[Stage 29] Luapan Perasaan
PS: Aku mau wanti2 ini bakal panjang. Lebih 2k kata (hikss). Tapi, aku gak bisa mutusin, karena kemungkinan besar kalian bakal nampol aku pakai bakiak kalau meng-end-kan di tengah pertengkaran Gallend-Arum. Cusslah baca aja, sambil denger lagu di atas ya. Btw itu lagu kesukaanku (gada yang nanya jugaa 😂🤧), jadi sengaja kupakai untuk part kali ini yang.. baca sajalah hoho.
***
"Masih enggak mau ngaku seberapa kejinya kamu?! Dan sekarang mau memanfaatkan Arum juga?! Fuck you!" Suara keras Bara menggema di sepanjang dinding koridor, menghantarkan gelombang perih bagi Arum ketika tangan lelaki itu terangkat lagi untuk melayangkan tinju.
Arum mengerjap dalam ketertegunan, meyakinkan diri sekali lagi bahwa ia memang sedang tidak bermimpi.
Gallend ada di sana. Tapi, bagaimana bisa terlibat perkelahian dengan Bara?
Arum hanya tersasar belum genap dua jam, tapi pemandangan mengerikan itu yang justru menyapanya ketika ia berhasil tiba di hotel-setelah membeli pembalut di swalayan, ia menemukan pasar malam yang diselenggarakan tidak jauh dari area pertokoan dan tertarik melihat-lihat sebentar. Sayangnya, saat ingin kembali ke hotel Arum malah lupa jalan pulang. Ia ingin menghubungi Bara. Tapi, ponselnya malah tertinggal di kamar.
"Kamu enggak punya hak untuk ikut campur urusanku dan Arum!" bentakan Gallendra menyentak Arum, membuatnya merutuki diri sendiri karena tak segera menyadari keadaan Gallend yang kesusahan menangkis pukulan Bara. Dan untuk kesekian, denyut sakit itu memenuhi dada tiap melihat Gallend dipukuli, sehingga Arum lantas berlari mendekati keduanya.
"Aku berhak! Aku temannya!"
"Aku kekasihnya!"
"Maksudmu, kekasih tidak dianggap?"
Tepat saat Arum berdiri di samping Gallendra, tubuh Bara didorong kuat hingga terperosok ke atas lantai, menghasilkan bunyi gedebum yang keras saat punggungnya membentur pintu kamar Arum. Membuat gadis itu terhenyak.
Dalam sekali gerakan cepat dan membabi buta, Gallend memberi pembalasan dengan memukuli wajah Bara berkali-kali hingga membuat Arum berteriak meminta berhenti.
"Mas Gallend, udah! UDAH, MAS!" Dengan tenaga yang jelas tidak lebih besar dari Gallend, Arum berusaha menarik lengan laki-laki itu yang enggan mengikuti permintaannya. Arum hampir menangis, memohon berhenti. "Mas Gallend, udah. Jangan lagi." lirihnya.
Bara membeliak saat jempolnya menyeka sudut bibir yang sudah mengeluarkan darah. Keterkejutan melihat Arum jauh lebih menyakitkan daripada hantaman Gallendra barusan. Pertengkaran dengan Gallendra memang hal yang sudah dinantinya sejak lama, tapi bukan dalam kondisi di mana Arum menyaksikan.
Bara menyeringai saat tatapannya jatuh lagi pada Gallend, sorot matanya meremehkan. "Dia bahkan enggak memberitahumu kalau datang ke Bandung bersamaku, kan? Apa itu artinya kalian benar-benar pacaran?"
Kening Arum mengerut dalam, intonasi dan ekspresi Bara jauh dari yang ia kenal. Bibir Arum terbuka, siap bertanya apa maksud ucapan Bara, tapi Gallendra lebih dulu menarik leher Bara untuk dipaksa berdiri, membuat mata Arum bergantian menatap nyalang antara wajah Gallendra dan tangan lelaki itu yang kini menjepit kuat-kuat leher Bara, sampai Bara terbatuk beberapa kali.
"Mas Gallend!" Arum berusaha melepaskan genggaman Gallend, ia tidak sudi orang yang dicintainya berpotensi menjadi pembunuh.
"Mas Gallend! Cukup! Mas, tolong hentik-" suara Arum tertahan bertepatan dengan sepersekian detik tubuhnya ditarik masuk dalam dekapan Gallend sementara Bara sudah dihempas kasar hingga terkapar di lantai.
Arum mendorong dada Gallend untuk menjauhkan diri, kemudian bergerak ingin mendekati Bara yang terlihat sesak napas hingga tak mampu berdiri. Tapi, tarikan Gallend di lengan Arum sekali lagi membuat langkah gadis itu tertahan.
"Jangan pedulikan dia!" suara Gallend sarat intimidasi. Tatapannya menajam. Untuk pertama kali, Gallend bersikap sekeras ini, membuat nyali Arum menciut bahkan hanya untuk sekadar menyuarakan penolakan. "Ta-tapi..."
"Kenapa? Kamu mau menolongnya?!" Sorot mata Gallend menikam. "Kamu lebih memilih dia daripada aku?!"
Demi Tuhan, haruskah Gallendra semarah ini?! Bahkan sampai membuat Bara hampir mati.
"Arum, tolong.." mata Gallend terpejam sesaat, tangannya memijit pelipis. Saat matanya terbuka lagi, ada sayatan kecewa memendar di telaga hitamnya. "aku bahkan masih enggak ngerti, apa maksud kamu tiba-tiba pergi ke luar kota dengan lelaki sialan ini tanpa mengabariku sama sekali. Harus gimana lagi aku jelasin supaya kamu tahu seberapa banyak aku khawatir, Arum?!"
"Jangan membentaknya!" teriakan Bara yang entah sejak kapan mencoba bangkit berdiri-menopang tubuhnya dengan satu tangan bersandar pada dinding-mengundang Gallend untuk beringsut mendekati. Tapi, langkah Gallend tertahan begitu suara Arum menggema lebih keras.
"MAS GALLEND, UDAH! Sekali lagi kamu main pukul, aku enggak akan maafin kamu!"
Gallend menatap tak percaya pada Arum-yang juga terkejut dengan ucapan lantangnya sendiri.
"Aku udah memperingati kamu dulu, kan, Rum. Jangan mudah diperdaya oleh bajingan ini." Suara Bara membuat keheningan yang sempat tercipta, kembali membumbungkan kobaran api yang setidaknya tadi hampir padam.
Bara sudah berhasil berdiri, sembari memegangi lehernya sendiri, napasnya terengah saat mengutarakan kalimat lanjutan yang langsung membuat Arum menegang.
"Kalau kamu enggak mau sakit hati lagi nantinya, jauhi dia. Karena Gallendra hanya orang serakah yang rela berakting sebaik apa pun demi tujuan."
*
"Kamu masih mencintainya."
Helaan napas berat lolos untuk kesekian kalinya dari bibir Arum. Enggan meladeni pernyataan sepihak itu, dia memandangi kotak P3K-yang baru saja diantar pegawai hotel-di tangannya. Setelah memejamkan mata beberapa detik untuk meredam kekesalan, akhirnya Arum melangkah mendekati Gallendra yang duduk di sofa kamar hotel Arum.
"Apa itu alasan kamu mau menyudahi hubungan kita?" tuduhan Gallend kembali terdengar, kali ini nadanya sarat tidak sabaran, mungkin sebal karena Arum belum juga mengacuhkannya.
"Hubungan pura-pura."
Gallend memutar bola mata mendengar ralatan Arum. Dia mendesah kasar, entah sudah yang keberapa kali.
"Tadi waktu datang, kamu bahkan langsung natap aku seolah akulah yang bersalah lebih dulu. Padahal lelaki kurang ajar itu yang menghajarku duluan! Aku enggak memancing keributan sejak awal. Tapi, gimana bisa.. gimana bisa kamu hanya melihat dia selalu berada di posisi yang benar, sementara aku selalu salah? Kenapa, Rum?"
Arum menggigit bibir, berusaha tetap tenang agar bisa berpikir dengan kepala dingin. Dalam kondisi hati dan cuaca panas begini, ia tak mau ikut terpancing gelegak amarah Gallend yang sangat tidak masuk akal. Menuduhnya masih menyukai Bara? Bahkan tuduhan itu dituduh lagi sebagai alasan Arum ingin menyudahi sandiwara mereka?
Gallend nyebelin! Ingin sekali Arum menggetok kepalanya dengan kotak P3K.
Dalam diam, tangan Arum cekatan membasahi kapas dengan cairan antiseptik. Ia sudah duduk di samping Gallend yang setia misuh-misuh sendirian. Saat kapas di tangan Arum hampir mendekati luka di sudut bibir Gallend, Gallend menahan pergelangan tangan gadis itu. Tatapannya tajam menusuk Arum. "Sebegitu inginnya kamu lepas dari aku? Sebegitu cinta kamu sama si Biri-Biri?"
ASTAGAAAH!
Gallend benar-benar berdosa! Tidak puas menghajar Bara, sekarang juga mulai mengatai namanya?
"Mas, kumohon.." pinta Arum dengan wajah memelas. "jangan ngomel terus. Nanti luka kamu tambah parah. Sini, aku obati du-"
"Aku enggak butuh kamu obati!" Gallend setengah berteriak.
Arum tertegun. Butuh beberapa detik untuknya mampu mengerjap. Setelah menarik napas yang serasa tercekat, Arum menghelanya perlahan agar ketenangan kembali meresapi jiwa. Tapi..
Gadis itu menggeleng lemah. Dia tidak bisa. Ucapan Gallend membuatnya sangat terluka. Kilas adegan dua hari lalu yang terekam jelas di benak Arum, di mana Gallend dan Lin Zhi saling tertawa, kini menguak pilu getir dalam dadanya.
"Jadi...," Arum mengerjap sekali lagi. Tidak peduli dengan cairan panas yang kemudian bergilir menuruni pipi dan membuat Gallend nyaris tersentak karena terkejut. Rasa bersalah yang besar langsung menerjang Gallendra ketika menyadari ia baru saja hampir membentak Arum.
"apa hanya Lin Zhi yang boleh mengobati luka kamu?" Arum tersenyum miris, menatap Gallend.
Hening. Di depannya, Gallend membeliak sesaat sebelum mengubah cepat rautnya menjadi datar. Gurat wajah 'biasa' itu menampar Arum, seolah memperlihatkan jelas bahwa seharusnya Arum tidak perlu menanyakan sesuatu yang sudah pasti benar jawabannya.
Menekan perih di hati, Arum melepaskan tangannya dari genggaman Gallend yang ternyata tidak memberi perlawanan. Berdeham untuk menetralisir kecanggungan, Arum bangkit berdiri seraya menukas. "Kalau gitu, kamu bisa telepon dia. Atau balik ke Yogya sekalian."
Usai bicara dengan nada tak bersahabat, Arum melangkah menuju minibar yang ada di sudut nakas televisi. Gadis itu mengeluarkan satu kaleng soft drink dari kotak pendingin itu untuk diberikan pada Gallendra. Siapa tahu, kan, minuman segar bisa melemaskan sel-sel saraf Gallendra agar tidak tegang terus sampai membuatnya marah-marah.
Setelah menutup pintu minibar, ia berbalik badan namun langkahnya terhenti saat melihat Gallend sudah berdiri satu meter di hadapannya.
"Maaf, Rum. Aku enggak bermaksud.." Gallend kelihatan susah mengatur kata. Tapi, Arum bisa melihat penyesalan membayang di wajah lelahnya.
"a-aku.. min-minta maaf. Aku hanya kebingungan kamu hilang kabar.. bahkan berada di sini dengan Bara." Gallend mengusap leher dan fokus retinanya mengarah pada satu titik di lantai, dekat kaki Arum. Lantai marmer jauh lebih berani diperhatikannya, ketimbang wajah Arum yang sempat mengganas seperti singa saat menyuruhnya menelepon Lin Zhi tadi.
"Lagipula kenapa kamu tiba-tiba bahas Lin Zhi, sih?" tanya Gallend kesal. Pupilnya melebar, menyadari satu hal. "Kamu tau Lin Zhi dari mana?"
Bukannya menjawab, kontak mata mereka yang saling menatap beberapa detik, terputus ketika tubuh Arum merosot jatuh, membuat Gallendra tersentak. Gadis itu berjongkok, melipat kedua tangannya di atas lutut dan kepalanya tertunduk.
"A-aku enggak ngerti." Arum bergeleng lemah. Suaranya melirih.
"Mas Gallend kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba datang dan marah kayak tadi? Marah sama Bara, marah sama aku. Aku salah apa?" dengan kasar, gadis itu menghapus airmata yang kembali menjejaki pipi.
Kalau memang Gallend kembali bersama Lin Zhi, lalu untuk apa lelaki itu bersikap seolah-olah cemburu pada Bara? Gallend berniat mempermainkannya? Mungkinkah Gallend belum berubah? Mungkinkah lelaki itu ingin menjadikan Arum korban berikutnya?
"Aku bukannya mau membela Mas Bara atau menuduh kamu yang duluan mencari ribut. Tapi, aku enggak suka kamu terlibat perkelahian, Mas. Gimana kalau tadi enggak ada yang melerai kalian? Gimana kalau kamu sampai terluka lebih dari sekarang? Dan, gimana.." Arum menarik napas panjang, tangisan membuat lehernya tercekik. "gi-gimana kalau tadi.. Mas Bara enggak berhenti hajar kamu, Mas? Tolong bilang aku harus gimana?! Supaya enggak perlu secemas ini lihat kamu bertengkar kayak tadi!"
Kali ini saja.. biarkan untuk kali ini saja ia mengeluarkan semua rasa sesak. Kenapa mencintai Gallendra jauh lebih menyakitkan dari saat menaruh hati pada Bara?
"Maaf, Rum. Maaf." Gallend beringsut mendekat. Tanpa suara menuntun Arum berdiri kembali dengan memegangi bahu gadis itu. Mencondongkan tubuhnya ke arah Arum, Dengan ujung jarinya, Gallend mengangkat dagu gadis itu agar mata keduanya bertemu.
"Aku minta maaf udah membentak, ya?" permintaan tulus itu pada akhirnya membuat Arum mengangguk.
Jari-jari Gallend yang besar menyapu permukaan wajahnya. Menghapus airmata di sana. "Jangan nangis lagi, hm?"
Sorot telaga hitam Gallendra meredup, memandangi Arum dalam ukiran senyum.
"Kenapa kalian berkelahi?"
Gallend berdecak karena mengalihkan pembahasan. "Aku akan cerita nanti." Saat melihat gadis itu mengerucutkan bibir, dengan cepat ia melanjutkan. "Aku janji. Sekarang ada hal lebih penting yang harus kita bahas. Tepatnya, kamu yang harus klarifikasi."
"Maksudnya?"
"Kenapa kamu mengabaikanku? Semua panggilan, pesan, dan chat ku, semuanya enggak kamu balas. Ada apa, sih, Rum? Aku ada salah lagi, ya? Kalau iya, tolong bilang. Aku enggak akan tahu dan enggak akan berusaha memperbaiki diri kalau kamu diam dan main jauh-jauhan begini."
"Kamu enggak tau seberapa cemasnya aku? Aku pikir ada-apa sama kamu, Rum." Gallend menangkup wajah Arum saat dilihatnya gadis itu kembali ingin menunduk.
"Rumi yang jadi jalan terakhirku untuk menanyai keberadaan kamu aja, kaget pas tau kamu pergi ke Bandung sama Bara tanpa kasih tahu aku. Aku benar-benar kelihatan konyol pas jemput kamu, bingung harus jawab apa waktu mereka tanya kita bertengkar atau enggak. Mungkin di mata mereka sekarang, kita kayak pasangan yang enggak pernah komunikasi sama sekali."
"Maaf.."
"Kenapa kamu minta maaf?"
"A-aku tau aku kekanakan." Jeda. Arum menelan ludah, keringat membasahi telapak tangannya. "Melarikan diri dari masalah dengan mengabaikan Mas Gallend, aku tau aku salah. Tapi, aku sendiri juga bingung harus gimana bersikap. Aku enggak sanggup berpura-pura lagi."
Dalam kegelisahan, mata gadis itu berjelajah menatap apa pun selain mata Gallend.
"Beberapa hari lalu, aku pernah lihat postingan Instagram Lin Zhi, mantan Mas Gallend yang aku tahu dari Irisha. Waktu di pesta pernikahan teman kamu malam itu, Irisha cerita tentang Lin Zhi ke aku."
Arum meneguk ludah saat pegangan tangan Gallend di wajahnya mengendur. Dan perlahan-lahan lepas. Telaga hitam pria itu melebar. Tapi, Arum tidak punya pilihan untuk menunda pengakuan.
"Di postingan Lin Zhi, ada kamu dalam videonya. Dan, semua komenannya berisi kemungkinan kalian kembali bersama. Lalu, dua hari lalu waktu aku datang ke Mahameru Production untuk meeting dengan Mbak Laras, aku enggak sengaja lihat kalian berdua keluar dari kafe kantor. Ke-kelihatannya kamu benar-benar bahagia ngobrol sama dia, kalian ketawa terus." Menyalurkan kecemasan, tangan gadis itu memainkan pengait kaleng soft drink.
"Aku enggak ngerti.. tapi, perasaanku benar-benar enggak nyaman melihat kedekatan kalian." Ia bergeleng pelan. "Aku enggak suka, Mas. Dan aku tau ini salah. Aku tau aku enggak berhak benci kebersamaan kalian. Aku selalu ingat, kok, kalau hubungan kita cuma pura-pura. Tapi, aku enggak kuasa nahan perasaan itu. Maafin aku. Maaf," kesekian kalinya di hari itu, Arum terisak. "maaf karena aku udah lancang menyukai kamu lebih dulu."
Akhirnya.
"Tapi, Mas Gallend tenang aja. Makanya sekarang aku sengaja menjauh, karena aku enggak akan bisa sembunyiin rasa kesalku dan itu pasti akan sangat mengganggu kamu. Sebentar aja, Mas.. aku ingin kita menjaga jarak."
"Sampai kapan?"
"Sampai aku siap menghadap kamu dengan perasaan yang lebih baik. Supaya kamu enggak harus terbebani dengan perasaanku."
Arum menatap lurus Gallendra yang memasang ekspresi datar.
"Sejak kapan kamu menyukaiku?" pertanyaan itu membuat dada Arum seolah ditusuk ribuan jarum. Marahkah Gallend?
"Ma-maaf, Mas.."
"Kenapa kamu hobi banget minta maaf, sih, Rum?" Gallend menggeleng-geleng. "Seharusnya itu tugasku."
Gallend bergerak mendekat. Memangkas jarak di antara keduanya dan sebelum Arum berhasil menyampaikan tanya dengan wajah menengadah menatap Gallend, Gallend sudah lebih dulu menyusupkan satu tangannya ke belakang punggung Arum. Untuk kesekian kali debar nyata itu memenuhi dada gadis itu, saat Gallend membingkai wajah Arum dengan satu tangannya yang besar.
"Aku yang harus minta maaf. Karena sepertinya.. aku yang lebih parah melanggar perjanjian kita..." Arum terhenyak kala Gallend menyatukan kening mereka. Pria itu tersenyum kecil saat menyadari Arum mengerjap lambat dan tanpa sadar memegang kemeja bagian siku Gallendra. Deru napas keduanya yang saling bersambut membuat Arum semakin gugup.
Sekarang untuk pertama kali baginya sedekat ini dengan lelaki. Jika di keadaan normal, Arum pasti akan mendorong dan menampar Gallend, kali ini ia tidak mengerti mengapa hanya diam terpaku. Terpenjara dalam sorot mata Gallendra yang... memabukkan?
Fix! Arum sudah tidak waras.
"Aku bukan hanya sekadar suka, tapi juga jatuh cinta. Maaf, karena aku benar-benar enggak sanggup menepati janjiku untuk melepas kamu, sekali pun bukti penjebakan itu terungkap suatu saat." Gallend berbisik lirih saat mata mereka bertatapan dalam jarak beberapa senti. Sepersekian detik kemudian, seluruh saraf motorik Arum mati tatkala bibir Gallend menyapa lama bibirnya. Hanya kecupan, tapi berhasil mengirimkan gelombang listrik yang meningkatkan aliran darah gadis itu.
Ketika Gallend menjauhkan bibir, tubuh Arum masih mematung. Hanya saja matanya berkedip-kedip seperti gerak tangan patung china maneki neko di etalase toko.
Tertawa kecil melihat reaksi Arum, Gallend mengusap bibir gadis itu yang basah akibat ciumannya. Ciuman untuk gadisnya. Bukan lagi gadis pura-puranya.
"Aku mencintai kamu, Rum. Seharusnya kamu jujur ke aku, bukan lari dan menyiksa diri kamu sendiri. Kamu enggak tau aku juga ikut tersakiti, hm?"
Kedua tangan Gallendra membingkai wajah Arum yang masih larut dalam ketertegunan. Jempol lelaki itu mengusap-usap lembut pipi chubby-nya.
"Jangan lari lagi, ya, Sayang." ujar Gallend. Senyum menawannya, menciptakan sensasi menggelitik di dalam perut Kencana Arum.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro