Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 25] Tembok Besar

Suara merdu khas milik Raisa— yang biasanya selalu tidak bosan Arum dengar— justru menjadi irama yang ingin sekali Arum hentikan sekarang. Bukan, bukan karena ia jera mendengarkan lagu baru dari penyanyi favoritnya. Tapi, Arum sungguh ingin turun dari mobil ini sekarang juga. Berada satu kendaraan dengan Bara yang kini sibuk memfokuskan pandangannya ke jalanan padat di depan, bukan sesuatu yang baik.

Gadis itu memejamkan mata. Dalam hati merutuki dirinya berkali-kali karena sudah pasrah membiarkan dirinya diantar pulang oleh Bara. Hari ini, Arum pulang lebih awal dari kantor karena dera sakit yang teramat sangat di perut. Tamu bulanannya datang, hari pertama, dan sebagai salah satu pengidap penyakit nyeri haid yang parah, Arum yakin ia tidak bisa bekerja penuh hari ini.

Sialnya, ketika meminta izin pulang pada Paranita, ada Bara di ruangannya. Lelaki itu menawarkan diri mengantar Arum tepat di hadapan Paranita. Meski Arum berusaha menolak sewajarnya, tapi Bara punya alasan kuat yang, menurut Arum, akan aneh kedengarannya bila ia harus menolak lagi. Terlebih Paranita mendengarkan percakapan dan ikut-ikutan menyarankan Arum agar pulang bersama Bara..

Sejujurnya, Arum pun tidak mengerti mengapa ia harus menghindari Bara sedemikian keras. Toh, Bara hanya menunjukkan sikap baik sebagai atasan. Apakah sikapnya ini dilandaskan karena hubungannya dengan Gallend? Tapi, kenapa harus? Ikatan di antara mereka hanya sebuah sandiwara.

Lalu?

Entahlah..

Arum pikir, dia hanya tidak nyaman dengan perasaan bersalah yang kerap datang tiap kali dirinya berdekatan dengan Bara. Lebih-lebih, Arum merasa belakangan ini Bara lebih sering mengajaknya mengobrol—dengan banyak objek cerita—lebih dari biasanya.

Semua terjadi begitu saja setelah Arum menjalin hubungan pura-pura dengan Gallendra. Mungkin berawal dari rasa takut bila orang-orang akan keheranan melihat kedekatan Arum dengan laki-laki lain sementara di saat yang sama, Arum justru dikenali sebagai kekasih Gallendra. Parahnya, entah sejak kapan ketakutan itu digantikan oleh rasa gelisah bila Gallend sampai mengetahuinya. Tidak masuk akal? Memang.

Arum membuka pejaman matanya tepat ketika lagu berakhir. Gadis itu menelan ludah, berusaha keras agar tidak terlihat gugup. Ia menoleh pada Bara, mencoba mengajaknya basa-basi agar Arum tidak di cap sebagai bawahan yang tidak tahu terima kasih karena sudah ditolong, tapi malah mendiamkan sang penolong terus-terusan dalam kebisuan.

"Dokumen apa yang ketinggalan, Mas?" Arum bertanya, mencoba mencairkan hening yang menyelimuti sejak belasan menit tadi. Bara menoleh sesaat sebelum menatap ke jalan raya lagi.

"MoU PT. Vlademierz [1]." Bara menyengir. Suaranya tanpa beban, seolah sedang bercerita pada seorang teman lama. Mungkin ingin membuat kesan santai dalam percakapan mereka. "Bisa-bisanya aku ketinggalan dokumen itu, Rum. Padahal tadi pagi udah kusiapin di atas meja pas lagi sarapan. Eh, malah lupa ke-ambil. Bu Paranita mau lihat dokumennya hari ini. Jadi, ya, mau enggak mau harus balik."

Arum ber-oh singkat. Melihat reaksi Bara yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan membahas perihal lain, gadis itu menundukkan kepala. Bingung juga mencari topik apa lagi. Lagipula, perutnya masih terasa nyeri saat ini. Sebenarnya ia enggan mengobrol, tapi bagaimana pun Arum tak ingin kehilangan sopan santun.

Menghela napas tanpa suara, Arum pandangi gawai yang dipegangnya di tangan kanan. Layar benda itu tidak memperlihatkan satu pun pesan masuk dari Gallend. Tadi, Arum sempat memberitahu Gallend bahwa dirinya pulang lebih awal sehingga lelaki itu tak payah menjemput. Sudah satu jam menunggu, belum ada balasan. Bahkan pria itu belum juga membaca pesannya.

"Sudah sampai." Suara Bara membuat Arum terkesiap. Gadis itu menoleh cepat menghadap Bara dan saat tersadar, kepalanya berputar ke arah sebaliknya. Arum meringis, mendapati mobil Bara sudah terparkir di dekat pagar rumah Arum sendiri.

Tersenyum kikuk, gadis itu berucap, "Iya. Kalau gitu saya turun dulu, Mas. Makasih banyak udah diantar."

Bara tidak mengangguk, hanya diam. Tapi, Arum tidak ingin mengetahui alasan sikap lelaki itu yang sebenarnya hampir tidak pernah terlihat secuek barusan. Sehingga Arum segera menekan tombol central lock di pintu mobil, ingin bergegas turun. Namun, baru sedikit celah pintu terbuka, lengannya di tahan Bara, membuatnya tersentak dan mematung.

Bara bertanya tanpa menunggu Arum menoleh padanya. "Maaf, Rum. Aku boleh tanya sesuatu?"

"Nggih, Mas." Arum mengangguk cepat, ingin segera menyudahi kebersamaannya dengan Bara. "Tanya apa?"

"Kamu beneran pacaran dengan Pak Gallendra?"

Arum mengerjap kaget. Butuh semenit untuknya bisa membuat saraf gerak di kepalanya bekerja kembali. Ia berangguk pelan. "Iya. Kenapa, Mas?"

"Seharusnya sebelum kamu menerima dia, kamu harus cari tau apa pun tentang laki-laki itu dulu, Rum."

Arum terhenyak. Nada menekan dalam suara Bara jelas memunculkan kerutan di kening gadis itu sekarang. "Maksud Mas Bara?"

"Yah, maksudku.." Bara terlihat susah mengatur kata. Bahkan, Arum melihat tangan lelaki itu di stir kemudi mengepal, menggenggam kuat bagian mobil itu seolah siap menghancurkan—entah atas dasar apa bersikap demikian.

"Kamu tau sendiri, Pak Gallend terkenal sebagai apa, kan?" Bara memandangi Arum lagi. Berbeda dengan raut ramah pria itu sebelumnya, kali ini Bara tidak segan memperlihat ketidaksukaannya. Arum tidak mengerti dan sebenarnya tidak ingin mengerti juga. Satu hal yang sangat ia pikirkan sekarang adalah segera turun dari mobil Bara, tapi lelaki itu malah menahan dan membicarakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal?

"Dia suka memainkan wanita. Belum tentu dia sebaik apa yang kamu kira, Rum. Jangan mudah digoda olehnya. Banyak laki-laki yang bisa bermulut manis ketika mereka mengincar target, dan setelah targetnya tercapai, besar kemungkinan target itu akan dibuang dan—" Bara terdiam, ada cemas dari gurat wajahnya yang berhasil Arum tangkap saat lelaki itu memandanginya dalam hening beberapa detik.

"Ma.. maaf, Rum. Aku enggak bermaksud mengatai kamu—"

Arum mengulum senyum paksa. Cairan panas sudah memenuhi sudut-sudut matanya, kata-kata Bara dengan intonasi yang sedikit meninggi berhasil menyakiti perasaan Arum.

Tapi lebih dari amarah karena pria itu secara tidak langsung mengatakannya akan dibuang seperti layaknya sampah, Arum lebih tersakiti dengan tuduhan Bara untuk Gallendra.

Kenapa Bara harus seperti ini? Ke mana Bara yang selalu ramah dan suka berpikir positif?

Gallend memang playboy, mantan pacarnya banyak, hampir semua pegawai D'Amore mengetahui itu. Tapi sepanjang Arum mengenalinya, tidak pernah ia melihat Gallend bersikap tidak sepantasnya pada perempuan. Siapa pun. Meski berulang kali Gallend berkata jahil ingin memesumi Arum, tapi sikap lelaki itu justru sangat menjaga—bahkan berlebih untuk sekedar kekasih pura-pura.

"Makasih udah mengantar saya, Mas." Arum mengerjap, suaranya agak serak namun tegas. Sarat ketidaksenangan. Tanpa menatap Bara lagi, gadis itu segera turun, menutup pintu mobil, dan berbalik cepat untuk memasuki halaman rumah. Baru tiga langkah ia berjalan, rasa kesal teramat sangatnya mendorong kuat gadis itu untuk kembali menuju Bara yang ternyata masih tertegun diam di dalam mobil, bahkan belum menyalakan mesin kendaraannya lagi.

"Maaf Mas Bara, tapi saya harus mengatakan ini." Bara membalas tatapan kecewa Arum dari balik jendela kaca mobil yang terbuka.

Meski sudah menarik napas untuk mengatur nada bicaranya agar tak terdengar menjengkelkan, tetap saja Arum tidak bisa menyembunyikan kegetiran dalam suaranya kemudian. "Bersama atau enggaknya saya dengan Mas Gallend, itu murni keputusan yang saya pilih sendiri. Saya akan terima apa pun akhirnya, karena itu adalah resiko dari pilihan saya. Dan," Arum merasa napasnya tercekat. "seperti apa pun gambaran tentang Mas Gallend di pikiran Mas Bara, itu hak Mas. Tapi saya juga punya hak membela apa yang menurut saya benar. Dan bagi saya, Mas Gallend enggak sejahat apa yang Mas Bara kira. Jadi, tolong jangan jelekan dia lagi di depan kekasihnya sendiri, kecuali.."

Sejujurnya, berat untuk Arum mengatakan kalimat berikutnya. "kecuali Mas Bara punya bukti perselingkuhan Mas Gallend. Itu pun cukup ditunjukkan aja, bukan berarti Mas Bara bisa memaksa aku untuk ambil keputusan sesuai apa yang Mas inginkan."

*

[Maaf, baru baca chat kamu. Tadi ada meeting. Sudah sampai rumah?]

Arum mendesah gusar, kembali memeluki lututnya sendiri dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Di dekat kakinya, alat komunikasi kecil berbentuk persegi panjang menampilkan layar menyala. Pesan Gallend masuk di sana.

Menghapus wajahnya yang basah karena air mata yang tidak berhenti mengalir setelah mengucapkan kata-kata tadi pada Bara, diraihnya ponsel itu dan segera membalas.

[Udah.]

[Kenapa cepat pulang?]

[Sakit perut.]

[Makan apa tadi?]

[Enggak, cuma nyeri sakit yang biasa dialami perempuan setiap bulan.]

Arum menggigit bibir, sebenarnya ragu menceritakan perihal pribadi seperti ini pada Gallend. Tapi, entah kenapa dengan mudahnya ia menjelaskan tanpa merasa malu. Bicara dengan Gallend cukup menghadirkan nyaman. Lagipula, pesan terlanjur terkirim. Bahkan, begitu cepat dibalas.

[Ooh, masih sakit sekarang?]

[Lumayan.]

[Udah minum pain killer?]

Arum mengerutkan kening.

[Tau dari mana harus minum obat itu?]

[Dari Kenzi.]

Gadis itu terkikik geli, lucu membayangi Gallendra menanyakan perihal menstruasi wanita pada sekretarisnya. Pasti Gallend mendapat tatapan aneh luar biasa dan godaan jahil dari Kenzi lebih dulu, alih-alih dapat jawaban.

Arum sedang mengetik balasan, ketika ia tersentak kaget saat layar ponselnya mendadak menampilkan nama 'Gallendra' disertai dering nyaring memenuhi kamar. Setelah berdeham menetralkan suara, jempol kanan Arum bergerak cepat menggeser icon hijau di layar.

"Kata Kenzi, lebih bagus lagi kalau kamu kompres perut pakai botol yang berisi air hangat." Suara Gallendra terdengar di ujung sana, menciptakan senyum Arum tanpa sadar.

"Iya, nanti aja. Aku enggak sanggup bangun sekarang." Jawab Arum.

"Kenapa kamu sakitnya sekarang, sih, Rum?" Berlebihankah jika Arum merasa ada kecemasan bercampur kesal yang tersirat dalam suara Gallendra?

"Aku enggak bisa temui kamu sekarang jadinya. Maaf, ya. Kenzi bisa ngomel dan sumpah serapahi aku kalau sampai meeting-nya batal. Tadi aku udah coba, tapi dia ngancam laporin aku ke polisi atas tuduhan penganiayaan karyawan. Mungkin karena meeting ini udah berapa kali aku suruh undur." Tawa Gallend terdengar renyah dan Arum merindukan itu.

Untuk pertama kali sejak mereka dekat, Arum mengakui dengan kesadaran penuh bahwa ia merindukan suara Gallendra. Bahkan.. bolehkah wujudnya juga Arum rindukan?

Arum tersenyum miris. Semua kerinduan ini jelas menghantarkan Arum pada satu kenyataan menampar, bahwa ia sudah jatuh sepenuhnya pada Gallendra. Melanggar janjinya sendiri di masa lalu yang selalu berharap agar tidak jatuh hati pada lelaki itu.

Arum membaringkan tubuh dengan posisi menyamping di atas ranjang. Ponselnya masih ditempelkan di telinga kanan, menunggu kembali suara lembut Gallendra yang akan mengiringi damainya irama hujan di luar—entah turun sejak kapan.

"Ya udah, kalau gitu habis kamu minum obat dan kompres perutnya, langsung istirahat, ya? Jangan bergadang, apalagi nonton drama korea. Kalau kamu ngeyel, aku ganti koleksi drama di laptop kamu dengan video khutbah."

Arum terkekeh kecil. "Ini juga mau istirahat, malah ditelepon."

"Habis kangen." Nada biasa Gallendra nyatanya memunculkan gelenyar mulas dalam perut Arum. Gadis itu tidak bersuara, hingga Gallend menyebut namanya lagi. "Arum?"

"Hmm?" gumam Arum, memilin ujung bajunya sendiri. Merasa gelisah dengan kelanjutan ucapan Gallendra.

"Kamu kangen aku juga enggak?"

"Aku ngantuk, Mas. Udah dulu, ya."

Decakan Gallend terdengar. "Sebentar. Pertanyaan terakhir, aku janji."

"Apa lagi?"

"Kamu tadi pulang naik apa? Kan, sakit perut. Bisa bawa motor sendiri? Atau pesan ojek online?"

"Motornya aku titipin di hotel. Aku di antar.." Arum tercekat, ragu melanjutkan. Tapi, desakan Gallend membuatnya menjawab juga setelah mendesah gusar.

"Sama Mas Bara." Suara Arum memelan, tapi ia yakin Gallend mendengar. Hampir satu menit waktu dilalui tanpa ada yang saling bicara. Hanya rintik hujan membasahi atap dan tanah yang terdengar dalam selingan jeda.

"Ooh."

Hati Arum mencelus dalam sebuah kubangan perih. Hanya itu reaksi Gallendra?

"Aku tutup dulu, ya. Aku masih harus lanjut kerja." Bahkan sebelum Arum bersuara untuk menyampaikan persetujuan, panggilan terputus. Gallend yang mengakhiri.

Dengan bibir mencebik, gadis itu memandangi ponselnya. Bingung. Sepertinya, Gallend tidak peduli Arum diantar oleh siapa, termasuk Bara.

Bahu Arum terkulai lemah. Gadis itu mengerang kecil, mengacak rambutnya sendiri hingga ponselnya terlempar asal ke atas kasur. Untuk pertama kalinya juga, Arum menyesali apa yang hatinya rasakan pada Gallendra malam ini.

Bisa-bisanya ia terlampau bahagia, sementara hubungan palsu yang terjalin antara mereka masih menjadi tembok besar dan kokoh yang jelas... tidak akan bisa Arum robohkan. Sekali pun dirinya sudah mencintai Gallendra.

PING!

Notifikasi chat menyentak Arum, hampir saja membuatnya terkena serangan jantung. Malas-malasan ia membuka pesan yang masuk ke whatsapp-nya dan tercengang.

[Seneng banget ya ditebengi sama mantan gebetan?]

Senyuman lebar Arum terbit.

Malam itu, ia tidak tahu apa maksud sindiran Gallendra. Tapi, Arum tidur nyenyak setelah yakin Gallend tidak marah padanya.

Sayang, pemikiran Arum bahwa dirinya akan mulai menjalani hari baik setelah yakin akan perasaannya untuk Gallendra, terpatahkan dan berganti dengan kesenduan ketika esoknya Rumi mengirimkan link sebuah akun Instagram milik seseorang.

Seseorang yang tidak Arum kenal. Tapi, pasti publik figur karena memiliki centang biru. Akunnya tidak terkunci sehingga Arum dengan mudah melihat sebuah postingan video dengan caption 'Reuni' yang ditambahi dua tanda hati berwarna hitam.

Sekilas tak ada yang aneh, hanya cuplikan video khas sebuah pesta. Si pemilik akun adalah wanita cantik yang wajahnya muncul di awal, menyapa riang dalam bahasa inggris, kemudian fokus kamera dibalik arah dan saat itulah wajah-wajah yang Arum kenali tampak di sana. Dariel, Virgo, Hakim, bahkan Gallendra. Saling berbincang dan tertawa.

Mulanya, Arum sungguh tak merasa cemas karena tahu Gallendra mungkin menghadiri pesta salah satu temannya yang merupakan selebritas, tapi komentar-komentar di postingan tersebut membuat degub jantungnya melemah.

Mootiara29 Lin Zhi, are you dating again with Gallendra?

Syareena_Halim Oh, God! Seneng banget lihat kalian sama-sama lagi!

[1] MoU : Memorandum of understanding. Dokumen perjanjian kerja sama dalam bisnis.

===

Punten..

Bulan baru, konflik baru ya gengs.. *lari*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro