[Stage 15] Perih
BRAAK!
Gebrakan tangan di meja membuat Arum terperanjat kuat, sampai tangan kirinya yang terasa luar biasa lemas, terlepas dari pegangan pintu yang baru saja ia tutup setelah memasuki ruangan Paranita, sang Event Manager.
Arum menoleh takut-takut pada perempuan yang tengah duduk di kursi kantornya. Memandangi tajam Arum dari balik meja kerja.
Sebenarnya, Arum sudah bisa menebak bahwa raut wajah penuh amarahlah yang pasti Paranita berikan, ketika beberapa saat lalu Guntoro memberitahuinya, Rumi, dan Padma bahwa orang dengan pangkat paling tinggi-bertanggung jawab langsung pada General Manager-di D'Amore Organizer itu sedang mencari Arum.
Meski selagi dalam perjalanan ke sini, sudah berkali-kali Arum menarik napas panjang agar bisa tenang, tetap saja rasa cemas dan gelisah menyatu padu menghasilkan ketakutan hebat dalam diri gadis itu.
"Apa-apan ini, Rum?!" bentak Paranita. Wajahnya memera. Kesal, tentu saja. Atasan mana yang tidak akan murka ketika ada salah satu bawahannya berpotensi mencoreng nama baik divisi mereka?
Berusaha keras menguatkan mental, Arum melangkah mendekati meja Paranita. Namun, langkahnya hanya sanggup terhenti dua jengkal di belakang kursi tamu seberang Paranita. Bahkan untuk menatap sang atasan saja, Arum tidak bisa. Kepalanya kini menunduk.
"Sa-saya minta maaf, Bu." Sebelum Paranita menjelaskan maksud panggilannya, Arum berkata lirih. Ia menelan ludah dengan perasaan tak keruan, menyadari suaranya nyaris serak efek menangis saat di koridor tadi.
Dengkusan keras Paranita terdengar. Tangan kanannya dengan siku di atas, memijit pelipis yang mulai terasa sakit sejak D'Amore Organizer dihebohkan pagi tadi oleh sebuah video mesum yang menyangkut mantannya dan juga perempuan di hadapan Paranita sekarang. Ditambah lagi, Bita, sekretaris Freya sekaligus temannya, langsung menelepon beberapa menit lalu untuk melaporkan seberapa kesalnya sang General Manager setelah melihat video viral itu.
"Bisa-bisanya kamu ada di kamar hotel yang sama dengan partner kita dalam keadaan setengah bugil?" kalimat Paranita kental sindiran, mengoyak hati Arum begitu dalam.
Bahkan bisik-bisik banyak karyawan D'Amore saat ia berjalan dari koridor menuju ke kantornya kembali tadi, masih menyisakan sesak. Antara malu, marah, dan duka yang menghebat.
Arum mencoba menarik napas. Dia harus tenang. Saat berhasil menguasai diri untuk tidak menumpahkan cairan panas yang mulai muncul perlahan di pelupuk matanya, Arum berkata. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Tapi, beneran.." Arum bergeleng kuat, "itu enggak disengaja sama sekali. Saya dan Mas Gallend benar-benar mabuk malam itu dan kami-"
"Dan kalian tidur bersama?" kalimat Paranita menohok Arum. Telak.
"Enggak!" Arum menjawab cepat, bergeleng kuat.
"Lalu ini?" Paranita menunjuk ponsel yang tidak Arum sadari ada di atas meja sejak tadi. Layar yang semula mati kembali menampilkan pendar cahaya yang sudah bisa Arum duga file apa yang tengah dibuka, di dalamnya. "Ini apa, Rum?!"
"Ka-kami memang tidur di ruangan yang sama, Bu. Waktu itu kepala saya benar-benar sakit karena mabuk. Tapi, kami hanya 'tidur'." Arum memberi tekanan pada satu kata terakhirnya. "Hanya itu. Enggak ada apa-apa yang terjadi. Bukannya di video itu juga enggak memperlihatkan kami melakukan hubungan sek-" Arum mengatup bibir. Bahkan untuk mengucapkan kata yang terlintas di benaknya sekarang terasa begitu mengerikan. "hubungan itu, maksud saya." lanjutnya, dengan menekan kata 'itu'.
"Enggak ada yang tau apa yang terjadi di tempat lain. Kalian bisa saja melakukannya di tempat yang enggak tersorot kamera, kan? Kamar mandi misalnya."
"Bu!" Mata bulat Arum melebar, terperangah menatap Paranita. Sama sekali tidak disangkanya perempuan yang selama ini ia kenal begitu bijak, bisa mengatakan kalimat yang sarat tuduhan.
Arum bergeleng sekali, menepis pemikiran bahwa Paranita kesal karena mantan pacarnya-Gallendra-juga ikut terbawa-bawa. Setidaknya, Arum masih percaya bahwa Paranita masih dapat bersikap professional.
"Saya benar-benar enggak ngapa-ngapain sama Mas Gallend, Bu! Tolong percaya dengan saya!" Arum memberi sorot memohon. "Kalau Ibu masih enggak percaya juga, Ibu bisa tanya sama Mas Gallend. Ini murni hanya salah paham."
"Salah paham apa pun itu," Paranita melipat kedua tangan di dada, tampak enggan mempercayai penjelasan Arum. "semua jelas-jelas merusak citra D'Amore Organizer. Kamu tau kabar ini jadi bahan perbincangan banyak pegawai hotel yang lain? Enggak sengaja sekali pun, kamu dan Gallend tetap bersalah karena memasang kamera di ruang kamar hotel yang privasi. Itu jelas melanggar peraturan!"
"Tapi, kami juga enggak tau kalau ada kame-" kata-kata Arum terpaksa ia tunda karena deringan telepon di meja Paranita berbunyi nyaring, seolah sedang mengejek Arum. Dengan tetap melirik Arum kesal, Paranita mengangkat gagang telepon dan bicara selama beberapa menit.
"Aku ke sana sebentar lagi, Bit." ujar Paranita pada lawan bicara, sebelum akhirnya sebelum akhirnya meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula. Kemudian, ia bersedekap sekali lagi seraya melemparkan Arum tatapan tajam.
"Saya akan coba jelaskan ke Bu Freya, seperti apa yang kamu katakan barusan. Tapi saya enggak bisa menjanjikan kamu akan tetap dipertahankan di hotel ini atau tidak. Semua keputusan ada pada beliau."
Dan kalimat berikutnya, membuat jantung Arum berjengit nyeri.
"Sementara ini kamu enggak perlu kerja dulu. Saya akan perintahkan Bara untuk mengatur izin cuti kamu selama beberapa hari. Jika masalah sudah diselesaikan, dan bila kamu memang masih diperkenankan kerja di sini, saya akan menghubungi kamu kembali."
Dibandingkan semua orang di hotel ini, hanya reaksi Bara yang benar-benar sangat Arum khawatirkan.
*
"Arum, Hey!" Gallend menghentikan langkah ketika sosok yang dicarinya muncul dari balik pintu kantor D'Amore Organizer. Lucu memang, ia sengaja hanya meminum jus saat meeting bersama klien di resto hotel tadi, karena sengaja menemui Arum untuk mengajaknya makan siang.
Gallend selalu berusaha menanyakan pada dirinya sendiri, mengapa ia bisa selalu seolah-olah tertarik untuk mengajak Arum mengobrol. Sepanjang hidupnya, ia menjadi penganut alasan logis yang tidak bersedia memasukan alasan klise seperti hati jika menyangkut dengan wanita. Banyak wanita cerdas dan menarik yang ia temui. Tidak semuanya yang bisa masuk ke hati Gallend, bahkan dari banyak mantan kekasihnya saja, hanya ada satu yang benar-benar pernah memegang hatinya.
Tapi, Arum.. Gallend tidak mengerti, mengapa Arum seperti memegang peran sebagai magnet yang tidak pernah gagal menarik Gallend, yang sudah pasti memegang peranan logam. Tentu saja, ini bukan cinta.
"Udah makan siang belum?" tanya Gallend dengan senyum lima jari teramat lebar, tapi tidak lebih dari lima detik senyum itu lenyap perlahan-lahan kala mendapati mata Arum yang memerah. Menatapinya bengis.
Hanya dalam sepersekian detik, Gallend sadar ada sesuatu yang terjadi menimpa perempuan itu. Walau pun kesal, biasanya Arum selalu membalas setiap ucapan Gallend, meski dengan sewotan. Tapi, kali ini berbeda.
Ada amarah dan kecewa yang menggelora di kedua manik matanya, yang tepat ketika Gallend berupaya menyebut namanya lagi dengan lebih pelan, setitik air mata mengalir dari mata bulat yang biasanya kerap memancarkan keceriaan dan kepolosan itu.
"Rum?" panggil Gallend lagi, tidak jera berusaha sembari memegangi sedikit bahu Arum. Karena demi apa pun, Arum yang seperti ini kelihatannya sangat menakutkan.
"He-hey.." Gallend tersenyum kikuk. "Kamu kenapa-" Belum tergenapi perkataannya, Gallend tersentak karena Arum sudah melengoskan wajah dan beranjak pergi meninggalkannya. Entah ke mana. Begitu saja. Tanpa mengucap sepatah pun.
"Rum!"
Perempuan itu kelihatannya benar-benar marah. Sampai tidak terganggu dengan seruan Gallendra kemudian-yang bahkan untuk beberapa orang yang lewat di sekitar mereka, langsung mengalihkan perhatian menatapi Gallend dan Arum bergantian. Lalu sesekali saling berbisik.
*
Kamu baik-baik aja?
Setelah membaca pesan itu, Arum mengunci ponselnya hingga layarnya tidak memancarkan cahaya lagi.
Satu pesan, berisi empat kalimat, dari Bara. Tapi, hanya dengan membaca sebaris pesan singkat tersebut begitu saja, Arum merasa ingin menumpahkan tangisannya kembali. Tidak jera, meski sudah hampir seharian ia bergelung di kamar dengan meratapi kesedihan. Ia bahkan mengabaikan keusilan sang kakak yang berkali-kali mengetuki kamarnya. Entah memiliki firasat bahwa adiknya sedang memiliki masalah berat, atau memang bahagia mengusik Arum mumpung sudah tiga hari ini adiknya tidak bekerja.
Yah, alasan paling masuk akal yang bisa dijelaskannya pada orang tua adalah dirinya sedang didera sakit. Jelas, alasan ini hanya akan bertahan untuk beberapa hari. Setelahnya Arum harus mencari alasan lain, mungkin mengatakan bahwa tugas pekerjaan di hotel sedang tidak banyak sehingga Arum diizinkan bekerja dari rumah.
Bagaimana pun, ia tidak siap mengatakan yang sebenarnya.
Menghela napas, ditatapnya kembali ponsel yang berada di atas pangkuan. Merenung.
Pertanyaan Bara barusan sungguh memberi efek besar bagi Arum, membuatnyan tidak bisa mencoba bertahan agar tetap terlihat baik-baik saja. Arum terisak. Tangisnya pecah kembali, teredam dalam kedua telapak tangan yang menangkup wajahnya sendiri. Kedua kakinya bertekuk rapat, duduk di atas keramik kamar yang dingin.
Hujan di luar juga seolah menambah laranya.
Berbagai ingatan peristiwa yang terjadi di hidupnya semenjak kehadiran Gallendra, beruntut saling berkejaran mengisi benak. Bagai kilas film yang diputar cepat, hingga pada suatu titik, kepalanya mencapai rasa pusing yang rasa-rasanya siap meledak sebentar lagi, hingga gadis itu memukuli kepalanya sendiri berulang kali.
Tatapan meremehkan orang-orang, bahkan tatapan mesum beberapa lelaki yang didapatkannya. Kemarahan Rumi, Padma, Guntoro, Bu Paranita, dan Bara.. juga video yang entah bagaimana bisa tersebar luas itu. Semuanya membuat kepala Arum sakit!
Rekaman video yang sempat diperlihatkan Rumi dan Padma, mempertontonkan jelas bahwa Arum dan Gallend memang dalam keadaan setengah tak berbusana. Video berdurasi sekitar enam jam itu, menunjukkan jelas Arum yang hanya mengenakan bra—hanya selama beberapa menit karena setelahnya ia menutupi tubuhnya sampai ke bagian dada dengan selimut begitu sudah naik ke atas ranjang. Beruntung gaunnya tertahan di pinggang, sehingga bagian bawah tubuhnya tak terekspos juga. Jika tidak, dunianya pasti akan binasa sehancur-hancurnya.
Tubuh atasnya yang polos, hanya tertutupi pengaman di bagian dada, saja sudah membuat Arum malu luar biasa. Ke mana lagi harga dirinya? Fakta bahwa ia mabuk saja sudah sangat salah. Jika keluarganya tahu, mereka pasti akan marah besar.
Dan Gallend, hanya mengenakan boxer pendek setengah paha dan bertelanjang dada. Sejak awal keduanya tersorot dalam kamera, Gallend yang lebih dulu berbaring di atas ranjang. Lelaki itu hanya beberapa kali meringkuk, memegangi kepala dan perutnya yang mungkin pengar akibat mabuk, sebelum sepertinya benar-benar tertidur karena tidak ada pergerakan lagi setelah posisi menelungkup. Sementara Arum, sejak awal memasuki kamar hotel, ia langsung menuju kamar mandi. Dua puluh menit setelahnya, baru keluar dengan kondisi pakaian atas hanya menyisakan bra. Lalu, seolah tidak menyadari keberadaan Gallend, ikut merebahkan dirinya di sisi lelaki itu, membalut tubuh dengan selimut sebelum akhirnya tertidur juga.
Setidaknya dari video itu, Arum bisa yakin bahwa memang tidak ada hal-hal tak senonoh yang terjadi di antara ia dan Gallend. Tapi, kehormatannya seakan terkupas setengah karena bagian atas tubuhnya bisa dilihat oleh banyak mata. Termasuk oleh lelaki yang bukan muhrimnya.
Arum terisak perih. Ia menggamit kerah baju yang sudah basah karena air mata. Tepat saat itu, layar ponselnya menyala kembali tanpa nada.
Ia menoleh.
Hari ini kamu di D'Amore?
Gallendra. Mungkin lelaki itu tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Belum sempat Arum membalas, layar ponselnya memperlihatkan pesan-pesan beruntun lagi.
Boleh ketemu?
Tolong, angkat panggilanku.
Gallend memang meneleponnya hampir puluhan kali sejak pagi tadi. Tapi, enggan ia angkat.
Seenggaknya, balas chatku, Rum.
Please.
Jangan menghindar lagi. Gimana pun aku ngerasa bersalah sama kamu.
Rum?
Kamu beneran lagi semedi di Goa Jomblang, ya?
Aruuuuuuum.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro