan keberanian Bara untuk terus memancing kemurkaan Gallend sama sekali. Sehingga kini, ditatapnya balik Gallendra dengan satu sudut bibir tertarik ke atas. Sesuai perkiraan. Musuhnya datang sebelum efek bius yang sengaja ia berikan dalam minuman Arum di kafe sore tadi, habis waktunya.
"Kenapa kamu sungguh enggak sabar?" sindir Bara. Senyum meremehkannya masih menetap, sementara Gallend mengepalkan kedua tangan, menahan diri untuk tidak meninju batang hidung si tuan rumah sekarang. Di belakangnya, Gempita berusaha menenangkan, meski tidak berarti apa-apa.
Gallend tidak mungkin bisa tenang sebelum menemukan Arumnya.
"Apa maksud kamu mengirim foto seperti tadi padaku?! Kenapa Arum bisa.." Gallend menahan gelegak murka yang memenuhi dadanya saat mengingat foto yang beberapa saat lalu Bara kirimkan ke ponselnya.
Gallend mengetatkan rahang. Bahkan untuk sekedar mengingat detail foto tadi, ia tidak sanggup dan tidak sudi. Satu-satunya yang terpikir begitu melihat foto tersebut, hanyalah memutarbalik arah mobilnya ketika ia dalam perjalanan pulang dari bandara untuk mengantar Gempi ke rumah, menjadi menuju kediaman Bara yang alamatnya ia dapatkan dari Rumi.
Bara tertawa culas. "Menurutmu? Arum memakai kemejaku yang kebesaran, tidur di kamarku, itu artinya apa kalau bukan—"
BUGH
Pukulan keras membentur rahang Bara sampai ia terperosok jatuh ke lantai rumahnya sendiri. Gallend memaksa masuk dan dengan gerakan seperti orang gila, ia membuka pintu setiap ruangan yang terlihat. Tapi kekecewaaan harus Gallend telan bulat-bulat saat tidak menemukan Arum di mana pun.
"Yakin mau masuk ke rumahku? Kamu bisa aja melihat sesuatu yang enggak ingin kamu lihat." Bara tidak bisa melanjutkan usahanya untuk berdiri karena sepersekian detik begitu ia berucap, Gallend melayangkan satu tendangan di perutnya. Begitu cepat dengan kekuatan maksimal, sampai Bara tersungkur.
"Kak Gallend! Berhenti!"
"DI MANA ARUM, KEPARAT?" Mengabaikan seruan sang adik, Gallend menarik kuat-kuat baju belakang Bara yang masih terjerembab dengan wajah menghadap lantai, memaksa Bara bangkit. Jika dibolehkan, ingin sekali rasanya ia mencekik leher lelaki bajingan yang kini berdiri di hadapannya sekarang.
"Mungkin sedang mandi." Nada tenang Bara mengundang satu hantaman tinju lagi dari Gallend di pipi atasnya. Gallend memukulinya bertubi-tubi hingga teriakan histeris Gempita mengisi sel-sela perkelahian di mana Bara juga berusaha memukul balas.
Ketika Bara berhasil menyodok kuat dada Gallend dengan sikunya, kedua tangan Bara langsung mencengkeram kerah leher Gallend sebagai pembalasan. "Untuk apa kamu marah dikhianati, hah?" desisnya, menatap penuh dendam Gallendra. "Pengkhianatan Arum bukan apa-apa dibandingkan apa yang kamu lakukan dengan mantan-mantanmu du—"
"BRENGSEK!"
Ucapan Bara tidak pernah tergenapi. Bukan hanya karena Gallend menumbuk perutnya lagi, tapi karena suara cicitan yang berasal dari anak tangga. Terdengar pelan dan penuh ketakutan.
"Mas Gallend."
*
Sungguh, tidak ada yang lebih menakutkan selain melihat kemarahan Gallendra saat ini.
Kebencian Arum terhadap dirinya sendiri—serta merta timbul begitu ia terbangun di sebuah ruangan asing dengan pakaian mengerikan; hanya kemeja putih kebesaran yang menutup sebatas pahanya dan pakaian dalam yang syukurnya masih lengkap—tidak sebanding dengan tatapan kebencian Gallendra untuknya.
Beberapa saat lalu, Arum frustrasi karena sudah mencari pakaiannya di sepenjuru ruang kamar, tapi tidak kunjung ditemukan. Dia bahkan tidak mendapatkan secuil kain pun di lemari untuk sekedar menutupi bagian betis yang hampir tidak pernah dirinya ekspos saat berpakaian.
"Ma—Mas Gallend.." Arum terisak, masih berdiri di satu anak tangga terakhir. Tadi, dirinya langsung bergegas turun saat mendengar suara Gallendra dari lantai atas. Ingin sekali rasanya menghambur ke pelukan sang kekasih untuk meminta perlindungan. Karena Arum sendiri tidak tahu mengapa ia bisa berakhir di rumah ini bersama Bara yang baru saja dilihatnya terlibat pertengkaran dengan Gallendra.
Tapi, pendar kemurkaan Gallend ketika memerhatikan apa yang Arum kenakan, terutama pada kancing kemeja paling atas Arum yang terbuka hingga memperlihatkan sedikit bahunya, membuat Arum harus menelan pahit saat Gallend hanya berjalan cepat ke arahnya dan menyampirkan jas milik pria itu untuk menutupi bagian depan tubuhnya dari semua pandangan.
Gallend diam tanpa kata. Hingga Arum takut-takut untuk menyuarakan ucapan. "Mas Bara ajak aku buat atur jadwal pertemuan kamu dengan dia. Katanya dia mau minta maaf sama kamu, Mas. Ta—tapi, aku enggak tau kenapa bisa ada di sini sekarang."
"Aku sudah bilang, kan.." suara dingin Gallendra menghenyakkan Arum. Satu tangan gadis itu yang semula memegangi lengan Gallend perlahan mengendur. Kini, bukan hanya amarah yang menghiasi iris Gallendra. Tapi, luka yang sama seperti yang pernah Arum lihat ketika Gallendra bertemu ayah kandungnya.
"jangan pernah menemui Bara untuk mengatasi masalahku dengannya. Tapi, kamu malah menghancurkan kepercayaanku, Rum."
[1] Den : Kata sapaan untuk pemuda yang dianggap lebih muda derajatnya.
[2] Mbok : Kata sapaan terhadap wanita (ragam kromo ngoko); kata sapaan terhadap wanita tua yang kedudukan sosialnya lebih rendah daripada yang menyebutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro