[Stage 35] Gempita
"Aku tau kamu marah karena aku sekasar tadi sama orang yang lebih tua."
Arum menoleh. Barusan adalah kalimat pertama yang Gallend utarakan setelah mereka duduk dan hanya berdiam dalam pikiran masing-masing di sofa ruang tengah apartemen Gallend.
"Jujur, aku juga menyesal. Ibu panti dan keluarga Mahameru bahkan enggak pernah mengajarkannya." Gallend menunduk. "Tapi, kata-kata itu terlontar gitu aja sebagai pertahanan diri. Ternyata aku enggak sebaik itu untuk mampu bicara sopan pada dia.."
Gallend mungkin terkesan jahat atas sikapnya tadi, tapi entah mengapa, Arum merasa tidak berhak menghakimi Gallend begitu saja. Lagipula, Arum cukup terkejut melihat raut penyesalan tercetak di wajah Gallend sekarang. Mungkin lelaki itu kesulitan, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tata krama yang pernah diajarkan padanya.
"Aku mau ayahku lihat, kalau tanpa dia pun aku bisa baik-baik aja. Kenapa.." tarikan napas Gallend yang terasa berat kini menulari Arum, gadis itu meremat lengan sofa di sampingnya. "kenapa setelah sekian lama dia meninggalkan Ibu yang harus berjuang melahirkanku sampai mengorbankan nyawanya sendiri, dia bisa seenaknya lagi datang sekarang? Memintaku memaafkannya dan kembali pada dia?" Gallend mendecih. "Aku enggak nyangka ada seorang ayah kandung yang seegois itu."
Hening. Jari-jari gemetaran Gallendra yang saling bertaut seakan menikam ulu hati Arum.
"Aku buatin kamu cokelat panas dulu, ya, Mas." Niat Arum untuk berdiri tertahan karena Gallend menahan lengannya. Ada pendar luka dalam tatapan Gallend.
"Di sini aja."
Arum mengangguk dan duduk kembali. Gallend beringsut, lebih mendekati Arum. Menjauh dari Arum bukanlah hal yang siap Gallend terima sekarang.
"Dia ayah kandungku. Sadana Reswara Kim." Gallend mengedikkan bahu. "Yah, namanya sama dengan Arkana, teman kamu itu. Maaf, ya, aku udah berusaha menyembunyikannya.
Aku juga baru tau beberapa bulan lalu, tentang ayahku dan keluarganya sekarang. Arkan adik tiriku. Dan wanita di restoran tadi adalah ibu kandungnya, istri kedua ayah, setelah ibu kandungku yang dia tinggalkan saat masih hidup dulu."
Tidak tahu harus menjawab apa, Arum hanya mengangguk samar.
"Kalau dipikir-pikir, rasanya dari kecil aku enggak pernah jadi yang terpilih, Rum. Bahkan oleh ayah kandungku sendiri."
"Tapi, ibu kandung kamu pilih kamu, Mas. Dia biarkan kamu hadir ke dunia ini."
Dari samping, Arum bisa melihat Gallend tersenyum miris. "Benar. Ibu pasti bertahan agar aku bisa lahir. Kadang, aku benci dengan diriku sendiri. Seandainya aku enggak tumbuh dengan baik di perut Ibu dulu, mungkin beliau enggak harus pertahanin aku, jadi Ibu bisa tetap hidup sampai sekarang."
"Kamu enggak salah, Mas. Mungkin akan terdengar klise, tapi seperti inilah takdir berjalan. Kamu mencintai ibu kamu. Tapi, Tuhan.. jaaauh lebih mencintainya, dan menginginkan beliau bisa merasakan kebahagiaan abadi yang lebih cepat."
Gallend terdiam ketika tautan tangannya sendiri Arum lepaskan, kemudian gadis itu memasukkan setiap jemari tangan kanan miliknya di sela-sela jari Gallend. Memenuhi ruang di sana.
"Justru harusnya.. kamu bersyukur, kamu bisa berkembang dengan baik dalam kandungan Ibu kamu. Itu artinya, kamu dirawat dengan kasih sayang penuh darinya. Sementara, berapa banyak perempuan di dunia ini yang ingin sekali bisa hamil, tapi mereka masih belum diberi rezeki."
Gallend memejamkan mata, ketika setiap jari-jari Arum kini berpindah membelai bagian belakang kepalanya. Satu tangan gadis itu yang lain mengusap bahu kiri Gallend.
"Kamu berhak bersedih atas kepergiannya, kamu berhak kecewa juga dengan ayah kamu. Tapi, kamu harus selalu ingat.. kalau kamu pasti pernah jadi sebuah berkah untuk ibu kandung kamu. Kamu pasti pernah jadi satu-satunya alasan kebahagian beliau. Bukankah itu lebih penting dibanding semua materi di dunia ini?"
"Begitukah?"
Arum mengangguk. Tersenyum dengan setitik cairan sudah menuruni pipi. Gallend sudah menatapinya lagi dalam gurat sendu.
"Kamu berharga untuknya, pasti. Jadi sampaikan rasa terima kasih kamu dengan tumbuh menjadi lelaki yang baik, ya?" Seusai menepuk pelan pipi Gallendra, Arum nyaris menahan napas ketika tiba-tiba Gallend beringsut memeluk pinggangnya. Lelaki itu merebahkan dahi di bahu Arum. Menghidu manisnya aroma vanilla yang entah berasal dari mana, rambut atau dari parfum gadis itu. Yang pasti, wangi tersebut berhasil membuatnya tenang.
"Aku enggak tau kalau kamu enggak ada, aku harus gimana, Rum?"
"Bisa. Mas Gallend bisa bertahan meski aku enggak ada. Bukankah sebelum ketemu aku, kamu punya Tuhan yang selalu memberi kamu semua hal yang seharusnya kamu syukuri hingga sekarang?"
Gallend menyengir. "Iya, bu ustadzah."
"Aku serius, Mas." rengek Arum. Gallend dengan cepat menangkap tangan Arum yang hendak menjauh dari kepalanya dan meletakkan kembali di sisi rambutnya. Meminta Arum kembali mengusapi bagian itu.
"Aku juga serius. Kalau aku sangat-sangat-sangat mencintai kamu." Gallend mendongakkan wajah. "Bisa enggak, sih, kita nikah cepat aja?"
Arum tertawa. "Enggak ada yang tau masa depan, sih." Saat dirasa, Gallend menatapinya tajam, Arum segera menyambung ucapan. "Tapi, ayo sama-sama berdoa supaya kita berjodoh, ya."
Gallend tersenyum lebar. Semakin merapatkan pelukan dengan dagu yang kini mendarat di bahu Arum.
"Kehidupanku terlalu rumit, ya?" Jeda. "Maaf, karena kamu harus terlibat dengan seseorang yang punya masa lalu sedramatis sinetron india." Gallend mengaduh karena Arum mencubit pinggangnya. Saat ingin protes, kata-katanya tertahan begitu Arum lebih dulu bicara sembari kembali mengusap-usapi rambut lelaki itu.
"Ingat, ya, Mas. Sekali pun semesta enggak memilih kamu, aku akan selalu menjatuhkan pilihan untuk kamu, Mas. Jangan takut atau merasa enggak dipilih lagi, ya."
*
Beberapa hari belakangan, ada perubahan yang Arum rasakan dari Gallendra. Lelaki itu kerap ketahuan olehnya sedang menelepon dengan menyebut-nyebut nama 'Gempita' dan 'Indah'. Arum mulai cemas, tapi tak ingin menuduh tanpa alasan. Mereka menjalin sebuah hubungan serius di usia dewasa, seharusnya penyelesaian masalah juga diakhiri dengan cara yang sama.
Maka setelah bertanya pada Gallendra, saat inilah jawaban atas pernyataan Gallendra hari itu. Bahwa Gallend akan memperkenalkannya dengan sosok yang, katanya, sudah Gallend tunggu sejak dulu. Sebuah alasan yang sempat membuat Arum cemburu, tapi lekas berganti sedih, senang, dan terharu ketika Gallend menjelaskan siapa Gempita dan Indah itu.
Ternyata, mereka adalah satu orang yang sama. Dan, Gempita merupakan kepingan rahasia lainnya dari kehidupan Gallend.
"Ini Arum, kekasihku, Gem." Arum tersenyum seraya mengangguk kecil pada perempuan berwajah oval tirus dengan tahi lalat di pipi dekat bibir. Kafe dialuni oleh lagu RnB yang sebenarnya membuat suasana bernuansa menyenangkan, tapi rasa gugup menggerogoti hati Arum.
"Kamu bisa panggil dia 'mbak', usianya satu tahun di atas kamu."
Perempuan berambut panjang sepunggung dengan penampilan sederhana; kemeja dan rok A-Line sebatas betis, tersenyum ramah pada Arum.
"Dia Indah, Rum. Sekaligus Gempita, adikku." Gallend menuturkan lagi pada Arum.
"Hay, Gempita.." sapa Arum, senyumannya menarik sudut-sudut mata untuk tersenyum menatapi perempuan yang ternyata merupakan adik angkat Gallendra. Anak tunggal keluarga Mahameru yang selama ini hilang bertahun-tahun, dan akhirnya bisa Gallend temui lagi. Saat berusia empat tahun, Gempita terpisah dari Baskoro dan Sekar—orang tua kandungnya—di bandara ibukota ketika keluarga itu berkunjung ke sana dalam rangka liburan.
Pencarian terus dilakukan Baskoro dan istrinya sejak saat itu, bahkan hingga keduanya sudah mengangkat Gallend sebagai anak. Tapi, baru sekarang Gallend akhirnya bisa menemukan Gempita di Jakarta. Kesusahan pencarian selama ini ternyata lantaran identitas Gempita yang berubah menjadi Indah. Ingatan masa kecil gadis itu pun tidak bertahan lama. Gempita ditemukan oleh keluarga miskin yang kemudian memaksanya mengamen untuk mencari tambahan nafkah, hingga hanya sebatas tamat SMP, lalu gadis itu berakhir bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah salah satu kolega bisnis Gallend di Jakarta. Di sanalah mereka bertemu.
Gallend bilang, dia mulai menyadari kemungkinan Indah adalah adik angkatnya dari sebuah kalung yang persis sama dengan milik mendiang Sekar. Setelah pengujian DNA yang memakan waktu lama hingga Gallend harus bolak-balik Jakarta-Jogja, tibalah hari di mana Indah kembali ke kota asalnya sebagai Gempita.
"Hay, Mbak Arum. Senang ketemu sama Mbak." Suara riang Gempita memecahkan lamunan Arum. "Mas Gallend sering banget cerita tentang mbak ke aku, lho."
Arum tersenyum lebar. Diliriknya Gallend yang menyunggingkan senyum padanya sekilas, lalu lirikan itu berpaut pada tangan Gallend yang sejak tadi jempolnya terus mengusapi punggung tangan Arum di bawah meja.
"Oh ya?" tanya Arum tak percaya, kembali mengarahkan fokus pada Gempita. "Aku juga senang ketemu sama kamu. Aku ikut bahagia, karena akhirnya kamu bisa ketemu dan kumpul lagi dengan keluarga kamu."
Gempita mengangguk. "Semua berkat Kak Gallend."
Mereka berbicang beberapa saat sembari menunggu pesanan datang. Selama itu, beberapa kali Gempita menangkap perhatian Gallendra untuk Arum. Seperti terus menggenggam satu tangan Arum di atas meja sementara matanya sibuk memainkan ponsel, merapikan helai rambut Arum yang tertiup sedikit angin sepoi-sepoi dari luar kaca kafe, bahkan spontan membukakan pengait kaleng minuman yang Arum bawa di tasnya, padahal Arum tidak kelihatan sulit membuka sama sekali.
Hanya tindakan kecil begitu saja.. terlihat manis.
"Gempi sudah dua hari di Jogja. Dia tinggal di rumah mama." Arum mengangguk-angguk, mengerti mama yang dimaksud Gallend adalah ibu angkatnya—Sekar.
"Mungkin, minggu depan Gempi baru mulai aku ikutkan bekerja di perusahaan ayah. Oh, iya! Gempi suka drakor juga, lho, Sayang. Kalian cocok pasti kalau ngobrolin itu berdua."
Mata Arum berbinar senang. Terutama saat Gempi menanyakan, "Mbak Arum suka drama apa?"
"Banyak, sih.. salah satunya Goblin yang paling aku suka."
"Oh! Aku tau itu! Aku juga suka."
Hanya dalam beberapa detik, Gallend sudah menyaksikan antusiasme dari dua orang sesama pecinta drama korea. Ia terlalu larut memerhatikan Arum yang kini bicara, hingga dering ponsel menyentaknya. Gallend menunjukkan ponselnya yang ia angkat pada Arum dan adiknya, sambil berkata bahwa dirinya akan menelepon di luar agar tidak terdengar musik.
"Kalau kamu suka drama yg mana, Gem?" Pertanyaan yang Arum lontarkan lagi, memutuskan kontak mata Gempita dari sosok Gallend yang tadinya sedang berjalan menuju pintu keluar.
"Aku—" Ia menjeda. Diam beberapa detik menatapi Arum, lalu berkata kembali. "kayaknya pembahasan ini enggak menarik, Mbak. Boleh kita ganti aja?" Perubahan dalam nada suara Gempita sejenak membuat Arum termangu. Kaget.
"O-oh.. gi—gitu, ya." Arum mengusapi lengannya sendiri, berusaha menepis rasa gelisah yang entah mengapa tiba-tiba hadir. "Oke. Mm, ngobrolin apa ya, enaknya?"
"Selama aku kenal kak gallend, aku kagum banget sama dia." Seolah tidak emberi Arum kesempatan untuk menyetujui tema percakapan, Gempi berujar cepat.
"Dia orang yang mandiri, cerdas dan juga ramah." Gempi menyandarkan punggung di kursinya, melipat tangan, dan menatap Arum dengan sorot mata yang sungguh berbeda dari sebelumnya. Bahkan, sudut kanan bibirnya terangkat.
"Setiap kali dia menyebut nama Mbak sebagai kekasihnya, aku kira Kencana Arum adalah sosok yang mandiri juga. Tangguh, sama seperti Kak Gallend. Tapi, ternyata dugaanku salah. Ternyata Kencana Arum itu Mbak, yang buka tutup botol aja bahkan enggak bisa."
Arum tertegun. Kenapa rasanya, Gempi baru saja memberi sindiran?
Beberapa detik keduanya saling bertatap. Hingga, Gempi berujar lagi dengan senyuman yang lebih ramah, seolah apa yang baru dikatakannya tadi hanyalah candaan semata.
"Tapi, enggak masalah, sih, ya. Namanya juga cinta. Cinta bisa aja buta karena menjadikan kelemahan pasangannya sebagai kelebihan."
*
"Gallend,"
Gallend baru saja merebahkan diri di sofa ruang keluarga ketika Seruni menuruni tangga dan memanggilnya.
"Tante." Gallend mengangkat tubuhnya yang semula bersandar. "Gempi mana?" tanyanya, bingung karena tidak tampak lagi sosok sang adik yang beberapa saat lalu riang sekali diajak Seruni melihat-lihat rumah—tepatnya rumah Sekar dan Baskoro yang selama ini hanya beberapa kali Gallend datangi, setelah ia memiliki apartemen sendiri.
"Udah di kamarnya. Dia kelihatan senang banget, lho, sama dekorasi kamarnya yang baru." jawab Seruni, setelah ia mengambil tempat di sebelah Gallend.
"Gallend, begini.." Seruni memegang lengan kanan Gallend. Wajahnya ragu di awal. "ada yang mau tante sampaikan."
Kening keponakan angkatnya itu mengerut samar. "Apa, Tante?"
"Maaf kalau ini terkesan mendadak. Tapi, sebenarnya tante sudah merencanakan ini sejak lama." Seruni menjauhkan tangannya dari lengan Gallend, menautkannya di atas paha dengan raut wajah bimbang.
"Kehadiran Gempi kembali ke keluarga kita adalah hal yang sangat kita nanti sejak lama, kan. Tante sudah berjanji pada kedua orang tua kamu, kalau tante akan memberikan yang terbaik untuk Gempi bila suatu saat dia ditemukan."
Gallend bisa melihat, seberapa besar kelegaan yang Seruni rasakan setelah sekian lama. Ia menjadi saksi betapa keluarga Mahameru sangat terluka kehilangan Gempita kecil.
"Gempi juga sudah melewati masa-masa yang teramat berat sendirian. Karena itu, tante ingin sekali memberi dia kebahagian sekarang."
"Kita akan melakukannya, Tante. Pasti." Seruni tersenyum mendengar penuturan Gallendra. Ia tahu lelaki itu tulus. Meski mereka tidak terikat hubungan darah, tapi kebersamaan sekian tahun lamanya membuat Seruni sangat mengenal dan menyayangi Gallendra dengan baik.
Karena itulah.. ia harus mengatakannya sekarang.
"Kamu mau ikut melakukannya juga, kan?"
Tawa pelan Gallendra mengudara. "Ya pastilah, Tan.. Gempi, kan, adikku juga."
Seruni mengangguk-angguk. Butuh beberapa detik untuknya bisa berucap yakin. "Gallend, Tante enggak pernah meminta apa pun darimu selama ini, kan. Jadi, boleh tidak.. tante minta satu hal saja kali ini?"
"Kalau aku bisa melakukannya, akan kulakukan."
Tersenyum melihat Gallend mengangguk tanpa ragu, Seruni memandangi sang keponakan dengan sorot mata sarat permohonan.
"Tante ingin.. kamu menikahi Gempita."
Jangan lempari aku sepatu yaa
Btw, di blurb cerita ini aku sudah menjelaskan kalau Gallend punya banyak masa lalu yang akhirnya mengikis hubungannya dan Arum, kan? Jadi, please .. jangan heran ya kenapa hidup Gallend itu rumit banget (walo aku sendiri juga bingung, nih anak kesian bener yak. Coba aja dia ketemu aku, sentosa pasti *dibejekarum*)
Aku ingin menggambarkan Gallend sebagai wujud dari sosok dunia nyata yang sering kita temui; pribadi periang seakan gak ada beban, tapi rupanya punya silsilah masalah yang panjangnya udah ngalahin konflik drama india (gak deng becandaa)
Penyelesaian konfliknya akan pelan-pelan aku jabarkan di bab-bab selanjutnya ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro