Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 34] Waktu Terbaik

Setelah peristiwa Gallend menangis-yang dibantahnya berkali-kali lantaran gengsi- di Taman Pelangi hari itu, Arum merasa Gallend menjadi lebih sensitif. Lebih sering bertanya Arum di mana, atau akan ke mana. Tidak terkesan memaksa, sih. Tapi, lebih sering dari biasanya. Bahkan, lelaki itu juga meminta kesediaan Arum untuk mengabarkannya bila Arum harus bepergian jauh, seperti ke Bandung bersama Bara dulu.

Berbicara tentang Bara, lelaki itu lebih sering menghindari Arum saat di kantor. Sekali pun mereka berkomunikasi, hanya mengenai pekerjaan. Bara seolah marah. Arum yang kebingungan sempat menanyakan semuanya pada Gallendra, dan barulah ia tahu kisah seperti apa yang Bara miliki dengan keluarga Gallend. Gallend sempat berinisiatif mengajak Bara membicarakan kesalahpahaman mereka. Ia datang ke D'Amore, tetapi Bara tetap enggan menemuinya.

Seolah masalah belum cukup di situ saja, tanda tanya lainnya terus bermain di benak Arum mengenai hubungan Gallend, Arkana, dan lelaki paruh baya di swalayan tempo hari. Arum tidak punya keberanian untuk mengungkit alasan kedatangan Arkana ke apartemen Gallendra pada lelaki itu, mengingat Gallend pernah memohon sebelumnya.

"Aduh!"

Gallendra menoleh cepat ke belakang. Menghela napas ketika dilihatnya sang kekasih sudah jatuh terduduk di atas permukaan es. Lagi-lagi.

Padahal, Gallend sudah sengaja melambatkan gerakan sepatu seluncurnya agar Arum tidak tertinggal. Berkali-kali ia juga menawarkan Arum untuk memegangi tangannya selagi berseluncur, tapi gadis itu selalu menolak. Alasannya, ingin melatih kemampuan untuk lebih bisa.

Sehingga jatuhlah gadis itu berkali-kali karena lebih sering gagal berseluncur dalam gerak cepat. Gadis itu tidak menyerah, hanya cengegesan setiap kali Gallend menghela napas menatapinya. Bara semangatnya terus meningkat, padahal hati Gallend sudah ketar-ketir sejak tadi.

Entahlah. Tidak pernah ia merasa secemas ini pada seorang perempuan. Saat bersama Lin Zhi, mungkin kemandirian gadis itu yang membuatnya jarang sekali khawatir bila dihadapkan pada keadaan yang sama seperti sekarang. Bukan artinya Arum tidak mandiri. Gallend akui, sekali pun kepolosan Arum rasanya sudah tidak bisa diukur lagi, tapi Arum juga sosok cerdas yang selalu ingin berupaya sendiri. Hanya saja diri Gallend sendiri yang bermasalah. Dia merasa harus menyingkirkan segala hal apa pun yang berpotensi membuat Arum menderita.

"Hati-hati.."

Arum mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan kemunculan Gallendra karena alasan jatuhnya kali ini, adalah karena memikirkan tentang Arkana dan Gallend.

Arum menerima uluran tangan Gallend untuk membantunya berdiri. Menepuk-nepuk pantatnya sendiri agar menghilangkan es yang menempel di celana bahannya, Arum bercicit pelan, "Iya." Saat kepalanya terangkat lagi, ia menyengir menatap Gallendra yang hanya memasang tampang datar.

"Jatuh lagi, deh.." kekeh Arum. Gallend mendengkus.

"Kita berhenti main aja, ya? Aku enggak suka lihat kamu jatuh terus begini."

Arum mengarahkan bola matanya ke atas. "Please, deh, Mas. Ini es semua, bukan aspal. Enggak bakalan sakit, kok."

"Tetap aja.." Mata Gallend memerhatikan sangsi Arum yang kini mengusap-usap telapak tangannya sendiri. Memang tangan itu tertutupi sarung tangan untuk melindungi dari dinginnya es, tapi tetap saja ada yang Gallend khawatirkan. "hawanya, kan, dingin, Sayang."

Dengan tangan yang masih tertutupi sarung juga, Gallend beringsut mendekat untuk menyentuh pipi Arum, membuat gadis itu membeliak kaget. "Pipi kamu udah sedingin ini, lho. Kita main permainan lain aja, ya? Aku enggak mau kamu kena flu atau-"

"Maaaas.." rajuk Arum, berusaha menjauhkan kedua tangan Gallend dari wajahnya. "Aku enggak apa-apa. Beneran."

Melihat tatapan ragu Gallendra, Arum berdesis sebal. "Beneran, lhoo." Ditepuknya lengan Gallend yang tetap saja mendapatkan reaksi datar lelaki itu-seolah Gallend masih kukuh untuk menghentikan permainan ice sketing mereka di mall.

"Jangan parno lagi, dong, Maaas. Aku berasa anak bayi yang dicemasi terus sama bapaknya gara-gara enggak bisa berdiri." Karena Gallend masih diam, Arum meluncurkan tawaran terakhir yang pasti jitu-menurutnya. "Kalau masih mau berhenti, aku guling-guling di es, nih." ancamnya, membuat Gallend mendengus sementara dirinya sendiri terkekeh.

Geram, Gallend menarik pelan ujung hidung Arum yang langsung mengaduh dan melotot. Tapi, saat melihat Gallend melotot balik, Arum serta-merta mengubah ekspresinya dengan mengedip-ngedip lucu. "Ya ya ya? pleaseee."

Gallend mendesah pasrah, lalu mengacak puncak kepala arum yang tertutupi topi rajut.

*

Melihat senyum lebar Arum sepertinya akan menjadi salah satu list kewajiban Gallendra mulai hari ini. Mata gadis itu berbinar cerah seperti mentari hanya dengan melihat sekumpulan menu masakan korea terhidang di hadapannya sekarang.

"Makan yang banyak. Kamu pasti capek karena banyak gerak."

Arum mengangguk-angguk tanpa menatap Gallendra. Perhatiannya sudah tertarik penuh pada potongan daging bakar yang sudah matang dan baru saja diletakkan Gallend dalam jumlah banyak ke piringnya. "Aku bukan cuma capek habis main ice sketing. Tapi capek dengar teriakan kamu terus yang nyuruh aku buat hati-hati." sindirnya.

Gallend tergelak kecil. "Refleks, Sayang." lalu menyengir, sebelum melanjutkan. "Walau pun udah menguatkan diri lihat kamu jatuh terus-terusan, tapi spontan aja mulutku gerak. Kamu juga ceroboh banget, sih. Pakai nyari-nyari kesempatan lagi."

"Siapa yang nyari kesempatan, sih?" Arum mengangkat wajah cepat. Kesal, lagi-lagi lelaki itu mengungkit hal yang sempat membuat Gallend misuh-misuh hingga benar-benar menyudahi permainan mereka tadi.

"Kamulah. Sekalinya nabrak orang, malah nabrak cowok muda. Itu tadi kalau aku enggak nyamperi kamu, dia pasti udah ajak kamu kenalan-" Gallend membelalak tatkala satu helai daun selada menerobos mulutnya hingga ia tak bisa menyelesaikan kalimat.

"Enak?" tanya sang pelaku, menyengir. Sejenak Gallend hanya melemparinya tatapan datar, namun tidak butuh sepuluh detik untuk Gallend tersenyum kekanakan dan menganggukkan kepala. "Mmm. Mau lagi."

Arum mendengkus samar. Ditatapnya sang kekasih yang duduk di seberang dengan satu tangan menyangga dagu. Mata lelaki itu membentuk senyum, menatapinya. Arum menjepit satu irisan daging dengan sumpit dan membungkusnya dengan daun selada yang lain, tapi saat hendak menyuapi Gallendra kembali, dirinya tertegun melihat Gallend menatap tajam ke suatu arah di belakang Arum.

Bingung, Arum mengikuti arah pandang Gallend dan nyaris menahan napas. Arkana dan lelaki paruh baya di swalayan tempo hari duduk di deretan yang sama dengan mereka. Hanya dipisahkan satu meja.

Menatap Gallend lagi, Arum bertanya ragu. "Kamu mau kita pindah aja, Mas? Makanannya bisa kita bungkus."

"Enggak usah."

Cukup mengejutkan. Tapi, pada akhirnya Arum memilih melanjutkan makan seperti apa yang Gallend lakukan. Dalam diam, gadis itu melirik. Sikap Gallend benar-benar tenang. Tanpa Arum sadari bahwa Gallend berjuang keras melakukannya. Bagaimana pun ia tidak ingin keberadaan Arkana dan Sadana terus jadi bumerang untuk hidupnya. Mereka masih berada di satu kota yang sama, bukan tidak mungkin lain waktu akan bertemu secara kebetulan lagi.

Sayang, ketenangan Galled secepat kilat lenyap tanpa bekas ketika seorang pelayan tiba-tiba membawakan beberapa sajian lain yang tidak pernah Gallend dan Arum tambahkan dalam pesanan. Pelayan itu meletakkan kimchi, japchae, topokki, dan bulgogi di sekitar galbi yang tengah mereka nikmati.

"Kami enggak ada pesan makanan lagi, Mbak." ujar Arum. Pelayan tadi tersenyum ramah. "Oh, iya. Tapi, pesanan ini memang untuk Mas dan Mbaknya. Tadi dipesankan dari bapak-bapak yang duduk di sebelah sana. Di meja nomor enam belas."

Arum merasa jantungnya pindah ke perut saat menyadari bahwa lelaki paruh baya di samping Arkana-lah yang ternyata memesankan semua menu tambahan ini. Setelah mengucapkan terima kasih-karena tau Gallend tidak akan pernah mengucapkannya, pelayan tadi pergi.

"Mas, ini.." Arum menunjuk ragu semua makanan baru yang belum terjamah.

"Mas?" Sebelum pertanyaan Arum terjawab, Gallendra tiba-tiba berdiri dengan satu tangan terkepal, sedikit membanting meja makan hingga Arum terkesiap kaget. Tanpa mendengar panggilan Arum sekali lagi, laki-laki itu berjalan cepat dalam langkah lebar menuju meja Arkana. Sontak, Arum menyusul, tapi kata-kata yang Gallend ucapkan begitu lelaki itu berdiri tepat di samping si lelaki paruh baya, membuat langkah Arum lebih melambat. Ia kaget. Kalimat Gallendra sarat kebencian.

"Harus berapa kali saya bilang, jangan pernah mencoba memasuki kehidupan saya lagi?!"

"Heh!" Gebrakan meja yang tidak terlalu keras, mengundang perhatian beberapa orang di sekitar mereka. Arum baru sadar, ada seorang perempuan sebaya ibunya yang duduk di samping Arkana. Bibir berpoles lipstik merah menyala milik perempuan itu berujar kembali. "Kamu benar-benar enggak tahu sopan santun, ya? Datang-datang langsung marah-marah kayak preman?" umpatnya, menatap Gallend bengis.

"Saya tidak bicara dengan anda." Sahu Gallend datar sebelum menoleh pada lelaki paruh baya. "Jangan anda pikir, mentang-mentang ini di sini tempat umum saya enggak punya keberanian untuk menghajar anda."

"Mas.." Arum mendekat, ia terlampau mencemaskan Gallend sampai tidak sadar keterkejutan di wajah ketiga orang di dekatnya. Arum berbisik pada Gallendra untuk tetap tenang, tapi suara yang tercetus tiba-tiba justru makin membumbungkan kobaran api di mata Gallend.

"Benar-benar ciri khas seorang anak panti asuhan. Sangat tidak bermoral dan pemberontak."

"Jaga ucapan anda." Dengan satu tangannya, Arum menggenggam tanan kanan Gallend lebih erat agar lelaki itu tak terbakar emosi berkat ucapan perempuan berambut cepol di hadapan mereka.

"Ucapan saya selalu terjaga. Beda dengan kamu yang enggak pernah dididik sama orang tua kandungmu sendiri." Arkana menegur pelan perempuan itu. Tak menggubris, perempuan yang dipanggil 'ibu' oleh Arkan tadi justru memandangi Gallend penuh keremehan. "Oh, saya lupa. Ibu kandung pun kamu enggak punya, ya? Ooh, pantas aja enggak terurus."

Gallend sudah akan bergerak menuju ibu Arkana, tapi Arum menahan lengannya. Arkana juga bangkit, meminta maaf pada Gallend sebelum beralih pada ibunya lagi. "Ma, udah! Mama sudah keterlaluan. Lebih baik mama minta maaf sama Kak Gallend."

"Enggak salah, Arkan? Jelas-jelas anak hina ini yang-"

"Minta maaf atau aku panggilkan satpam untuk mengusirmu, Lidya!"

Arum tertegun. Begitu pun Gallend dan Arkana. Sedari tadi diam, lelaki paruh baya itu kini justru membentak. "Masih bagus aku mengizinkan kamu makan di sini bersamaku dan Arkan. Jangan menghina anakku juga." Desisnya, pelan namun menekan. Sejenak mengejutkan Arum pada kata 'anak' yang diperuntukkan bagi Gallendra.

"Fine! Aku diam! Tapi enggak akan pernah minta maaf. Aku enggak sudi, minta pengampunan dari anak seorang pembantu seperti dia!"

"Lidya, kam-"

"Jangan membayar makanan itu." Gallendra memotong ucapan. "Saya tidak sudi makan sesuatu pun dari uang anda, Pak Sadana. Saya yang akan bayar."

"Kamu benar-benar enggak sopan dengan ayah kandung kamu sendiri, ya?!"

"Ayah kandung apa yang ninggalin anaknya demi harta?!"

Arum tidak mampu berkata-kata, bahkan untuk sekadar mengeluarkan suara guna membujuk Gallendra tetap tenang. Ia hanya bisa diam ketika Gallend berbalik meraih genggaman Arum yang hampir terlepas. Mereka baru hendak berbalik pergi sebelum kata-kata Sadana terdengar penuh permohonan. "Gallend, bisakah kita makan bersama sekali ini saja? Ayah mohon.."

Gallend menoleh, tatapannya sekarang adalah tatapan paling mengerikan yang pernah Arum lihat dari lelaki itu. "Waktu terbaik dalam hidup saya.. adalah ketika saya tidak pernah mengenal anda sebelumnya. Jadi, apa menurut anda kita pantas untuk makan di satu meja?"

Kali ini aku gak tau mau kasih tema lagu apa, ada yang mau kasih saran?

Ini terakhir uwu-uwuan, ya? *diserobotmassa*

Bersiap besok gengs *dihajarmassa*

Lup yu, jangan lupa tinggalin jejak yaw.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro