Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 14] Permulaan

"Apaan, sih?" Arum memalingkan wajah. Bibirnya maju beberapa senti setelah mencebik sebal. Sudut bibir Gallendra tertarik ke atas, geli melihat reaksi perempuan itu.

"Mas Gallend mending pulang aja kalau di sini cuma cari gara-gara sama saya."

"Siapa yang cari gara-gara?"

"Itu tadi!" Telunjuk Arum melesat teracung, menyentak Gallend karena hampir saja jari perempuan itu menusuk matanya yang tadi sempat mendekatkan wajah untuk melihat ekspresi Arum lebih jelas. "Kenapa tadi tiba-tiba nanya gitu? Mas Gallend enggak usah ngalihin pembicaraan awal, ya."

Gallend mengangguk paham. "Jadi, kamu maunya kita masih debat nama kucing?"

"Ya enggak juga."

"Kalau gitu, kamu beneran suka sama Bara?"

Tidak butuh dua detik untuk Gallend berteriak kesakitan karena kakinya diinjak Arum dengan wedge milik perempuan itu. Spontan tangan lelaki itu mengusap cepat kaki kanan yang telah jadi korban kekerasan Arum. Meski kaki Gallend terbalut sneakers sebagai pelindung, tidak tahu seberapa besar energi yang Arum miliki sampai bisa membuat kaki Gallend terasa berdenyut sekarang.

"Mas Gallend, ih!"

"Lho?" Berusaha menahan kesal, Gallend melanjutkan pertanyaan lain yang menurutnya lebih menarik dibahas. "Kan, tadi ada Guntoro juga. Kok, kamu enggak khawatir bisa buat dia salah paham? Kenapa harus lebih cemas sama Bara?"

"Bukan urusan Mas." Arum membalas tatapan Gallend dengan mata bulatnya yang sengaja ditajamkan, tapi entah kenapa justru terlihat menggemaskan di mata lelaki itu.

Bergeleng sekali, menepis satu intuisi yang Gallend kenali jelas sebagai sentimen ketertarikan, lelaki itu mengendikkan bahu. Mengalihkan bahasan. "Oke, deh, kalau enggak mau kasih tau."

"Lagian Mas Gallend ngapain, sih, ke sini? Mau nguntit saya, ya?" pertanyaan Arum langsung mengangkat satu alis Gallend. Seakan tak peduli, Arum terus melanjutkan ocehan. "Mas bisa Bahasa Indonesia enggak, sih? Atau saya mesti pakai Bahasa Ibrani biar Mas bisa ngerti?"

"Kalau saya bisa Bahasa Ibrani, saya jadi penerjemah akhir zaman, Rum. Bukan direktur EO."

"Ya, pokoknya," Arum mengibaskan tangan. Tidak berniat meladeni candaan lelaki di sebelahnya lagi. "saya udah bilang, kan, enggak usah ungkit-ungkit masalah yang kemarin."

"Saya hanya mau memastikan kondisi kamu. Habis kamu enggak balas-balas chat saya, sih. Kamu sengaja menghindar lagi?" tanya Gallend.

"HP saya enggak ada jaringan, Mas." Arum berkilah.

"Kamu tinggal di Gua Jomblang?" sindir Gallend, karena ia yakin bukan itu alasan Arum tidak pernah membalas pesannya yang sudah tiga kali ia kirimkan—hanya benar-benar untuk mempertanyakan kondisi Arum.

Arum mencebikkan bibir, kebiasaannya yang selalu berhasil membuat Gallend serasa ingin meng-uyel-uyel wajah gadis itu biar mirip seperti adonan donat. Pasti lucu.

"Ya, makanya jujur, Rum. Enggak ada jaringan tapi bisa online WA sampai jam sebelas malam."

Dalam sekali gerakan, kepala Arum berputar cepat, menoleh dan menatap horor pada Gallend. Mungkin tak percaya mengapa Gallend begitu antusiasnya memerhatikan media sosial gadis itu.

Usai tersenyum jahil, Gallend menghela napas. Sementara Arum mengalihkan pandang pada apa pun selain Gallend.

Mereka diam hampir setengah menit, berusaha menekuri isi pikiran masing-masingm tentang mengapa keduanya jadi terlibat dalam peristiwa yang belum diketahui akhirnya akan bagaimana.

Gallend menyesal. Sungguh. Mengapa kedatangan lelaki sialan itu setelah bertahun-tahun lamanya, di malam perayaan tahun baru, bisa membuat Gallend—yang biasanya pandai mengatur kadar alkohol untuk diminum—jadi tidak terkendali mengkonsumsi minuman laknat tersebut hari itu.

Sialan.

Benar-benar sialan.

Bisa-bisanya ia juga lupa semua yang terjadi malam itu! Tidak masalah jika semesta menghukumnya karena sudah berbuat kasar pada orang itu. Tapi, kenapa Arum harus ikut diseret dalam karma yang seharusnya hanya diperuntukkan padanya?

"Kamu beneran enggak apa-apa?" Gallend bertanya, setelah mati-matian mengusi perasaan buruknya. "Enggak ada perubahan yang aneh sama diri kamu, kan?"

Gelengan lemah Arum membuat Gallend menghela napas lega.

"Enggak apa-apa. Beneran, Mas." Kali ini, nada suara Arum tidak seperti biasanya yang kerap mengundang kesal lantaran terus mengajaknya bertengkar. Suara gadis itu barusan terdengar getir, membuat Gallend makin dilanda rasa rasa bersalah.

"Tapi.." Arum mengangkat wajahnya yang semula menunduk. Memandangi Gallend Kembali. "makasih, Mas." Sebuah senyum bibirnya ukirkan. Sialnya, tanpa dicegah menyengatkan jantung Gallend dalam sedetik, meski lelaki itu yakinkan bahwa rasa tersebut hanya euforia sesaat karena sering berdekatan dengan Arum belakangan waktu ini.

"Buat?" tanya Gallend.

"Udah ngalihin perhatian Mas Bara tadi. Makasih banyak. Jujur, saya malu banget hampir ketahuan bohong."

Gallend ber-oh singkat tanpa suara. Tadi dia memang sengaja mengalihkan perhatian Bara, saat melihat raut Arum kentara tidak nyaman di dekat lelaki itu. Ia cukup lama memperhatikan gerak-gerik keduanya—yang tidak snegaja terlihat— dari sofa lobi saat sedang bicara dengan klien Mahameru Production yang berjanji temu di D'Amore Hotel.

"Besedir." Jawab Gallend.

"Hah?"

Menyunggingkan senyum jahil, Gallend menjawab kebingungan gadis di sebelahnya. "Oke."

Belum sempat Arum mengangguk-angguk mengerti, ucapan Gallend setelah itu langsung membuat gadis itu melotot kesal.

"Itu bahasa Ibrani, lho. Tadi katanya mau ngajak aku komunikasi pakai bahasa itu, masa enggak tau artinya?"

Mendengkus kesal, Arum segera berkata dengan urat-urat leher menegang. "Mas Gallend pasti pernah cita-cita jadi penerjemah akhir zaman, kan? Cuma alih profesi aja, karena enggak bakalan direkrut karena tampang Mas mesum."

Gallend terbahak, cukup keras, sampai mengalihkan perhatian beberapa orang yang ada di sekitar mereka. Dan itu membuat Arum makin mengerucutkan bibir. Dia, kan, baru saja mengejek Gallend. Bukannya marah, kenapa lelaki itu malah ketawa, sih?

Sementara dalam derai tawanya sembari memegangi perut, diam-diam Gallend melirik Arum yang sudah mengarahkan wajah ke depan.

Mesum.

Kata yang selalu menggambarkan Gallend dalam benak gadis itu. Gallend mungkin tidak suka jika orang lain terus-menerus mengatainya seperti itu, tapi untuk Arum..

Gallend tidak bisa tidak menyukai kata itu.

*

Gallend menyebalkaaan. Hanya karena Arum terpaksa meladeni telepon lelaki itu sebelum berangkat ke hotel tadi—cuma karena tak ingin disindir tinggal di goa lagi— Arum jadi berburu waktu untuk bisa tiba tepat waktu di D'Amore. Joppa-nya memang tidak berulah lagi, tadi Arum harus rela kendaraan kesayangannya itu dipinjam sang kakak untuk mengajak kencan anak kampung sebelah—yang entah benar entah tidak. Jadilah Arum memesan ojek online, tapi nahasnya malah terjebak macet setengah jam di jalan Malioboro.

Arum berjalan cepat menuju kantor D'Amore Organizer di lantai tiga. Rasa takut akan diomeli Paranita, sang Event Manager, karena lima belas menit lagi akan dilangsungkan rapat, membuat gadis itu sempat tidak menyadari perhatian orang-orang yang tertuju padanya.

"Dia gadis itu, ya?"

"Mukanya polos, sih. Enggak nyangka kelakuannya bejat."

Arum berhenti menggigit bibir karena gugup, dan menoleh pada tiga wanita di sudut lift karena bisikan yang barusan terucap namun cukup jelas didengar dari salah satu orang itu—hanya ada mereka dan Arum seorang di kotak pengangkut ini—rasa-rasanya cukup kasar di telinga di telinga Arum. Dan tepat kala pandangannya bertemu dengan pandangan mereka yang jelas-jelas terarah menatapnya, Arum terhenyak.

Seolah sadar Arum merasa sedang dibicarakan, ketiga wanita tersebut mengalihkan wajah dan saling berbisik lagi. Entah apa. Beberapa menit kemudian, kecanggungan di antara mereka tertunda dengan kehadiran dua lelaki yang masuk ke lift dari lantai dua.

Arum berdiri semakin ke sudut, meremas sling bag-nya yang tersampir di bahu kiri, dan menundukkan wajah. Hatinya gundah, tidak nyaman, merasa bahwa kedua lelaki tadi juga sempat mencuri pandang padanya dengan sorot meremehkan.

*

"Arum!"

Langkah Arum terhenti di ambang pintu masuk Ð'Amore Organizer. Menoleh ke sumber seruan barusan, ia tersenyum. Bibirnya membuka, baru akan mengucapkan kata selamat pagi pada kedua sahabatnya di kantor, tapi hanya dalam beberapa detik ia sudah diseret paksa menuju sebuah koridor dekat toilet wanita di lantai tiga.

"Kalian ada apa, sih?" Dalam sekali sentakan, Arum melepaskan genggaman tangan Padma di pergelengan tangannya. "Kenapa datang-datang langsung narik aku kayak gini?"

"Kita temanan udah lama, kan, Rum?"

Arum tertegun, nada suara Padma sarat rasa kecewa. Tapi.. kenapa? Apa Arum buat salah padanya?

Mengangguk sebagai jawaban, tidak tahu lagi harus berkata apa, Arum menatap Rumi dan Padma yang kini melayangkan tatapan tidak percaya, kecewa, dan... marah?

"Terus kenapa kamu enggak pernah cerit—"

"Pad, udah." Rumi menahan perkataan perempuan di sebelahnya.

Arum tidak mengerti, bahasa tubuh kedua sahabatnya sangat menakutkan.

"Rum.." Rumi memanggil setelah menghela napas, menatap Arum dengan kesabaran yang sepertinya berusaha keras ia tahan. "Tolong kamu bilang yang sebenarnya ke aku sama Padma sekarang, please."

Arum menggeleng pelan, masih tidak paham. "Ma—maksudnya?"

"Kamu pacaran?"

"Hah?"

"Kamu punya pacar?" Rumi mengulang pertanyaannya. "Kalau iya, siapa?" lanjutnya lagi.

Arum menelan ludah. Rumi dan Padma tidak pernah semarah ini saat bicara padanya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, Arum menggenggam ujung kemejanya.

"Atau kamu malah diam-diam udah nikah? Kamu kawin sirih?!" Padma yang mungkin pusing dengan diamnya Arum, bertanya dengan nada setengah memekik. Menyentak Arum kuat dan semakin dilanda gelisah.

"Padmaaa, please!" Rumi menekan setiap katanya. "Jangan ngelantur."

"Gimana enggak ngelatur, Mi?" Nada Padma yang meningkat satu oktaf membuat kaki Arum melemas. "Arum enggak mungkin ada di ruangan itu kalau mereka bukan suami istri!" kalimat berikutnya dari Padma mencengangkan. Arum merasa dunianya akan hancur setelah ini, hanya karena ia mulai bisa menebak ke mana arah pembicaraan.

"Kamu udah lihat grup chat divisi kita, Rum?" Rumi yang berkali-kali menghela napas, tampak berusaha tidak ikut emosi, bertanya tiba-tiba.

"Be—belum. Paket dataku habis. Baru mau ngisi nanti siang."

"Keburu lama, Rum. Kamu harus cepat klarifikasi masalah itu sebelum rumor kalian tambah nyebar ke seluruh D'Amore." Padma memijit pelipis, menatapi Arum lagi dengan sorot mata yang juga penuh bingung. "Aku enggak berani bayangin kalau sampe Bu Freya akhirnya tau dan lihat video itu. Pasti dia langsung ngamuk!"

"Kalian berdua ngomongin apa? Aku enggak ngerti.." belum mengerti. Tapi, kecemasan menyerang Arum dengan hebat sekarang.

"Kamu beneran belum lihat video itu, Rum?" tanya Rumi, berusaha mencari keyakinan. Melihat gelengan sang sahabat, gadis itu berdecak. "Padahal anak-anak divisi lain udah share video itu ke mana-mana, Ruum. Ya ampun! Gimana ini?"

"Vi—video apa maksudnya?"

"Video kamu sama Mas Gallend."

Tamat sudah. Bagaimana nasib Arum setelah ini? Jika tadi saja, sudah ada beberapa orang—yang kemungkinan besar pegawai di hotel ini dari divisi lain—yang memandanginya dengan penilaian seolah ia adalah wanita rendahan.

"Arum," Rumi memegangi pundaknya, merasakan jelas bahu Arum menegang. Mata sahabatnya yang polos itu memenderkan kegelisahan yang bisa dengan mudah Rumi tangkap, dan semakin memberikan rasa bersalah untuknya karena mungkin Arum memendam masalah itu sendirian selama ini.

Entah apa pun yang terjadi, tapi dia yakin Arum tidak pernah berniat menghinakan dirinya sebagai perempuan. Apalagi di depan Gallendra yang selama ini sering Arum benci.

"kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita sama aku dan Padma. Jangan pendam semuanya sendiri."

Padma mengusap wajah kasar. Sedikit merasa bersalah sudah bersuara keras pada Arum. "Maaf, Rum. Aku syok banget. Semua orang bicarain kamu, termasuk anak divisi kita. Aku kesal sama mereka. Mereka bilang kamu sok polos dan—" Tidak sanggup melanjutkan ucapan ketika melihat wajah Arum memucat, ia mengalihkan kalimat dengan suara lemah.

"apalagi kamu enggak pernah cerita ke aku dan Rumi tentang masalah ini. Sebenarnya kamu ada hubungan apa sama Mas Gallend, sih, Rum? Kenapa kalian bisa ada di satu kamar yang sama, bahkan dengan kondisi yang hampir telanjang?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro