Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 23] Tentang Gallendra

"Beneran enggak apa-apa kita makan di sini? Atau mau cari restoran aja?"

Arum sedang melepas seatbelt ketika Gallend bertanya, ia menoleh pada lelaki itu sesaat sebelum mengalihkan pandang melewati kaca mobil ke sebuah warung bakso yang baru saja mereka datangi. Di pesta tadi, usai mendengar pembicaraan Gallend dan teman-temannya, Arum menjauhi kerumunan tamu dan memutuskan duduk termenung hingga beberapa menit lamanya di luar ballroom hotel. Butuh usaha keras untuknya menenangkan diri dari sesuatu yang sangat tidak ia mengerti.

Rasa tidak nyaman ketika mendengar mantan Gallend menanyakan keberadaan lelaki itu. Perasaan terusik saat mengetahui Gallend bahkan tidak mencoba mengalihkan pembicaraan, juga rasa marah ketika mungkin Arum hanya dianggap sebagai salah satu bentuk keisengan Gallend semata dari sudut pandang salah satu teman Gallend.

Cukup lama Arum terbelenggu dalam segala resah, hingga Gallend tiba-tiba datang dan sialnya, menunjukkan sikap terlalu kentara cemas hanya karena Arum tak kunjung muncul di hadapannya. Pria itu sempat mengajak Arum mencicipi makanan pesta, tapi Arum menolak keras dan malah meminta pulang sendiri. Arum sudah menyiapkan berbagai alasan yang masuk akal sebagai permintaan maaf tidak dapat menemani lelaki itu di pesta temannya lebih lama, tapi Gallend justru memintanya menunggu sesaat agar ia bisa berpamitan pada teman-temannya.

Satu hal yang mengusik pikiran Arum di sepanjang perjalanan tadi, adalah kebiasaan Gallend yang kini baru ia sadari. Bahwa sejak awal, meski pun mengesalkan karena suka menjahilinya, Gallend tak pernah memaksakan kehendaknya pada Arum. Dan entah mengapa, ada sebahagian dari diri Arum yang mengakui bahwa lelaki itu kerap berusaha membuatnya bahagia dan nyaman.

Seperti beberapa saat lalu, entah karena peka dengan ketidaknyamanan Arum atau memang sedang ingin mengisi perut yang kelaparan, Gallend mengajaknya makan malam di luar alih-alih memaksakan inginnya  menikmati hidangan pesta yang gratis.

Sekali lagi, usaha keras Gallend untuk membuat Arum bersemangat lagi terpancar ketika lelaki itu menanyakan Arum ingin makan apa. Saat Arum menjawab bakso dengan senyuman terpatri di bibir, lelaki itu membawanya ke warung bakso langganan lelaki itu. Tapi, saat mereka tiba di salah satu warung di daerah Cokrodiningratan, Gallend ragu. Mungkin ragu karena melihat ramainya pengunjung.

"Enggak apa-apa, Mas. Tempatnya rame, pasti baksonya enak." Jawab Arum akhirnya. Ia menoleh pada Gallend lagi dan tertegun saat mendapati lelaki itu tersenyum menatapinya lembut. Hanya dalam sepersekian detik, telapak tangan lelaki itu sudah membelai pucuk kepalanya.

"Udah hawa banget, ya?"

Arum berdeham, mencoba menekan debar lirih yang mulai jumpalitan dalam dada.

"Ya udah, ayo." Suara Gallend membuat Arum terkesiap, susah payah dirinya mengangguk. Lalu bergerak untuk beranjak turun, namun..

DUK!

Arum meringis karena dahinya terjedut kaca mobil. Sebelum ia memegangi bagian wajahnya yang sakit, jempol tangan Gallend sudah lebih dulu mengusapinya sembari lelaki itu mendumel.

"Hati-hati turunnya. Pintunya dibuka dulu, dong, Sayang. Main loncat aja kayak kucing."

Arum memberengut menyadari nada geli yang tersirat dalam suara Gallend. Salah siapa yang membuat Arum tidak fokus? Lelaki itu malah menertawainya, padahal dialah biang keladi dari ketidakwarasan Arum sekarang.

Keduanya turun dan memasuki warung. Gallend menuntun Arum dengan menggenggam jemari gadis itu saat melewati deretan meja yang sudah dipenuhi banyak orang. Mungkin karena malam minggu dan cuaca dingin yang tengah menyelimuti Yogya, warung 'Bakso Mang Jaka' ini ramai  dikunjungi. Harum kaldu bakso yang menguar menambah ketidaksabaran Arum untuk segera mengecap jajanan lokal itu.

"Eh, Mas Gallend, toh! Udah lama ndak datang kemari, Mas." seorang lelaki paruh baya yang baru saja mengantar pesanan pengunjung yang duduk di sebelah Arum dan Gallend, menyapa Gallend ramah. Membuat Arum menoleh bingung saat melihat keakraban yang ditunjukkan kedua lelaki itu kemudian.

"Iya, nih, Mang. Udah lama banget. Saya pesan kaya biasa ya, Mang Jaka."

"Oh, beres! Bakso ndak pake mi sama jus jeruk, kan?"

Gallend mengangguk.

"Kalau pacarnya Mas Gallend mau pesan apa, Mbak?"

Arum tidak bisa menahan sebersit rasa senang yang menyergap kala mendengar sebutan lelaki paruh baya itu untuknya.

"Kamu mau pesan apa, Rum?"

Malu, karena mungkin Gallend menangkap dirinya baru saja tersipu malu, Arum berkata terbata. "Ba—bakso mi sama es teh aja."

"Oke, Mbak. Yowhis, saya buat dulu, yo, Mas Gallend. Mohon ditunggu sebentar. Lagi ramai banget soalnya iki."

Tawa renyah Gallend terdengar, tanpa sadar membuat Arum tersenyum juga. Ia senang mengetahui fakta begitu hangatnya sikap lelaki itu pada orang lain. Ramah tamah yang sederhana, tanpa dibuat-buat, dan tanpa bisa Arum cegah, telah diam-diam mengalirkan perasaan damai dalam hatinya.

"Siap, Mang! Yang penting raciknya enak, ya, Mang. Biar pacar saya makan yang banyak."

Arum memelototi Gallend yang hanya mengulas senyum simpul padanya. Dengan gelengan kepala, lelaki yang Gallend sapa Mang Jaka itu menyetujui permintaan Gallendra, sebelum kemudian berlalu menuju gerobak tempatnya menyiapkan pesanan.

Sepeninggal Mang Jaka, Arum memerhatikan sekelilingnya dan terkesiap kala dering ponsel Gallend terdengar. Kening lelaki itu berkerut saat matanya menatap layar. Ia menunjuk ponselnya sendiri saat bicara pada Arum.

"Dari klien penting, aku angkat dulu, ya, di luar? Di sini takut berisik."

Arum mengangguk. Matanya memerhatikan punggung Gallend yang bergerak menjauh. Sialnya, ia tidak mengerti kenapa ada rasa tidak rela ditinggal lelaki itu sebentar saja.

Arum menghela napas dan memutuskan membuka media sosialnya untuk mengusir perasaan gelisah yang ia benci ini. Sudah sepuluh menit berlalu, Gallend belum juga muncul. Tapi, Mang Jaka sudah membawa dua mangkuk bakso di atas meja Arum. Lelaki paruh baya itu mempersilakan Arum untuk makan.

Arum tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Tapi, seolah ingin menjadi jaksa yang menginterogasi, Mang Jaka justru mengajaknya berbicang.

"Udah lama ya, Mbak, pacaran sama Mas Gallendnya?"

Arum tertegun. Bingung bagaimana menjawab. Belum sempat sepatah kata pun terpikir di benaknya, Mang Jaka sudah lebih dulu melanjutkan perkataan seolah tengah bercerita sesuatu yang menurutnya penting dijabarkan.

"Ini pertama kalinya Mas Gallend bawa cewek ke sini, lho. Biasanya sama teman-teman cowoknya saja. Semoga langgeng terus sampai menikah, ya, Mbak. Saya senang kalau Mas Gallend bisa punya kehidupan yang bahagia. Orang baik seperti dia pantas mendapatkannya."

Merasa tertarik dengan pembicaraan, Arum tersenyum ramah. "Bapak udah kenal lama dengan Mas Gallend, ya?"

"Waduh, sudah lama bener! Dari Mas Gallend masih kecil, Mbak." Mang Jaka menelengkan kepala, seolah mengingat-ingat. "Kayaknya dulu umurnya masih sepuluh tahun, deh, pas kerja sama saya."

Satu alis Arum terangkat. "Kerja?"

"Iya. Tiap pulang sekolah dulu, dia bantu saya jualan bakso. Gajinya dipakai untuk bantu adik-adik pantinya."

Panti?

Arum tak pernah menyangka hal itu. Fakta mengejutkan apalagi yang akan ia ketahui tentang Gallend?

Gallend pernah menetap di panti?

"Mas Gallend itu rajiiin buanget dari kecil. Kelihatan calon-calon orang berhasil, mah. Wong, ndak pernah ngeluh sama sekali tentang hidupnya. Dia kerjai apa aja yang halal buat cari nafkah, padahal masih kecil. Katanya, dia harus kerja keras buat bantu Ibu panti jaga adik-adiknya. Makanya, saya enggak heran kalau beliau bisa sesukses sekarang." Ada kebanggaan besar yang tercetak nyata di wajah Mang Jaka. Pendar matanya menunjukkan ia tengah mengingat-ingat masa-masa hebat yang pernah Gallendra lalui—mungkin.

Dan, untuk kali ini.. Arum tidak bisa menolak perasaan terenyuh yang larut memenuhi dada. Menghantarkannya untuk semakin mengagumi Gallendra—meski tak pernah ia utarakan.

Jadi, perjuangan Gallendra begitu berat hingga bisa berada di titik sekarang?

"Hayoo, Mang Jaka!" Suara Gallend menyentak Arum, membuatnya menoleh cepat pada Gallend yang sudah kembali duduk di depannya.

"Ngobrolin apa sama pacar saya? Enggak lagi digoda, kan?" Gallend bergurau, tertawa kecil pada Mang Jaka. Tapi tawa lelaki itu tak mampu menulari Arum karena secercah rasa pedih menggerogoti hatinya sekarang. Mengingat bagaimana sosok kecil Gallendra yang bahkan tak pernah ia kenal wujudnya, bertahan hidup dalam ketidaksempurnaan keluarga.

Kenapa Gallend tak pernah bercerita padanya? Tapi, siapalah dia. Hanya seorang kekasih sementara yang tak punya hak.

"Yo ndaklah! Mana berani, toh, Mas? Saya bisa dijadiin bakso urat sama istri sendiri. Lagian, saingannya Mas Gallendra yang masih muda, guanteng, kaya lagi, wis pasti kalah sebelum maju berperang."

Lagi-lagi Gallendra mengulas tawa, hingga ketika Mang Jaka sudah berlalu pergi melayani pengunjung yang lain bersama para pegawainya, Gallend menatapi Arum dengan senyuman yang kesekian kalinya membuat gadis itu salah tingkah.

Kepala Arum menunduk, tidak berani melihat manik hitam Gallendra, dan memilih mengaduk-aduk bakso miliknya sendiri.

"Gimana baksonya? Enak, kan?" Gallend bertanya, dijawab Arum dengan gelengan.

"Aku belum coba."

"Kok, enggak di makan terus?" nada kesal dalam suara Gallend membuat Arum mengangkat wajah cepat. Ia gelisah, apakah lelaki itu marah?

"Kamu 'kan belum makan dari di pesta tadi, Rum. Nanti asam lambung kamu kambuh. Ayo, makan terus." Mengabaikan bakso miliknya sendiri, Gallend mengulurkan tangan untuk menusuk satu daging bakso dengan garpu di mangkuk Arum.

"Buka mulutnya."

Arum terpaku. Bingung, karena tiba-tiba Gallend hendak menyuapi.

"Aku bisa sendiri."

Gallendra berdecak. "Nurut aja. Kamu harus terlatih mesra-mesraan sama aku."

"Di sini enggak ada kawan-kawanku atau pun Mas Ga—" kata-kata Arum tak pernah menemui akhir karena Gallendra sudah lebih cepat menyumpal mulutnya dengan bakso tepat ketika bibirnya terbuka saat tengah bicara tadi.

Terpaksa, Arum mengunyah daging yang sudah memenuhi mulut. Dengan wajah pura-pura sebal, pipi gadis itu menggembung karena sibuk melahap bakso.

"Pinter banget, sih, Sayang." Gallendra tersenyum lebar, menatapi Arum dengan satu tangan yang bebas menopang dagu sementara tangan kanannya kembali menyendok bakso berikutnya di mangkuk Arum.

"Makan yang banyak, ya. Habisi. Kalau kurang nanti aku pesenin lagi."

*

Arum tak pernah menyangka, sebulan menjadi waktu yang cukup untuk membuatnya meragu dan bertanya-tanya tentang satu hal pada hatinya sendiri.

Bahwa.. apakah mungkin posisi Bara yang selama ini menetap di hatinya, kini perlahan berganti dengan keberadaan Gallendra?

Mungkinkah? Jika iya, secepat itukah? Atau jangan-jangan ini hanya sensasi terbiasa karena Arum sering menjalani harinya bersama Gallendra? Sensasi yang kelak pasti akan lenyap dengan sendirinya, karena memang bukan didasari oleh sebuah rasa cinta?

Tapi..

Arum jelas sadar satu hal.

Bersama Gallend, Arum tidak bisa memungkiri dirinya bahagia. Satu afeksi yang membuatnya sedikit demi sedikit merasakan nyaman berada di sisi Gallendra.

Sepanjang bersama lelaki itu, ada satu perubahan besar yang Arum perhatikan. Gallend tidak pernah melirik wanita lain—setidaknya di depan Arum yang jelas-jelas hanya seorang kekasih palsu. Tidak tahu apakah Gallend malah bersikap mata keranjang di belakang. Sekali pun benar, apa hak Arum untuk melarang?

Arum mendengkus. Memijit pelipisnya sendiri, kesal karena pikiran-pikiran mengganggu itu kembali merasuki benaknya. Setelah semalam ia tidak bisa tidur karena menebak-nebak apakah selama bersama dengan Arum, ada wanita lain yang diam-diam Gallend sukai? Atau mungkin, lelaki itu justru masih menaruh harap pada mantannya? Siapa namanya? Linda? Lin Ji? Malin?

Arum bergeleng kuat. Merutuki dirinya sendiri yang pemikirannya sudah melantur ke mana-mana.

"Kamu kenapa, sih?"

Arum tersentak dan menoleh cepat pada asal suara. Wajah bingung Gallendra terpatri di sebelah kanannya. Kedua tangan lelaki itu masih fokus mengemudikan stir.

Berdeham untuk menetralisir gugup, Arum menjawab dengan gelengan kepala. Terlalu banyak pikiran ngasal di kepalanya, hingga ia tidak sadar Gallendra sudah memarkirkan mobilnya di sebuah rumah sederhana yang menjadi tujuan keduanya sejak awal.

Bersama para sahabat lelaki itu, Gallendra mengajak Arum mendatangi sebuah panti asuhan di daerah Jetis pada akhir pekan. Gallend bilang, ini adalah adalah salah satu kegiatan yang sering ia dan para sahabatnya lakukan, paling tidak satu kali setiap bulan. Tentu, Arum tertarik sekali mengunjungi panti.

Tapi, karena semula mengira salah satu teman Gallend adalah lelaki di pesta yang sempat mengungkit tentang mantannya Gallend, Arum ragu ikut. Syukurnya, saat bertemu tiga sahabat Gallend yang kemudian diketahuinya bernama Dariel, Virgo, dan Hakim, Arum lega karena ketiga orang itu adalah orang yang berbeda. Mereka justru bersikap begitu ramah.

Deru halus mobil telah berhenti.
Menyadari Gallendra sudah bergerak turun dari mobil, Arum cepat-cepat mengikuti. Namun, geraknya yang terlalu bersemangat dan takut ditinggal membuat kakinya hilang keseimbangan sehingga tidak bisa menapak dengan benar di paving block halaman rumah. Hidungnya hampir saja mencium paving jika Gallend tidak cekatan menahan tubuhnya dalam pelukan.

Arum mengerjap-ngerjap kaget, terutama kala telapak hangat tangan Gallend menyentuh pipinya. Menepuk-nepuk pelan dengan wajah menahan kesal entah karena apa. "Pantinya enggak bakal lari, Sayang. Kamu ini hati-hati dikit bisa enggak, sih? Suka banget jatuh sendiri. Kalau luka gimana? Di mobilku enggak ada kotak P3K."

Arum menunduk takut. Baru kali ini, suara Gallend terdengar begitu menakutkan. Gadis itu menggigit bibir, hanya dalam sepersekian detik matanya dipenuhi cairan panas hingga ia yakin sebentar lagi dirinya mungkin akan menangis jika saja tidak ada suara lain yang menyentaknya dan juga Gallendra.

"Pengumuman! Pengumuman! Harap sadar, ya, di sini ada orang lain juga selain kalian! Jangan hanya merasa dunia milik berdua, dong!"

Hayooo, tebak siapa itu yang ganggu momen Gallend-Arum? Ada yang nungguin mereka enggak sih? Kasih tahu dong, biar aku makin semangat nulisnya wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro