Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 24] Hanya Untuk Arum

"Maaf, Mas Dariel." Arum menunduk malu setelah mundur selangkah-menjauhkan diri dari Gallendra.
Beberapa meter di kanannya, berdiri tiga orang lelaki dan satu perempuan-sekretaris Gallend- yang baru turun dari mobil lainnya.

Laki-laki berperawakan sedikit lebih pendek dari Gallendra, mengangkat sebelah alisnya menatap Arum dari jauh. "Kok, kamu yang minta maaf? Kamu enggak salah, Rum. Gallend aja yang lebay. Pacarnya kepentok dikit aja, udah ketar-ketir hatinya!" Lelaki yang dikenali Arum sebagai Dariel, pria paling heboh di antara ke empat pria yang lain, mendekati Arum.

Satu tangan Dariel sudah terangkat ingin memeluki bahu gadis mungil di hadapan Gallendra, tapi tangannya kalah cepat dengan Gallendra yang langsung menarik lengan Arum agar gadis itu berdiri begitu dekat dengannya lagi.

Dariel mendengkus. Kesal, terlambat menangkis gerakan Gallendra-si posesif keparat yang tak ada guntur tak ada badai, tiba-tiba saja memperkenal kekasih barunya tepat beberapa menit sebelum mereka berangkat dari kantor Gallend menuju panti. Sialnya lagi, kekasih bocah tengik itu adalah sosok yang pernah menjadi incaran Dariel tempo hari saat dirinya dan para sahabat makan siang di resto D'Amore Hotel.

"Pokoknya, Rum. Kamu siap-siapin diri aja. Kalau kamu sampai tergores seupriiit aja, Gallend bisa heboh sekecamatan!" Dariel mendumel dengan ujung jempol tangan yang menyatu pada ujung telunjuk.

Mendengar itu, Arum tersenyum canggung. Senyum yang segera berganti dengan tarikan napas ketika melihat lelaki berkacamata di belakang Dariel menabok kuat punggung sahabatnya yang baru saja menasihati Arum-sampai si korban mengumpat kesal.

"Banyak omong lo! Orang jomlo diam aja, deh!"

Dariel merengut, kemudian beralih memandangi Kenzi yang masih berdiri di dekat mobil, terlihat sibuk mengangkat kardus berisi banyak mainan. Sedang di sampingnya, berjalan sahabat Gallend lainnya yang ikut membantu mengangkat kardus juga.

"Kenzi sayaaang, aku dinistakan Virgo Baboon." Dariel melapor dengan gaya kekanakan, membuat Virgo memutar bola mata dan Gallend berdecih kesal.

"Menistakan sesama jenis sendiri enggak apa-apa, Pak Dariel." Sahutan Kenzi menciptakan tawa para pria bersahabat-minus Dariel yang cemberut.

"Mending lo bantu angkat barang-barang, deh! Sini!" Tanpa sempat mengomel lagi, kerah leher Dariel sudah ditarik paksa oleh Virgo sehingga keduanya sekarang sudah berjalan menuju bagasi mobil Gallendra.

Gallend mengulurkan tangan kanannya pada Arum, dibalasi kerutan kening oleh gadis yang ditatapnya.

"Tas kamu."

"Hah?"

Belum juga Gallend menjelaskan maksud perkataannya, sling bag yang tersampir di bahu kanan Arum diambil dalam satu gerakan cepat oleh Gallend. Begitu cepat, sampai Arum mengerjap-ngerjap lantaran terkejut. Dan terkesima dengan kecepatan tangan Gallendra.

"Masuk duluan aja sama Kenzi, aku sama yang lain angkat barang-barang dulu." Gallend berujar sembari meletakkan tas milik Arum di bahunya sendiri.

"Enggak mau. Di sini aja. Aku mau nungguin."

Arum tidak tahu, dari balik bagasi Dariel mengarahkan bola matanya ke atas saat mendengar nada suara Arum yang seolah kentara sekali takut ditinggal. Ternyata bukan hanya Gallend, Arum pun sama lebay-nya.

'Dasar pasangan bucin!' gerutu Dariel dalam hati, seraya dengan wajah tertekuk diambilnya kardus terkecil di antara kardus-kardus yang lain. Ia harus cepat memuluskan niatnya, sebelum Virgo dan Hakim, yang tengah saling bicara, menggeplaknya karena ia ketahuan tidak mau mengangkat barang berat.

"Ya udah, tunggu bentar, ya?"

Arum mengangguk atas permintaan Gallend.

"Kenzi, jagain pacar saya."

"Siap, Pak! Ada puting beliung pun, pacar Bapak bakal aman asal gaji saya di kasih dua kali lipat bulan ini, ya?"

Arum tak bisa menahan diri untuk tertawa saat mendengar jawaban seloroh Kenzi yang kini berdiri di sebelah kirinya. Gallend menghela napas melihat kelakuan sang sekretaris, lalu berjalan menyusuli ketiga sahabatnya.

Arum menawarkan diri mengangkat salah satu kardus yang di bawa Kenzi. Tentu dengan senang hati, perempuan berambut sebahu itu memberikan kardus berisi snack dan minuman botol kepada Arum-mumpung Gallendra sedang tidak melihat.

Selama beberapa detik Arum disibukkan dengan memperhatikan curhatan Kenzi tentang betapa susahnya menjadi sekretaris Gallendra yang galak, suka main perintah seenaknya, tapi kadang sering memberikan bonus banyak bila proyek berhasil berjalan lebih dari harapan.

Ketika Arum hendak merespon dengan menanyakan sudah berapa lama Kenzi bekerja pada Gallend, sesuatu di belakang Kenzi membuat Arum menunda ucapan. Bibirnya terkatup kembali, sedang matanya menyipit. Mencoba melihat lebih jelas di bawah teriknya cahaya matahari siang.

Arum mengerjap sekali, berpikir bahwa ia salah lihat, tapi sosok itu nyata dan berada di dalam sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan depan panti.

"Kenzi, sebentar, ya." Arum memberitahu Kenzi sesaat, dan sebelum menunggu Kenzi menanyakan keheranannya, Arum sudah berjalan lebih dulu mendekati pagar panti yang terbuka penuh.

Tepat, ketika dirinya keluar selangkah dari pagar, sosok itu memalingkan wajah, menutup jendela kaca mobilnya dan menjalankan kendaraan menjauhi panti.

Arkana?

Arum menggigit bibir. Ia sangat yakin itu Arkana. Tapi, kenapa lelaki itu bisa ada di daerah sini? Kenapa bisa ada di Yogyakarta?

Arum tidak mengerti.

Ia lihat persis, bagaimana tadi Arkana juga jelas-jelas melihat ke arahnya-tidak, bukan. Bukan pada Arum. Tapi untuk..

Arum menoleh ke belakang. Menatap Gallend dan teman-temannya yang sedang saling bergurau.

Benar. Tatapan Arkana tadi jelas tertuju pada keempat lelaki itu.

Aneh. Apa Arkana sahabat Gallend juga? Jika iya, kenapa dia tidak turun dari mobil? Kenapa tidak menghampiri Gallendra dan lainnya?

Ada terlalu banyak kata 'mengapa' memenuhi benak Arum, hingga gadis itu tersentak kaget ketika Gallend berseru dari jauh.

"Sayang?"

Menoleh cepat, antara terkejut karena tiba-tiba muncul suara saat ia sedang bingung-bingungnya dan merasa malu karena panggilan Gallend diucapkan di depan teman-temannya.

"Kamu ngapain di situ? Lihat apa, sih?" Gallend bertanya. Di belakangnya, ketiga sahabat lelaki itu dan juga Kenzi sudah menaiki anak tangga dari teras rumah.

"Oh, eng-enggak." Arum menggaruk leher. Cemas dan bimbang. Haruskah ia beritahu Gallend?

Belum sempat Arum menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, Gallend sudah berdiri di dekatnya.

"Ayo, masuk." Gallend mengajak dengan satu tangan terulur pada Arum.

Tak ingin Gallend menyadari apa yang tengah mengusik pikiran Arum, gadis itu mengangguk lemah. Membiarkan Gallend menautkan jari-jemari tangan kanannya yang bebas dari barang untuk mengisi celah-celah jari tangan kiri Arum, sebelum keduanya melangkah memasuki rumah sederhana di hadapan mereka.

*

Arum mendesah lega. Ia bersyukur dan bahagia sekali diajak Gallend mengikuti kegiatan di panti seperti ini.

Melonjorkan kaki yang terasa sakit, Arum tak lelah memerhatikan Gallend dan ke tiga sahabatnya bermain sepak bola di halaman belakang panti yang cukup luas. Tadi, Arum dan Kenzi juga disibukkan membacakan cerita-dari buku-buku pemberian Gallend-untuk anak-anak perempuan di ruang keluarga. Tapi saat anak-anak itu antusias mengajak Kenzi dan Arum bermain game yang harus kejar-kejaran, Arum merasa pegal luar biasa. Jadi, dirinya izin beristirahat sebentar. Dan di sinilah ia sekarang, duduk di bangku yang menghadap taman belakang.

Ingatan Arum kini terbayang pada Arkana lagi. Dia masih menebak-nebak alasan apa yang membuat Arkana bisa ada di sana tadi, ketika suara Gallendra yang entah sejak kapan sangat dihafalnya, terdengar. Membuat Arum terperanjat dan menoleh ke asal suara.

"Kamu enggak mau main lagi?" Gallend bertanya, sembari mendudukkan diri di sebelah Arum.

"Aku mau banget, tapi kakiku pegal sekarang, Mas."

Bukannya menatap khawatir, Gallend malah menyunggingkan senyum jahil khas miliknya.

"Mau aku pijat?"

Mata Arum membeliak. Menatap Gallend ngeri. Kenapa, sih, pikiran Gallendra tidak pernah jauh-jauh dari sentuhan fisik?

"Mas Gallend kalau mesum itu lihat-lihat tempat juga, dong. Masa' di depan adik-adik panti?"

"Jadi kalau cuma kita berdua, aku boleh mesum?"

"Ya, enggak juga!"

Alih-alih minta maaf, Gallend malah tertawa kecil. Pandangannya yang semula fokus pada Arum beralih untuk menatap adik-adik panti yang kini berseru kegirangan saat Dariel, Virgo, dan Hakim memberikan mereka roti masing-masing satu. Mereka semua sudah duduk bersama membentuk lingkaran di atas rerumputan taman yang dipenuhi banyak bunga.

"Aku dulu pernah tinggal di sini, Rum." Sebuah pernyataan dari Gallendra, membuat kepala Arum bergerak cepat, menatapnya.

Beberapa detik keduanya terdiam. Sibuk berkutat oleh pemikiran masing-masing.

Gallend, dengan keinginan untuk menceritakan lebih banyak pada Arum, tetapi ada satu sisi dalam dirinya tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan segala kebenaran yang pernah terjadi dalam hidup lelaki itu.

Dan Arum, dengan harapan Gallend bersedia menjadikan dirinya sebagai tempat untuk bercerita. Sebuah harapan yang diam-diam tanpa bisa Arum cegah, menimbulkan rasa haru baginya.

"Oh ya? Pasti menyenangkan. Mas Gallend bisa punya banyak teman dan bisa main sama-sama terus seperti adik-adik panti sekarang."

Gallend tersenyum. Posisi mereka yang saling menyamping, membuat Arum tidak sadar sama sekali bahwa senyuman itu adalah jenis senyum miris yang sejujurnya tak ingin Gallend tunjukkan pada siapa pun. Kecuali pada dirinya sendiri. Bahkan orang tua angkatnya pun tidak pernah tahu.

"Menyenangkan memang. Tapi, ada kalanya kesepian juga."

Arum tertegun. Sebilah sembilu seakan menikam jantungnya saat mendengar nada lirih yang tersirat dalam nada suara Gallendra. Meski lelaki itu membungkus kecemasan dalam sebuah senyuman yang kini mengarah penuh pada Arum.

"Karena setiap harinya, aku dan teman-temanku dulu selalu cemas kalau sewaktu-waktu kami berpisah saat ada orang tua yang datang buat adopsi salah satu dari kami. Dan kamu percaya enggak, aku sering banget merasakan kecemasan itu dulu? Bahkan bukan hanya sekali, tapi berkali-kali."

Arum mengerjap sekali, karena tidak tahan menanggung cairan panas yang telah berkumpul di pelupuk mata kanannya, hingga cairan itu menetes turun membasahi pipi. Gadis itu menunduk, tidak ingin Gallendra menyadari dirinya menangis.

Arum tidak tahu. Tidak mengerti.

Kisah yang Gallendra ceritakan barusan seperti bahasa tersirat yang menunjukan jelas bahwa ada begitu banyak kekelaman yang harus lelaki itu lalui untuk menuju saat ini.

Arum menarik napas, bahkan hampir tanpa suara. Ia berniat menanyakan kelanjutan cerita Gallendra tapi, seorang wanita berusia lima puluh tahunan tiba-tiba menghampiri mereka.

"Gallend, maaf mengganggu. Ibu boleh minta tolong sebentar?" Wanita itu tersenyum tidak enak pada Gallend dan Arum. Arum menanggapinya dengan sebuah senyuman ramah. Wanita itu adalah Bu Wulan, ketua sekaligus pemilik panti asuhan 'Gemilang Kasih' yang saat Gallend perkenalkan pada Arum tadi, menunjukkan sikap yang begitu dekat selayaknya ibu dan anak pada Gallendra. Setelah Gallend bercerita, Arum tahu mengapa keduanya terlihat sangat mengasihi satu sama lain. Pasti sejak kecil, Bu Wulan menjadi pengganti sosok ibu kandung Gallendra.

Ada perih yang Arum rasakan, bila mengingat Gallend tumbuh dalam suasana tanpa keluarga yang sesungguhnya. Tapi, perih itu juga bercampur syukur yang tiada tara karena Arum yakin, Bu Wulan pasti menciptakan suasana kekeluargaan yang kental sebisa yang dirinya mampu untuk setiap anak-anak panti yang diasuhnya, termasuk Gallendra.

"Kamu duduk di sini aja dulu, ya." Suara Gallendra membuat Arum terkesiap. Ia terlalu larut dalam pikiran sampai tidak tahu perbincangan apa yang Gallend bicarakan dengan Bu Wulan.

"Aku ke belakang dulu, bantu Ibu benerin selang kamar mandi. Biar Kenzi aja yang main sama anak-anak, ya. Aku enggak mau kaki kamu tambah pegal kalau kamu paksa jalan."

Arum mengangguk pelan. Terenyuh ketika telapak tangan Gallend mengusap kepalanya lembut. Seolah menyampaikan jutaan kasih yang tidak Arum mengerti apa maksudnya. Karena sekali lagi, ia harus mengingatkan diri bahwa hubungan mereka hanya pura-pura dan.. sementara.

"Sebentar ya, Sayang." Ujar Gallend lagi. Dijawab Arum dengan anggukan patuh.

Sepeninggal Gallend dan Bu Wulan, gadis itu mendesah gusar.

Entah sejak kapan, Arum yang sejak awal membenci panggilan kasih dari Gallendra untuknya, kini mulai menyukai sebutan 'Sayang' itu.

Salahkah?

Salahkah bila Arum berharap panggilan tersebut hanya Gallend ucapkan untuk dirinya saja?

Aku kok mau nangis, ya? Wkwkw.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro