[Stage 19] Day 1
Kedua ujung bibir Gallend tertarik ke atas. Mengangkat bahu, suaranya begitu santai saat berkata dengan mata melengkungkan senyuman. "Tenang aja, nanti aku belikan kamu Pororo yang banyak."
Arum—yang Gallend sadari baru mulai menyentuh makanan pesanannya; menusukkan garpu ke salah satu donat bertabur bubuk kayu manis—bergeleng-geleng dengan gumaman yang seolah menyatakan 'tidak'. "Hm-hm." Setelah memasukkan kue bola itu ke mulutnya, ia lanjut bicara dengan pipi menggembung karena kunyahan. "Bukan itu."
Melewati lima detik, Gallend baru bereaksi dengan kedua manik mata hitamnya yang melebar. "Kamu enggak niat nyuruh aku bangun seribu candi kan, ya? Atau ikutan semedi di Goa Gong?"
"Aku serius, Mas."
"Aku juga serius, Arum." Gallend bergidik. "Aku enggak sanggup pikirin berapa tukang yang harus aku sewa untuk bangun candi dalam semalam. Apalagi ke Goa? Aku enggak bisa hidup tanpa internet! Aku—" ucapan penuh drama Gallend terhambat selesai berkat sebuah donat yang disuap paksa oleh Arum tepat saat mulutnya terbuka. Mau tidak mau lelaki itu mengunyahnya juga. Rasa manis yang menjalari lidah tak serta-merta melenyapkan kekesalannya pada Arum karena memotong ucapannya dengan makanan.
"Hubungan ini hanya sementara, enggak boleh lama-lama, jangan suka ganggu aku, dan cukup bersikap layaknya pacar di depan orang aja. Itu syaratnya. Bisa, kan?"
Satu alis Gallend terangkat bingung. Namun tak butuh lebih tiga detik untuknya berpikir sehingga dapat menjawab yakin. "Oke."
"Enggak boleh mesum juga."
"Mesum ke kamu?"
Arum melotot. "Ke siapa pun. Enggak akan ada yang percaya Mas Gallend itu pacarku, kalau mata Mas masih jelalatan sana-sini kayak lalat terbang."
Berganti Gallend yang kini mendelik. Tidak rela dirinya disamakan dengan lalat. Ia 'kan bersih, rapi, tampan, dan selalu wangi. Saking harumnya, banyak wanita-wanita mendekat. Bukan seperti lalat, dikelilingi kotoran.
Bergeleng sekali untuk mengusir tingkat kepercayaan dirinya yang sempat melesat tinggi—sebelum ia keceplosan menunjukkannya pada Arum dan berakhir mendapatkan tabokan dari gadis itu—Gallend menyandarkan punggung dengan tangan bersedekap. Menatap balik Arum.
"Gimana, ya?" Gallend menelengkan kepala, menunjukkan seolah dirinya terjebak dalam pemikiran serius. Tapi, rupanya tak butuh tiga detik untuknya sudah menjawab yakin dengan sorot mata berpendar jenaka. "Keindahan itu buat dipandang, sih, Rum. Sebagai bentuk rasa syukur. Kalau enggak bersyukur nanti dimarahi Tuhan, lho."
Kedua alis Arum menyatu cepat, lanjut dengan kening berkerut dalam, sebelum berakhir mengarahkan bola mata ke atas lantaran kesal. Perumpamaan macam apa itu, batinnya, atas ucapan asal Gallendra.
Usai menghela napas lelah, telunjuknya teracung-acung ke depan wajah Gallendra yang masih memasang senyum. "Kan! Kan!" kedua tangan gadis itu memegang pinggiran meja dengan mata membeliak. Seolah bila dibolehkan, ingin sekali rasanya ia membalik meja segi empat di hadapannya untuk membenturi wajah mesum Gallendra.
"Mas Gallend mending diam, deh. Tangan aku udah mulai gatal ini." sarkasnya, sembari menggaruk-garuk telapak tangan yang sesungguhnya tak merasakan reaksi gatal apa pun.
Gallend memajukan tubuh, bertopang dagu dengan jari-jemari kedua tangan saling bertaut. "Gatal pingin belai wajah aku, ya?" tanyanya, tersenyum usil.
"Pingin nampok!"
Gallend menelan ludah, menjauhkan tubuh dari Arum sebelum gadis itu benar-benar merealisasikan ucapan.
"Tapi aku penasaran, deh." Gallend tiba-tiba bertanya lagi, setelah beberapa menit ia dan Arum saling menikmati makanan dan minuman mereka.
Arum mengangkat wajah, menatapi Gallend bingung.
"Kok, awalnya kamu kukuh banget nolak pacaran denganku? Bahkan sekadar pura-pura pun enggak mau. Padahal aku ini tampan, kaya, pintar, baik hati, rajin nabung, rajin menyenangkan hati wanita, lucu lagi."
Arum menyesap jus miliknya. Dia enggan menjawab, karena sekarang sibuk menahan diri untuk tidak mencekik Gallendra yang tingkat percaya dirinya pasti sudah dalam tahap akut.
"Oh!" Ekspresi Gallend seolah baru saja mendapat cahaya hidayah. "Karena aku playboy?"
Sesegera pertanyaan itu terlontar, Arum menatap takjub pada lelaki di hadapannya.
"Pintar banget, sih, Mas." Pujian Arum lebih menyiratkan sindiran, membuat Gallend berdecak.
"Tambah satu lagi. Mas Gallend itu mesum tingkat kronis. Dekat-dekat Mas aja aku udah makan hati, apalagi jadi pacar?!" Gallend terperanjat tatkala Arum menusukkan garpu cukup keras ke sebuah donat, kemudian mencocolkannya dalam krim lemon sebelum memasukkannya ke mulut dengan tatapan tajam tertuju penuh untuk Gallendra.
"Tenang, Rum. Kalau pacaran sama kamu, mesumku sama kamu doang, kok."
Gallend meringis dan spontan menyodorkan minuman Arum pada si pemilik yang baru saja tersedak usai mendengarkan selorohan lelaki itu.
"Pelan-pelan, dong, makannya. Belum juga aku mesumin udah grasak-grusuk aja kamu ini."
JDUK!
"AW!" teriakan Gallend bertepatan keluar dengan suara benturan antara paha dan langit-langit bawah meja. Semua bermula dari kaki Arum yang menendang tulang keringnya secara mendadak.
Gallend mengusap-ngusap pahanya yang cukup terasa sakit. Pandangan beebrapa pengunjung kafe sempat terarah pada mereka selama beberapa detik hingga suasana kembali seperti semula saat Gallend berusaha keras menahan sabar untuk tidak mengomeli Arum yang hanya terkikik usai melakukan dosa.
"Jangan suka KDRT dong, Sayang."
Arum tersedak donatnya lagi.
Rasakan. Siapa suruh mengerjainya. Gallend tahu setelah ini dia harus semakin banyak menyematkan sebutan barusan untuk Arum jika ingin menjahili gadis itu.
"Belum nikah aja kaki aku udah jadi korban." Gallend menggerutu, sembari tangannya iseng mencomot satu donat terakhir yang tersisa di piring Arum. Belum sempat donat itu terangkat, punggung tangan Gallend sudah ditepuki telapak tangan Arum.
"Jangan diambil! Ini donatnya aku."
Gallend terkesima mendengar peringatan Arum serta tindakan gadis itu yang langsung merebut balik kepemilikan donatnya. Bukannya marah, lelaki itu justru kepalang gemas dengan bibir Arum yang sudah maju satu senti.
"Belum nikah aja kamu udah pelit, Rum."
Sebagai pembalasan dendam, tidak peduli Arum kini menatapinya nyalang, Gallendra terus bicara dengan nada lugas. "Nanti kalau nikah, aku beliin kamu donat setoko sama abang-abangnya, deh!" Ia diam sesaat, lalu bergeleng. "Eh, jangan, deng. Enak abangnya, dong, dapatin kamu. Kagak jadi. Aku beliin batu akik aja, yang jual pasti kakek-kakek, aku enggak akan tersaingi."
"Bisa diam, enggak, sih?"
"Iya, Sayang."
Melihat bola mata Arum sewaktu-waktu bisa saja loncat dari rongganya karena terus memelototi Gallend, lelaki itu segera mendekatkan tangan ke bibir, membentuk gerakan mengunci mulut dengan mata tersenyum.
*
Arum menghela napas. Baru satu hari ia menyetujui permintaan Gallendra, lelaki mesum itu sudah langsung membuat ulah. Di sore hari yang sebenarnya cerah luar biasa, secerah hatinya begitu selesai bekerja dengan hasil memuaskan, Gallendra cukup membuat heboh dengan kehadirannya yang menunggu di sofa lobi.
Gallendra tidak seterkenal itu sampai seluruh perhatian orang di lobi tertuju untuknya, tapi Arum bisa merasakan pandangan beberapa pegawai wanita yang sudah bisa dipastikan adalah kumpulan pengagum rahasia lelaki itu di hotel ini, tertuju penuh padanya. Mereka berbisik-bisik. Hingga rasa tak nyaman itu hadir saat Arum sadar, tatapan wanita-wanita tadi berganti ke arahnya.
Dan, tidak cukup sampai di situ.
Gallendra yang begitu melihat Arum berdiri di dekat lift, langsung melambaikan tangan dengan mengeluarkan sejurus senyuman lebar, menciptakan keusilan dari para teman Arum yang berjalan bersisian dengannya.
Lihatlah sekarang, tubuh Arum yang sudah lemas mendapati sosok Gallendra, langsung disenggol oleh bahu Padma. Hingga Arum sedikit terhuyung, jika saja tubuhnya tidak ditahan oleh Rumi yang berdiri di sebelah kirinya.
"Ciee.. yang dijemput pacar, nih!" goda Padma, seolah tak merasa berdosa baru saja membuat Arum hampir mencium lantai.
"Sekarang udah terang-terangan aja, ya, Rum." Padma tampaknya tak jera membuat kepala Arum mulai kesakitan melihat situasi ini. "Rasanya aku masih enggak percaya, deh. Selama ini aku niat jodohin kamu ke orang lain, enggak taunya kamu malah dapat duluan. Melebihi ekspektasi lagi."
"Udah sana pergi, nanti Mas Gallend-nya ngambek, lho, kelamaan nunggu." Rumi lagi. Bukannya membantu menutup mulut Padma, dengan lakban misalnya, malah mengompori.
Arum menghela napas. Ia masih diam, karena tak punya tenaga untuk sekadar membalas perkataan sahabat-sahabatnya. Dia menundukkan wajah, memijit pelipis yang mulai berdenyut perih. Kenapa Gallendra suka sekali menghadirkan rasa sakit di kepalanya, sih?
"Hai, Sayang." Secepat suara yang sangat dikenalinya terdengar, Arum mengangkat wajah dan membeliak. Gallendra sudah berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Menyebalkan. Kenapa tadi Arum tidak langsung lari saja. Sekarang dirinya telah terkepung.
Tidak. Dia masih punya kesempatan.
Memanfaatkan keheningan yang sempat tercipta, Arum langsung mengambil langkah menjauhi semua orang gila yang sedang bersama dengannya kini. Tetapi, kerah kemeja rajutnya malah ditarik oleh tangan seseorang, membuat langkahnya mundur kembali hingga kini persis berdiri di sebelah Gallendra.
Arum melotot. Ternyata pelakunya Gallendra, lelaki itu langsung mengganti pegangan tangannya di kerah baju Arum dengan pegangan tangannya yang sekarang membelit pundak gadis itu.
"Kamu mau ke mana, sih, Sayang? Aku—"
PLAK!
Arum bisa merasakan napas Rumi dan Padma terhenyak.
"Lho, Rum? Kok pacarnya dipukul?" tanya Rumi.
"Iyaaa, kasihan Mas Gallendnya, Rum." Arum memutar bola mata. Pembelaan lainnya datang dari Padma.
Sembari mengusap-usap lengan kanannya yang baru saja jadi korban asusila sang kekasih pura-pura, Gallend berkata santai pada kedua sahabat Arum yang hanya bisa bergeleng kepala melihat tingkah temannya.
"Arum emang suka gitu. Masih belum terbiasa mesra-mesraan di depan orang. Malu katanya."
Sebesar kecepatan cahaya, Arum langsung melempari pisau dari matanya pada Gallendra. Lebih-lebih karena lelaki itu kini tersenyum seraya dengan lancangnya merekatkan pundak mereka lagi. Jari-jari tangannya kemudian terulur untuk membenahi anak-anak rambut di wajah Arum.
"Padahal ini yang saya tunggu dari dulu, bisa antar jemput dia setiap hari. Akhirnya kesampaian juga." ujar Gallend, tapi bukan memandang ke arah lawan bicara, melainkan pada Arum yang setia melototinya.
Gallendra gilaaaaa! Batin Arum.
Malam gaes, jumpa lagi kita. Semoga enggak bosan, ya, dengan kisah Gallend-Arum. Btw, backsound di atas sebenarnya enggak cocok sama sekali sama part ini. Tapi, udah beberapa hari ini aku dengerin lagu itu sambil nulis, bahkan saat scene sedih sekali pun, jadi pingin banget masukin list lagu di part wkwk.
Padahal lagunya lebih cocok buat orang yang lagi mau demo berkat harga cabe naik atau berantem gara-gara beda partai (apesih)
Ada yang penggemar Aespa di sini? Ada yang suka K-Pop? Cus, kita satu server. Dah, mau curcol itu aja. Jangan timpuk aku karena gapenting banget pembahasannya /lariiii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro