[Stage 18] Jawaban Arum
Gallend mengerjap-ngerjap. Heran karena baru saja pantatnya direbahkan ke kursi café, telapak tangan Arum sudah terulur menyentuh dahinya. Dengan tangan kanan gadis itu masih menempel di kening Gallend, tangan kirinya digunakan untuk mengusap dagu, seolah memikirkan soal pecahan matematika yang rumit. Begitu ia menarik tangannya, Arum bersedekap, menatap Gallendra yang masih kebingungan dengan tajam.
"Enggak waras lagi kayaknya."
Bola mata Gallend melebar mendengar kalimat Arum yang lebih tajam dari pedang pendekar.
"Kamu ngatai aku gila?" tanya Gallend tak percaya. Ke mana Arum polos yang selama ini ia kenal? Kenapa tega sekali berbicara seperti itu untuknya?
Bukannya jawaban Arum yang dia dapat, melainkan tumbukan—yang tidak terlalu keras—dari tangan terkepal Arum membuat Gallend justru terperangah.
"Mengakui aku 'pacar' di depan banyak orang, apa itu namanya bukan 'gila', Mas Gallendra yang terhormat?" Arum memberi penekanan pada kata 'gila' yang langsung membuat Gallend, alih-alih marah, malah tersenyum. Gaya kekesalan Arum seperti itu, rasanya sudah begitu lama tidak Gallend lihat karena selama ini si wanita terlalu sibuk menyepi entah di gunung mana.
Melihat bibir gadis yang duduk diseberangnya itu mulai siap mencebik, Gallend segera angkat suara. "Aku minta maaf." Pria itu mengangkat tubuh dari posisi bersandar di kursi, menatap Arum dengan sorot tulus. Namun, yang ditatap malah berdecak.
"Setelah semua orang tau?" Gallend sedikit tertegun, ada getir yang membalut suara Arum.
Percakapan mereka tertunda oleh kedatangan seorang pelayan laki-laki yang membawakan sepiring donat cinnamon dan jus melon pesanan Arum, serta steak and veggies dengan lemon tea yang Gallend tunggu-tunggu sejak tadi.
Mengatur janji dengan Arum hanya bisa mereka lakukan di malam hari setelah pulang bekerja hari ini, tepat setelah pagi tadi Arum meneleponnya dan memaksa bertemu. Gallend tidak sempat makan siang karena meeting mendadak yang salah satu kliennya inginkan, jadi sekarang dirinya menelan air ludah melihat betapa lezatnya makanan yang terhidang di depannya.
Sementara Gallend mulai sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut, Arum mengedarkan pandang ke belakang Gallend. Suasana outdoor dari Kafe Lycoris sungguh menyuguhkan pemandangan bernuansa alam hijau dengan kolam air pancuran di tengah-tengah banyaknya meja dan kursi kafe. Panorama tersebut melabuhkan rasa tentram bagi mata yang memandang. Sayang, pikiran Arum yang sejak awal datang untuk menemui Gallendra telah dipenuhi beragam kecemasan yang besar.
Arum menggigit bibit, sebelum mengalihkan tatapan pada Gallendra lagi. Ia harus segera menyelesaikan pertemuan ini. "Mas tau enggak, sih? Anggapan bahwa aku adalah cewek munafik yang tidur dengan laki-laki di kamar hotel," Gallend menghentikan kunyahannya, sedikit kaget dengan kalimat Arum yang memberi penekanan pada kata 'tidur'. Kening gadis itu mengerut, seolah menunjukkan kerusuhan hatinya saat ini.
"anggapan itu memang enggak sebanyak dulu lagi aku dapatkan. Tapi, sekarang di mana-mana adaaa aja komplotan fans cewek Mas Gallend di hotel aku yang selalu siap bacok aku pakai golok dari tatapan mereka."
Gallend diam. Selama beberapa detik keheningan mengerubungi keduanya yang saling menatap dalam kebingungan masing-masing. Gallend memutus pandangan lebih dulu, diletakkannya garpu dan pisau yang semula ia pegang ke atas piring. Menatap Arum.
"Aku enggak punya pilihan, Rum. Aku benar-benar terdesak saat itu." Setelah meneguk minumannya, Gallend menyandarkan punggung di kursi dengan kedua tangan bersedekap dan pandangan lurus pada Arum. "Kamu ingat saat aku hubungi kamu beberapa hari ini?"
Rasa bersalah sontak menyerang Arum ketika Gallend mengungkit hal itu. Ia mengangguk dengan bahu lemah, tidak seperti tadi yang berkata penuh tekanan seolah tengah memintai keadilan.
"Aku mau menanyakan kesediaan kamu tentang ide yang tiba-tiba aja terlintas di benakku, setelah hari itu aku enggak sengaja bohong di depan Bu Freya dan lainnya kalau kamu adalah pacarku. Gimana pun aku sadar, aku enggak mungkin ambil keputusan sepihak. Tapi, kamunya malah hilang. Lenyap enggak ada kabar." Gallend menghela napas, sebelum melanjutkan. "Saat aku temui Bu Freya, aku udah coba menjelaskan dengan segala usaha bahwa apa yang terjadi kemarin murni salah paham. Tapi, GM kamu yang galak itu enggak percaya sama sekali waktu aku beritahu kalau kita memang enggak punya hubungan apa pun." Gallend memajukan tubuh, melipat tangannya di atas meja dengan kepala sedikit menunduk, menatapi Arum. Kalimat berikutnya dari dia seperti sebuah pengaduan yang berganti membuat Arum menghela napas.
"Kalau diingat-ingat lagi aku merinding, tau enggak? Atasan kamu itu jauh lebih ngeri daripada Valak. Rasanya semua penjelasanku tentang kita yang hanya sekedar partner kerja, dianggapnya bualan semata. Sampai aku yakin, dia baru akan berhenti kalau aku mengatakan hal seperti apa dia pikirkan—bahwa kita memang punya hubungan spesial. Jadi, ya.." Gallend mengangkat bahu. Lanjutan perkataannya seolah tanpa dosa. "akhirnya aku enggak sengaja keceplosan bohong dengan bilang kamu memang kekasihku."
Arum memijit pelipis, sebahagian kepalanya mulai terasa sakit. "Oke, aku paham Mas Gallend terdesak. Tapi, sekarang kita harus gimana? Itu 'kan bukan kenyataannya. Kita enggak mungkin bohong ter—"
"Sebenarnya aku punya alasan lain yang lebih kuat, Rum."
Arum melotot karena kalimatnya tidak diberi kesempatan untuk selesai lantaran Gallendra kembali memotong. Satu alis gadis itu terangkat. "Huh?"
Sorot jenaka yang tadinya sempat berbayang di manik Gallendra, kini berganti dengan sorot keyakinan—yang entah mengapa terasa tulus dalam sudut pandang Arum.
"Alasan yang sekali pun kamu nolak, mungkin aku akan tetap mengatakan bahwa kamu adalah pacarku ke semua orang."
"Jangan ngada-ngada, Mas!"
"Aku cuma enggak mau kamu dikatai penjebak atau penggoda laki-laki, Rum." Jawab Gallend cepat. "Padahal kenyataannya aku dekati sedikit aja kamu langsung lari seolah aku ini kuman yang harus segera dibasmi. Kalau enggak sempat lari, yah.. main timpuk atau tabok."
Bola mata Arum melebar sesaat. Dia menunduk, merasa tubuhnya mulai lemas. Gallend mengungkit kesalahannya lagi. Ingin segera menyelesaikan segala permasalahan, Arum berkata, "Maaf, Mas."
Mendapati satu alis Gallend terangkat, Arum lanjut bicara. "Maaf untuk insiden pukul tempo hari. Maaf juga, karena enggak merespon telepon mau pun chat dari Mas Gallend beberapa hari ini. Aku hanya enggak ingin komunikasi dengan siapa pun dulu."
"Tapi diam juga enggak akan menyelesaikan masalah, Rum."
"Aku tau. Aku hanya butuh.." Arum menelan ludah. Dia berencana datang untuk membahas kesalahan Gallendra, kan? Kenapa sekarang dirinya yang tersudutkan? Ah, tapi.. Arum memang salah. "sedikit lebih banyak waktu."
Hening menyergap lagi. Sampai suara Gallend membuat Arum yang semula menunduk lemah, tersentak kaget menatapinya.
"Oke, aku maafin." Kedua tangan Gallend sudah memegang garpu dan pisaunya lagi, namun tatapannya mengarah lurus ke Arum. "Tapi, kamu mau maafin aku juga, kan?"
Arum bingung. Dia kesal, sih. Tapi Gallend sudah meminta maaf. Butuh beberapa detik untuk ia akhirnya mengangguk-angguk. "Tapi, Mas Gallend harus tetap klarif—
"Arum,"
Arum membeliak, kesal karena lagi-lagi pria di hadapannya itu merebut kesempatannya bicara. Tapi, bibirnya yang spontan dengan bodohnya langsung menanggapi hingga Arum diam-diam menyesali. "Hm?"
"Setelah aku pikir-pikir lagi," Gallend diam sesaat, matanya sejenak menatap meja kayu di bawah pandangannya—seolah memikirkan sesuatu—sebelum menatap Arum kembali. "aku serius dengan ucapanku pada Bu Freya. Aku ingin kamu jadi pacarku."
Arum tertegun, tak bisa bereaksi apa pun selain sepuluh detik kemudian hanya berdeham. Saat tiba-tiba dia mengambil gelas jus-nya, tangan Gallend secepat kilat menahan pergelangan tangan Arum. Mata lelaki itu menatapinya gelisah dengan kepala bergeleng. Seolah tahu apa yang Gallend maksudkan, Arum menepis tangan lelaki itu. "Apaan, sih, Mas?! Aku cuma mau minum." ujarnya, lalu menyeruput jus miliknya.
Rasa manis tidak sama sekali mengalirkan kesenangan di hati Arum.
"Aku serius, Rum. Sama sekali enggak bercanda."
"Aku juga enggak bercanda. Aku mau Mas Gallend klarifikasi." Arum menekan satu kata terakhirnya. Raut wajahnya kentara kesal.
"Maksudku," Gallend berusaha memilah kata yang tepat. "kita pacaran pura-pura. Hanya sementara."
Baiklah, Gallend sepertinya sedang ingin mempermainkan Arum, setidaknya hal inilah yang terlintas di benak gadis itu. "Maksudnya?" Arum bertanya.
"Kamu tau kenapa video itu bisa tersebar?"
Kali ini, gurat kesal menghilang. Berganti dengan kening mengerut dan gelengan kepala.
"Bu Freya berhasil dapatin pegawai hotelnya yang sebar video itu pertama kali. Ada Office Boy, yang menurut pengakuannya di depan semua orang, dia enggak sengaja nemuin flashdisk yang dibuang ke tong sampah. Lalu dia ambil flashdisk itu karena katanya masih kelihatan baru, dan terkejut waktu lihat video kita jadi satu-satunya file yang ada di dalamnya. Sebenarnya, aku kesal banget dan enggak ngerti sama sekali dengan alasan dia kirim video itu ke temannya hanya untuk iseng. Enggak ada kerjaan sama sekali dan enggak beretika!"
"Tapi, dari penjelasannya itu aku tambah yakin kalau ada seseorang yang menjebak kita. Dan, mungkin.." Gallend memijit kening, seolah berpikir keras. "Ini cuma dugaanku, sih. Tapi, sejak awal orang itu tampaknya berencana buat kita terlibat one night stand. Mungkin untuk buat reputasi salah satu dari kita buruk, tapi aku yakin dia udah lihat video itu dan pasti kecewa besar waktu tahu kamu dan aku hanya tidur sampai pagi."
Gallend menatap Arum lamat-lamat. "Jadi, Rum. Aku rasa enggak ada salahnya kita kerja sama buat cari tahu siapa dalang di balik semua ini. Lagipula dengan kamu jadi pacarku, enggak ada yang bakal anggap kamu cewek penggoda lagi yang ngejebak aku malam itu, begitu pun sebaliknya. Karena, hey, apa salahnya antarin pacar yang lagi mabuk dan habis muntah-muntah untuk istirahat di kamar kita sendiri? Toh, kita juga bisa nahan diri buat enggak ngapa-ngapain. Hanya berniat menolong kekasih."
"Setidaknya itu menurutku, Rum." Gallend melanjutkan ucapannya yang panjang lebar. "Jadi, mau 'kan, jalin hubungan pura-pura sementara denganku?"
Arum tertegun. Dalam masa dewasanya, ini pertama kalinya ada seorang pria yang mengajaknya berpacaran. Sialnya, mengapa Gallend dan mengapa harus pakai konsep pacarana pura-pura?
Arum menggeleng lemah, rasanya tak percaya bahwa jika ia akan menerima pemrintaan Gallend, maka kisah cintanya yang pertama kali dalam seumur hidup harus diwarnai dengan sandiwara. Menyedihkan sekali. Tapi, Arum tak bisa mengingkari ada rasa kasihan dan sedih dalam hatinya mendengar permohonan Gallend setelahnya.
"Please, Rum."
Takut-takut, gadis itu memandangi lelaki yang kini menatapinya dengan sorot mata berharap. Bukan Gallend sekali, membuat Arum jadi tambah bersalah jika harus menolak.
"Aku juga harus cari tau siap sosok yang udah menjebak kita, Rum. Mungkin lebih tepatnya menjebakku, karena menurutku kamu enggak punya musuh sama sekali."
Arum lagi-lagi menggigit bibir, bahkan kedua tangannya yang saling terpaut di atas rok-nya sendiri, bergerak gelisah dan berkeringat dingin. Butuh hampir setengah menit sampai gadis itu akhirnya mengangguk perlahan dengan bahu terkulai.
Semoga keputusannya benar.
"Ada syaratnya." ucapan Arum kemudian, berhasil melenyapkan senyum semringah yang sempat terbit di bibir Gallendra.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro