[Stage 33] Untuk Gallendra
Arum membuatkannya empat menu yang semuanya hampir Gallend habiskan kalau tidak gadis itu larang. Arum beralasan Gallend bisa memakannya lagi di malam hari. Gadis itu tidak mau jika Gallend begah karena kekenyangan, mendapat perhatian sekecil itu saja melahirkan rasa Bahagia untuk Gallend Jadi, ia cukup menghabiskan seblak dan cireng saja tadi. Sementara cuanki dan bajigur disimpan Arum di lemari pendingin. Katanya, nanti tinggal dipanaskan saja kalau-kalau Gallend lapar di malam hari.
"Buciiiiiin! Jangan lari! Hey! Itu tas Arum, tau! Jangan dicakar, ih!" Gallend tidak bisa berhenti tersenyum meski tangannya sibuk membilas peralatan makan yang ia cuci sejak lima belas menit lalu, ketika gelegar suara Arum terdengar dari ruang tengah. Gadis itu pasti sedang melakukan gencatan senjata dengan kucing peliharaannya.
Setelah meletakkan piring terakhir ke dalam rak kecil di samping westafel, Gallend mematikan kran air dan mengelap kedua tangannya dengan handuk kecil di gantungan rak. Ia bersemangat melangkah menuju ruang di mana kekasihnya berada, dan mendapati gadis itu sedang menggelitiki perut si Bucin yang terlentang di atas pahanya.
"Berdosa banget, ya, kamu ini." omel Arum, tidak peduli berulang kali lengan dan wajahnya mendapatkan kibasan ekor karena Bucin meronta-ronta minta dilepaskan. Tawa Arum kemudian mendesirkan kelegaan luar biasa untuk Gallend.
Lelaki itu menghela napas samar. Ia mensyukuri kehadiran Arum di sisinya sekarang. Tawa dan senyum gadis itu perlahan mampu melenyapkan suasana hatinya yang buruk lantaran bertemu Arkana dan Sadana di swalayan beberapa jam lalu.
Gallend berdiri di belakang sofa, sedikit menunduk untuk memberi sebuah kecupan di puncak kepala Arum. Gadis itu terkesiap dan menoleh ke belakang, sehingga Gallend mengulas sebuah senyum sembari mengacak pelan rambut gadis itu. "Makanannya enak banget. Makasih, ya."
Memutari sofa, Gallend duduk di sebelah Arum dan dalam sekejap Bucin berpindah tempat dengan melompat dalam dekapannya. Gerakan Bucin yang riuh seolah hendak melaporkan kejahilan Arum pada sang majikan.
Dalam diam, Arum memerhatikan Gallend yang kini sibuk mengelusi bulu-bulu tegang Bucin. Saat makan siang tadi, ia sempat mencoba bertanya pada Gallend tentang sosok lelaki tua di swalayan. Tapi, Gallend memotong ucapannya cepat dengan berujar bahwa lelaki itu tidak ingin membahas hal tersebut. Bahkan, Gallend memintanya melupakan kejadian tersebut.
Arum mengiyakan, karena merasa Gallend mungkin belum siap menceritakan sepenuhnya tentang diri lelaki itu kepada Arum. Gadis itu tidak ingin memaksa, tidak marah juga. Ia ingin mengerti Gallendra secara perlahan. Tugasnya sekarang adalah membuat lelaki itu nyaman di sisinya dan pelan-pelan jika Gallend mulai mempercayainya untuk dijadikan pendengar segala kisah lelaki itu, Arum akan berjuang keras untuk bisa jadi penopang Gallend agar lelaki itu tetap kuat.
"Kenapa liatin aku begitu?" suara Gallend menyentak Arum dari lamunan. Gallend menepuk bagian sofa yang lebih dekat dengannya. "Sini.. tadi katanya mau nonton."
Arum menggigit bibir. Sebenarnya, selain bapak tadi.. Arum masih ingin menanyakan tentang Arkana.
"Kamu mau nanya apa, sih, Sayang?"
"Eh?" Arum mengerjap kaget. Gallendra seperti cenayang karena bisa mengetahui isi pikirannya.
"Bo—boleh?" tanya Arum terbata. Gallend mengangguk, bersamaan dengan Bucin yang turun dari pangkuannya dan lari menuju cat litter box automatic-nya di sudut ruangan.
"Asal bukan tentang bapak tadi aja." jawab Gallend. Arum tersenyum dan menggeser duduknya sedikit lebih dekat dengan Gallendra untuk bicara serius, tapi ia terhenyak ketika Gallend menarik bahu Arum dalam sekali sentakan. Hingga membuat tidak ada celah di antara mereka. Gallend menekan tombol remote TV dan menonton apa pun itu yang bukan menjadi fokus Arum sekarang.
"Aku enggak akan nanya tentang Bapak tadi, kok." Arum sedikit menengadah, melihati Gallendra yang fokus mendengarkan siaran. " Cuma ini sedikit berkaitan dengan pertemuan tadi." Saat merasa pegangan Gallend di bahunya agak melonggar, Arum mengerjap gelisah. Cepat-cepat ia melanjutkan. "Tapi, ini penting banget. Kalau enggak dapat jawabannya, aku bisa enggak tidur nanti karena penasaran."
Gallend melengos. "Apa?"
"Tadi.." jeda. Raut wajah Gallend masih terlihat biasa. Entahlah nanti. "waktu kamu narik aku keluar swalayan. Aku.. enggak sengaja lihat Arkana ngobrol sama bapak itu."
Beberapa detik terlewati dalam hening. Arum mengerjap begitu teringat satu hal. " Kamu tau Arkana, kan? Itu, lho, penyanyi Indonesia. Arkana Reswara Kim. Dia pernah jadi guest star di salah satu event yang kita kerjai tahun lalu. Kamu ingat?"
Melihat Gallend masih diam, Arum lanjut berucap. "Harusnya kamu tau, sih. Soalnya dia artis. Terkenal juga."
"Jadi?" Arum mendesah lega saat Gallend sudah bersuara, meski terdengar datar.
"Aku kaget lihat dia nyamperin bapak-bapak yang nyapa kamu tadi. Arkana ngelihat ke arah kita juga, lho. Yang mau aku tanya... kamu kenal Arkan?"
Tatapan Gallend yang menajam pada detik-detik selanjutnya membuat Arum berdeham pelan untuk menetralisir gugup.
"Seharusnya aku yang nanya, kenapa kamu bisa manggil nama cowok lain segitu akrabnya?"
Pupil Arum melebar. Kedua telunjuknya saling mengetuk beberapa kali di atas pangkuannya sendiri. "Di—dia... teman SMA aku waktu aku masih tinggal di Bandung."
"Kalian dekat?"
Arum memutar bola mata. Kenapa Gallend jadi bertanya hal lain di luar pembahasan awal? "Yah, kalau teman pasti dekat, dong." sahutnya kesal.
Tapi, seolah tidak jera membuat Arum sebal, Gallendra terus bertanya. "Kamu pernah suka sama dia?"
"Hah? Pertanyaan apa itu?"
"Jawab aja, Rum."
"Enggak pernah sama sekali." Tukas Arum. "Kamu ini apaan, sih? Aku nanya lain, malah balik nanya lain."
Gallend kini melepas pelukan tangannya di bahu Arum. Pria itu mengedikkan bahu. "Itu cukup. Aku enggak akan marah kalau kamu memang enggak pernah menyukai dia." ujarnya, memberi penekanan pada kalimat akhir.
"Kenapa kamu harus marah? Kenapa juga aku harus takut kamu marah?"
Bukannya jawaban atas pertanyaan Arum barusan yang gadis itu dapat, melainkan jawaban atas pertanyaan awal. "Aku enggak tau Arkana siapa. Aku aja enggak tau dia artis. Seterkenal itu, ya, dia?" Gallendra mendengus. "Masih lebih tampan aku dari dia padahal."
"Ya Allah, Mas!" Arum menggeram. "Kamu kenapa bisa kepedean banget, sih?"
Gallendra terkekeh. Setelah tawanya mereda, ditatapnya Arum dengan sorot memohon. "Jangan tanya lagi, ya."
Meski tidak puas, Arum memilih mengangguk akhirnya. Dia tidak ingin memaksakan keingintahuannya pada Gallend. Gallend merespon anggukan itu dengan senyum simpul dan sebuah kecupan singkat di pelipis Arum.
Gadis itu mengerjap kaget. Matanya membulat lucu ketika Gallend memandanginya kembali.
"Kamu kenapa, sih, suka banget cium-cium?" gerutu Arum, mengusap-usap pelipisnya sendiri.
"Daripada cium cewek lain. Boleh emangnya?" Sahutan asal Gallend membuat Arum meradang. Gallend mengaduh ketika lengannya ditaboki Arum cukup keras.
"Awas aja! Aku pukul bibir kamu pakai raket nyamuk!"
*
Dua minggu bersama Gallendra sebagai pasangan kekasih tak serta merta membuat Arum mengenal segala hal tentang lelaki itu. Tapi, sejak awal Arum sudah membulatkan tekad untuk siap mendengar kapan pun Gallend bersedia menceritakan siapa dirinya. Kehadiran Arkana dan pria berusia lanjut di swalayan tempo hari, sejujurnya membuat Arum tahu bahwa masih ada kepingan rahasia lain yang Gallendra simpan.
Mungkin waktu yang lambat laun akan membuat Gallend mau membuka cangkangnya untuk melihat, bahwa masih ada ribuan manusia yang bisa membuatnya bahagia di dunia ini. Dan di antara ribuan manusia itu, Arum mendeklarasikan diri sebagai salah satunya.
Menjadi kekasih sungguhan, sikap Gallend sama saja seperti di awal. Suka iseng dan sering merayunya dengan panggilan 'sayang' berkali-kali, terutama tiap kali berbuat dosa setelah menjahili Arum. Tapi, yah.. itulah Gallendra.
Gallendra Madana Mahameru yang Arum sayang. Mungkin terdengar berlebihan, tapi Arum tidak akan malu mengutarakan bentuk kasihnya untuk Gallend melalui apa pun, selama itu masih dalam batas wajar
Termasuk membelikan kekasihnya sebuah gantungan kunci dengan bandul huruf 'G' yang sekarang menarik perhatiannya di antara cinderamata lain—yang dijual salah satu pedagang Taman Pelangi yang malam ini Arum datangi bersama Gallend.
Tersenyum, Arum bertanya pada lelaki muda di hadapannya yang tadi menawarkan dagangan. "Ini berapa—"
"ARUM!"
Gadis itu tersentak mendengar teriakan dari jauh. Sontak, dia menoleh ke arah datangnya suara dan pupilnya melebar ketika menangkap wujud Gallend kini melangkah lebar dan cepat, membelah kerumunan orang di sekitar mereka, untuk menujunya.
Arum mendesah kesal. Haruskah laki-laki itu berteriak sebegitu keras?
"Kamu udah selesai dari kamar man—" kata-kata Arum tidak pernah tergenapi karena Gallend menubruknya cukup keras hingga Arum meringis. Tindakan Gallend yang tiba-tiba, rupanya mengundang perhatian orang-orang untuk menatap ke arah mereka, termasuk si pedagang cinderamata yang berdiri termangu di samping keduanya.
Arum tergagu. Kecemasan menyerangnya ketika untuk beberapa detik, Gallend membenamkan wajah di bahu Arum. Mungkin karena menyadari mereka telah jadi pusat perhatian, Gallend menjauhkan diri. Berhenti memeluk.
Arum baru akan bertanya ada apa, tapi bentakan Gallendra lebih dulu menyentak gadis itu. "Kamu dari mana?! Kenapa pergi gitu aja? Aku, kan, udah bilang kamu tunggu sebentar selagi aku ke toilet. Kenapa malah pergi jauh?!"
Arum menelan ludah yang terasa sukar. "Ma—maaf, Mas. Aku tadi.." Diangkatnya gantungan di tangan dengan suara hampir bergetar. "enggak sengaja lihat gantungan kunci ini. Terus spontan aja langsung pingin beli."
"Itu berarti kamu melanggar janji untuk menungguku, kan?" nada kesal dari suara Gallend membuat Arum menghela napas samar. Dia tidak paham. Wajah lelaki itu seperti seorang ibu kandung yang kehilangan anaknya di tengah keramaian.
Gallend mungkin memang cemas, tidak melihat Arum menunggu di tempat yang sama seperti sebelumnya, tapi haruskah dia sampai memarahi Arum di tengah kerumunan orang? Mereka benar-benar jadi pusat atensi sekarang. Namun, alih-alih meminta maaf, Gallend malah menarik lengan Arum untuk pergi menuju mobil mereka di parkiran. Tanpa bersedia memberi Arum kesempatan untuk membeli gantungan lebih dulu.
Keheningan menemani mereka selama hampir lima belas menit lamanya di dalam mobil. Arum kesal dengan Gallend, begitu pun Gallend. Kedua manusia itu terus berperang dalam kemarahan masing-masing sebelum akhirnya Arum membuka suara. Memutuskan mengalah lebih dulu untuk menyelesaikan emosi yang membelit saat ini di antara mereka.
"Mas Gallend masih marah?"
Tidak ada jawaban. Gallend hanya memejamkan mata dengan satu tangan memegang stir dan tangan lainnya memijit pelipis.
"Aku minta maaf, ya." ujar Arum lagi, lebih mengecilkan suara.
"Kamu enggak salah."
Arum mengerjap mendengar jawaban tiba-tiba Gallend. Lelaki itu kini sudah memandanginya, dan tersenyum tipis. "Maafin aku, ya, Rum."
Lelaki itu membersit hidung. Mungkinkah ia baru saja menangis? Kenapa Arum tidak tahu? Lagipula, sejujurnya Arum masih bingung mengapa kesalahannya yang hilang beberapa menit saja bisa sefatal itu di mata Gallend?
Dalam diam, Arum membiarkan tangan kanannya diraih Gallendra. Lelaki itu membawanya dalam pangkuan. Menggenggam tangan Arum yang lebih kecil dari jemari-jemari kokoh Gallendra sendiri. Kehangatan telapak tangan Gallend, bisa sedikit meredakan kegelisahan gadis itu.
"Aku udah buat kamu malu di depan orang tadi. Aku cuma.. cuma.." Gallend menarik napas sesaat. "aku enggak tau apa yang harus aku lakuin kalau sampai kamu hilang di kerumunan ratusan orang. Mungkin aku bisa cari kamu, tapi aku enggak suka merasakan perasaan cemas saat mikirin apa selama pencarianku, kamu baik-baik aja atau enggak, Run. Maaf, ya."
Ada perih yang tersalurkan dalam isak Gallend yang jelas berusaha lelaki itu tahan. Arum mengerjap, mendapati sebulir cairan menuruni pipinya.
Sebenarnya, masa lalu seperti apa lagi yang Gallend miliki sampai ia merasa sekalut ini dengan menghilangnya seseorang dari hadapan dia?
"Mas.."
"Jangan menghilang lagi, ya? Aku mohon." Arum meringis samar saat merasa Gallend meremas pelan jari-jarinya. Pria itu menunduk, menatap tangan mereka yang saling bertaut. Seolah hanya itu yang bisa memberinya kekuatan untuk bicara. "Aku enggak akan pernah maafin diriku sendiri kalau aku enggak bisa jaga kamu dengan baik. Cukup ibu kandungku aja yang pergi.. tanpa bisa aku cegah, jangan kamu lagi."
Begitu kalimat itu terucap, Arum tidak kuasa menahan diri untuk tidak memeluki Gallendra. Jika biasanya Gallend yang pertama kali memberikan Arum perlindungan, kali ini biarkan Arum yang melakukannya duluan. "Enggak ada yang akan hilang, Mas. Aku di sini. Jangan takut lagi, ya?"
Dalam isak tangis entah karena alasan apa, Arum memeluki leher Gallend erat-erat. Masa bodoh lelaki itu terkejut karena posisi yang menangis jadi terbalik sekarang, yang jelas Arum hanya ingin melakukan satu hal.
Menyalurkan sebuah fakta bahwa... dirinya ada di sini untuk Gallendra.
*
Langkah Arum tertahan saat suara Gallend terdengar. Tertegun dengan pemandangan di depan pintu apartemen Gallend, gadis itu meremat pegangan rantang yang dirinya bawa untuk memberikan Gallendra hasil masakan ibunya. Tadi, Ratna menyuruh Arum membawakan soto daging untuk 'calon mantu'—sebutan Ratna yang sempat membuat Arum meradang.
Tapi, tampaknya Arum datang di waktu yang salah. Gallendra sedang menerima tamu. Namun, bukan di dalam apartemennya, melainkan di ambang pintu.
"Jangan pernah ke sini lagi! Dan jangan pernah bawa apa pun lagi! Karena saya enggak pernah butuh apa pun dari kalian! Dari kamu atau pun dari pria itu." bentakan Gallend membuat Arum mematung di tempat.
"Kak—"
"Pergi!" Gallend mengusir dengan suara lebih keras. "Sebelum saya panggil satpam buat usir kamu dengan tidak terhormat, Arkana." Penekanan pada kata terakhir Gallend menghenyakkan Arum.
Benar. Tamu Gallend itu benar-benar Arkana, seperti yang penglihatan Arum tangkap sekarang. Arkana memegang sebuah kotak berlabel merek bakery ternama di Jogja. Sementara Gallend, berdiri seolah menahan tamunya untuk masuk ke dalam. Wajah lelaki itu memerah, mungkin menahan amarah.
Entahlah. Arum makin bingung dengan semuanya.
"Aku pergi. Tapi, nanti aku pasti balik lagi, Kak."
Posisi Arum yang hanya berjarak sekitar lima meter dari pintu apartemen Gallend, masih bisa membuat gadis itu mendengar suara riang Arkana.
"Enyah." Setelah berkata demikian sadisnya, Gallend langsung menutup pintu dengan bantingan keras sampai Arkana tersentak.
Arum bisa melihat kekecewaan Arkana, ketika lelaki itu berbalik kemudian dengan wajah menunduk menatapi kotak kue di tangannya. Entah apa yang sahabat lamanya itu pikirkan sampai ia terperanjat ketika melihat Arum.
"Hai, Rum." Dan seolah tidak baru saja menghadapi kesedihan, Arkana menyapanya seperti biasa. Ramah. Arum mengangguk samar. Masih cukup terkejut dengan keberadaan Arkana di apartemen Gallendra.
"Kamu.. habis ketemu dengan Mas Gallend?" tanya Arum hati-hati, lantas membuat senyum Arkana lenyap.
"Aku akan cerita lain kali." jawab lelaki itu akhirnya dengan sikap canggung. "Atau mungkin.. kamu bisa mendengarnya sendiri dari Kak Gallend."
Arum terdiam. Tidak tahu lagi harus merespon atau menanyakan apa.
"Kalau gitu, aku pulang dulu, Rum."
Pada akhirnya, Arum hanya mengangguk pelan. Membiarkan Arkana berjalan melewatinya. Tapi, baru tiga langkah Arum berjalan, suara Arkana menahan langkahnya lagi. "Arum."
Gadis itu membalikkan tubuh dan segera mendapatkan kalimat berikutnya dari Arkana yang langsung membuatnya mematung.
"Aku enggak bisa mengucapkannya langsung ke Kak Gallend selama ini, jadi.." Arkana tersenyum tulus. "selamat ya, aku senang dia bisa punya kekasih sebaik dan secantik kamu. Baik-baik bersamanya, ya."
Halohaa.. hari ini bonus buat kalian, yaaa. Karena.. apa ya? Aku sayang sama kalian, maybe *digampar*
Sorry juga, tadi aku sempet kesalin dua kali isi bab ini. Jadi ku post ulang babnya yaw. Maafkan kecerobohanku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro