[Stage 20] Hadiah Kedua
Helaan napas Arum sebelum gadis itu mulai memutar spaghetti-nya dengan garpu, membuat Gallend berhenti mengunyah. Mengangkat wajah, ditatapnya Arum dengan satu alis terangkat.
"Kenapa?"
"Mesti banget ya di sini, Mas?" Arum melontarkan tanya balik sebagai jawaban atas pertanyaan Gallendra. Mengikuti arah pandang gadis itu yang mengedar ke sekeliling resto, Gallend mengangkat bahu.
"Mau gimana lagi? Kamunya juga sok sibuk, sih. Terpaksa kita makan di resto hotel kamu, kan."
"Bukan sok sibuk."
Sembari menyendok nasi kebulinya, bibir Gallend menyunggingkan seutas senyum. Ia hanya bermaksud bercanda, tapi Arum selalu terpancing kesal dan memang itulah yang Gallend harapkan.
Pipi gadis itu akan senantiasa menggembung, kadang telinganya ikutan merah, karena amarah. Amarah yang biasanya hanya terjadi dalam waktu singkat. Mengenal Arum sebagai kekasih 'pura-pura' selama hampir seminggu ini, Gallend jadi tahu kebiasaan gadis itu.
Penyuka susu, Pororo, tidak pernah bisa marah lama-lama, dan telinganya akan memerah tiap kali merasa malu atau pun marah. Satu lagi, kebiasan mencebikkan, mengerucutkan, dan menggembungkan bibir seperti tadi.
Selama lima hari ini pula, Gallend selalu menjemput arum saat pulang kantor. Awalnya mati-matian Arum tolak—sampai gadis itu mogok bicara di hari pertama Gallend menjemputnya di depan para pegawai D'Amore Organizer. Tapi, setelah Gallend memintanya untuk memahami bahwa tindakan Gallend ini adalah salah satu upaya semua orang percaya dengan hubungan sandiwara mereka, baru Arum menyetujui.
Meski tetap saja, setiap Gallend mengajak Arum makan bersama, gadis itu senantiasa mengomel panjang lebar. Lalu berhenti setelah menyeruput Ice Milk yang sengaja Gallend pesankan untuknya.
"Bulan ini, tuh, memang ada tiga event. Dua di antaranya acara besar. Mas Gallend enggak lihat? Teman-temanku tadi aja banyak yang makan siang di kantor. Aku juga kalau enggak diseret Mas Gallend ke mari, pasti tadi udah makan bareng Rumi dan Padma." Arum lanjut menggerutu.
"Justru kalau kamu enggak makan sama aku, malah aneh." Gallend menyingkirkan piringnya yang sudah tandas ke pinggir meja, lalu meneguk air putih miliknya. Selesai menelan, lelaki itu menatap Arum sangsi. "Apa kata teman-teman kamu, Rum? Masa' kekasihnya datang ke tempat kerja, ceweknya malah makan siang bareng orang lain? Yang ada orang-orang curiga, kita ini sebenarnya pasangan kekasih atau bukan."
"Masalahnya," Arum bergeleng sekali. Memberikan Gallend sorot mata tajam yang menghakimi. "Ini udah kesepuluh kali dalam seminggu Mas Gallend ajakin aku makan bareng terus. Enggak bosan apa?"
"Enggak pernah ada kata 'bosan' buat ketemu kamu."
Meski raut wajahnya sengaja ia datarkan, Gallend tertawa dalam hati saat mendapati Arum mengarahkan bola matanya ke atas.
"Aku yang bosan."
Gallend berdecak, pura-pura kesal. Geli menatap Arum yang kini kembali menyantap makanannya dengan wajah cemberut, Gallend berkata, "Wajahnya biasa aja, dong, Sayang. Jangan wajah susah begitu, ah."
"Susah apanya?!"
"Susah aku lupain."
Arum tersedak. Kebiasaan lainnya tiap kali Gallend menguntai gombalan Ketika gadis itu sedang makan atau minum sesuatu.
"Oh, iya. Hampir aku lupa. Aku ke sini tadi mau ngajak kamu ke pesta pernikahannya temanku minggu depan."
Kening Arum mengernyit.
"Mau, kan, temani aku?" tanya Gallend to the point.
"Enggak, ah." Arum pun menjawab sebelum sela waktu sedetik. Begitu cepat, sampai membuat Gallend menggeram frustrasi—tentu saja pura-pura.
"Tega kamu biarin aku pergi sendiri? Nanti kalau aku di grepe-grepe-in cewek di sana gimana?"
"Biarin aja. Bukannya uda biasa?"
Gallend menepuk jidatnya sendiri. Tampaknya, sekarang Arum sudah terlatih menyerang Gallend sampai lelaki itu tak bisa berkutik karena apa yang keluar dari bibir gadis itu selalu benar adanya.
Pada akhirnya, Gallend hanya mampu mengeluarkan jurus terakhir. Satu kata yang paling Arum benci sampai jika Gallend mengujarkannya berkali-kali, biasanya Arum akan luluh menerima apa pun keinginan Gallend. "Sayaang."
Benar, kan. Kencana Arum melotot. Bola matanya serasa hampir copot dari rongga.
"Aku udah bilang, berhenti panggil 'sayang'!"
"Cinta.."
"Mas Gallend!"
Gallend menghela napas. Lelah, namun enggan menyerah. Masih ada satu senjata. Jika gagal juga, Gallend harus menerima nasib pergi sendirian menghadiri undangan.
"Nanti aku beliin rubber set Pororo dan kawan-kawannya. Langsung dari Korea, lho."
Senyum Gallend terbit secerah mentari saat kepala Arum terangkat cepat. Menatapinya dengan binar mata yang cerah. Tak butuh lebih dari dua detik, Arum sudah menjawab
"Jam berapa acaranya?"
Senjata Pororo and friends memang paling ampuh!
*
"Pak Gallend cari saya?"
Gallend mengalihkan pandang dari puluhan pack kardus yang tengah ia bereskan—mengangkutnya dari atas ambal berbahan bulu yang menjadi alas sofa di ruang kantornya, ke dalam sebuah kardus berukuran paling besar dari kardus-kardus lain.
"Oh, Suketi. Kamu sudah datang. Masuk."
Tanpa Gallend menyadari sang asisten sedang berkomat-kamit menyumpah-nyerapahi Gallend yang kerap memplesetkan namanya, perempuan berambut sebahu yang baru saja menutup pintu ruang Gallendra, segera berkata untuk meralat.
"Mon maap, Pak. Nama saya Susilawati Kenzi Tifani." Penjelasan yang sudah keseribu seratus sepuluh satu kali—mungkin—ia jabarkan tanpa lelah pada Gallendra, sang atasan.
"Kepan—"
"Kepanjangan, kan? Makanya Bapak singkat jadi Suketi. Oke, Pak Gallend. Tidak apa-apa. Saya paham kebaikan hati Bapak."
Kenzi mengelus dada, masih berharap Gallend mau berbelas kasih menyadari sedikit kekesalannya dan berakhir insyaf untuk menggunakan nama Kenzi yang semestinya. Tapi, kenyataan tak seindah doa yang Kenzi panjatkan barusan. Mungkin efek dari sumpah serapahnya sebelum ini.
"Bagus kalau kamu tau, Suketi." Gallend menunjuki kardus berukuran setinggi paha Kenzi. Dari lirikan matanya, Kenzi tahu semua isi kardus itu adalah barang-barang bermotif sama. Kartun penguin. Ada boneka, rubber set, bantal leher, mug, selimut, sampai poster.
"Sekarang kamu antar semua barang-barang ini." Suara Gallendra menyentak perhatian Kenzi. Sebagai asisten, apalagi yang bisa Kenzi jawab selain, "Siap, Pak."
Kenzi melangkah mendekati kardus itu dan menimbang-nimbang bagaimana caranya dia membawa benda, yang baru saja selesai Gallend tutup bagian atasnya dengan lakban kuning, itu dengan menggunakan sepeda motornya.
"Kamu bawa pakai taxi online aja." Suara Gallend terdengar lagi, membuat Kenzi langsung mengangguk antusias. Meski sering banyak menyebalkan, tapi Gallend juga sering ada baiknya. Sebentar, bukannya sama saja, ya?
"Baik, Pak." Jawab Kenzi. "Oh, iya. Saya antar ke TK mana, ya, pak?"
Lima detik hening. Kenzi mengerjap sekali, bingung mendapatkan raut wajah penuh kerutan di kening atasannya.
"Buat apa ke TK?"
Kenzi menggaruk lehernya yang tak gatal, hatinya justru kelimpungan dan gelisah mendengar nada kesal dari Gallendra.
"Ya buat antar semua inilah, Pak.' Kenzi menunjuk kardus di depan Gallendra yang masih duduk di sofa.
"Masa' iya buat saya masuk sekolah lagi? Saya, kan, udah tau satu tambah satu sama dengan—" cengiran Kenzi terhenti karena Gallend memotong cepat ucapannya. Sialnya, ada intonasi lelah bercampur sebal dalam suara lelaki itu yang langsung membuat Kenzi bergidik ngeri.
"Ini kamu antar ke D'Amore Hotel, Suketiii. Terus kamu bawa ke divisi D'Amore Organizer, berikan ke yang namanya Kencana Arum. Bilang sama dia, ini dari pacarnya yang paling tampan."
"...."
Melihat asistennya masih melongo, Gallend berkacak pinggang. "Kamu mau pergi kapan? Mau nunggu sampai gaji kamu saya potong setengah?"
*
"Mbak Arum,"
Langkah Arum yang baru memasuki pintu utama D'Amore Organizer, terhenti, begitu mendengar suara seseorang dari balik meja administrasi di sayap kanan dekat pintu. Arum menoleh, mendapati Monica—anak magang baru—berdiri di balik meja admin dengan raut wajah gugup.
"Ba—barusan ada telepon dari bagian resepsionis. Katanya, ada klien yang mau buat reservasi acara seminar." Monica menunduk, "Maaf, Mbak. Saya bingung. Tadi, Mbak Sukma belum sempat menjelaskan, karena tiba-tiba beliau dapat telepon penting dan harus keluar kantor sebentar."
Arum mengangguk paham. "Dari kantor mana?" tanyanya.
"PT. Angkasa Media Hutama, Mbak."
Arum ber-'oh' singkat sebelum menjawab, "Ya udah, saya minta tolong kamu antarkan mereka ke SM Department [1], ya. Nanti sampai di sana, langsung ke bagian adminnya aja, ajukan reservasi seminar."
Menyadari kebingungan di wajah Monica, Arum segera melanjutkan. "Biasanya kalau acara meeting atau seminar yang handle bagian marketing, Mon. EO kita khusus untuk wedding, ulang tahun, dan event besar aja."
"Ooh.." Monica manggut-manggut dan tersenyum lebar. "Baik, Mbak Arum. Makasih penjelasannya."
Arum tersenyum simpul. "Sama-sama." Ia baru hendak melangkah lagi, sebelum suara lainnya datang dari arah belakang bertepatan dengan bahunya yang di tepuk pelan.
"Permisii. Selamat sore, Mbak."
Arum membalikkan tubuh dan mendapati seorang perempuan yang separuh tubuhnya tertutupi oleh kardus besar. Bahkan untuk bicara pada Arum, perempuan itu kesusah melongokkan wajahnya, sampai akhirnya dia berinisiatif berdiri menyamping.
"Sore. Ada yang bisa dibantu, Mbak?"
"Ada, Mbak." Mungkin karena keberatan, perempuan itu meletakkan kardus tadi ke lantai. Lalu menegakkan tubuh lagi dan menghela napas lega. "Jelas saya butuh bantuan, Mbak. Wong, muka saya udah kayak sandal jepit buluk gini gara-gara capek."
Arum tertawa kecil, walau bingung menguasainya. Mungkin sadar ekspresi Arum, perempuan itu tiba-tiba berkata lagi, "Duh, mon map, Mbak. Saya kalau lelah memang suka ngelantur. Dari tadi saya udah mutar-mutar cari ruangan D''Amore Organizer. Baru sekarang ketemunya."
Arum tersenyum kecil kala melihat cengiran perempuan itu. "Apa yang bisa saya bantu, Mbak?"
"Sebelumnya, kenalin. Saya Kenzi."
Arum membalas jabat tangan yang perempuan berambut sebahu di hadapannya ulurkan.
"Saya mau ketemu sama Bu Kencana Arum. Ini ada hadiah dari kekasihnya." Kenzi menunjuk kardus lagi. Dengan napas yang masih tersengal dia lanjut bicara. "Dari Pak Gallendra. Saya asisten Pak Gallend, disuruh antarin ini ke Bu Arum. Boleh tolong antarkan saya ketemu Bu Arum, Mbak? Saya penasaran siapa, sih, kekasihnya bos gendheng saya yang udah buat saya susah antar-antar semua mainan ini ke sini."
Arum tertegun. Gallend mengirim apalagi untuknya?
Arum berdeham pelan, kebingungan untuk bereaksi.
"Kalau Mbaknya lagi sibuk, Yowis, ndak apa-apa." Kenzi mengibaskan tangan. "Saya tanya yang lain aja. Misi, Mbak."
Dalam keterpakuan yang belum bisa Arum hilangkan, dilihatnya Kenzi segera menggendong kardus lagi. Namun belum genap kakinya mencapai tiga langkah, Monica memanggilinya hingga ia berhenti.
"Maaf, Mbak Kenzi."
Kenzi menoleh. "Ya?"
"Mbak Arumnya..." Dengan ragu-ragu, Monica menunjuk Arum yang akhirnya bisa mengerjapkan mata. Menyadari kecanggungan yang tercipta usai Monica berkata, "ada di sini. Beliau ini Bu Kencana Arum."
Berganti Kenzi yang kini tertegun. Lebih tepatnya, tercengang dengan sedikit bibir terbuka menatapi Arum penuh kejut. "Oooh." Tawa paksanya mengudara. "I—ini, toh, kekasihnya Mas Gallend yang cantik itu? Oalah dahlah, pantes Pak Gallend jatuh cintanya kayak bocah, wong pacarnya aja ayu tenan gini."
Kemudian, tawa paksa itu berubah jadi cengiran setelah Kenzi melangkah kembali mendekati Arum.
"Piye kabare, Mbak Arum?" tanya Kenzi, mengulurkan tangan kanannya lagi dengan wajah kikuk. Arum paham, mungkin gadis itu malu baru saja ketahuan mengatai Gallendra dan merutuki Arum juga. Tapi, hal gila yang lebih mendominasi pikiran Arum sekarang adalah..
Seberapa banyak barang lagi yang Gallend berikan untuknya?!
Matilah. Kalau teman-temannya tahu, Arum pasti akan digodai habis-habisan lagi.
[1] SM department : Sales and Marketing Department
Mari kita lihat apa aja isi yang Gallend kirim buat Arum, hohohoo. Ada ya, gadis 26 tahun masih dikirimin hadiahnya begini wkwk. Siapa di sini yang suka juga sama Pororo? Atau kartun lain?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro