Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Stage 13] Salah Paham

"Jadi, menurut kamu.." suara Bara membuat Arum terkesiap kecil. Lamunannya buyar dan kini berganti menatapi Bara yang kelihatan masih fokus membahas perihal temannya.

"teman saya harus gimana, ya? Di satu sisi dia mau nurut sama keluarganya. Tapi, di sisi lain, dia juga enggak bisa maksa hatinya sendiri buat suka sama wanita yang dijodohin dengannya itu."

Mengerutkan kening, Arum berpikir. Belum sempat ia mengatur pola kata dari pendapat yang ingin disampaikannya, pembicaraan mereka tertunda dengan kehadiran seorang pelayan yang membawakan makanan pesanan keduanya.

Bara mengucapkan terima kasih, begitu pun Arum yang sesegera pelayan tersebut pergi, langsung menyesap lime squash miliknya untuk sedikit menghilangkan ketegangan.

Berduaan dengan Bara saja sudah membuatnya keringat dingin karena gugup, apalagi disuruh bantu memecahkan masalah percintaan yang cukup krusial. Menerima perjodohan dari orang tua atau memperjuangkan cinta sendiri yang berpotensi tak direstui.

"Sebenarnya, saya percaya bahwa pilihan orang tua itu pasti punya niat baik untuk kita. Orang tua pasti milih sosok yang menurutnya paling baik untuk dijadikan pasangan anaknya, kan?"

Bara mengangguk.

"Dan menurut saya, usaha teman Mas yang mencoba berhubungan sama wanita itu, udah cukup membuktikan kepatuhannya sebagai anak, sih. Tapi, hasilnya tergantung lagi dengan perasaan teman Mas sendiri. Toh, orang tuanya pasti mau dia bahagia, kan? Kalau kenyataannya, teman Mas enggak bisa bahagia sama orang yang dijodohin dengannya.." Arum mengedikkan bahu sekali dan berkata penuh keyakinan. "saya rasa, sebaiknya perjodohan itu jangan dilanjutkan."

Sembari mulai memutar spaghetti aglio olio-nya dengan garpu, Arum melirik Bara. Kerutan di kening lelaki itu menandakan jelas dirinya mungkin sedang berpikir keras sekarang.

"Lagipula," Arum melanjutkan. "kasihan wanita itu juga kalau sampai hubungan mereka berlanjut ke pernikahan, tapi pasangannya ternyata enggak pernah mencintai dia sama sekali, lebih parah lagi kalau pasangannya malah cinta sama wanita lain. Itu miris banget, sih. Kalau saya di posisi ceweknya juga saya enggak bakal mau dijodohin."

Setelah memasukkan mi eke dalam mulut, Arum menatap Bara lagi dan sedikit terkejut saat mendapati tatapan lekat Bara. Tatapan yang untuk beberapa detik lamanya, tidak bisa Arum terjemahkan artinya dengan baik.

Kenapa? Apa Arum baru saja salah bicara?

"Eh, tapi ini menurut pendapat saya, ya, Mas. Semuanya balik lagi ke teman Mas sendiri, sih. Enggak nutup kemungkinan juga lama-lama dia bisa aja jatuh hati sama calon yang dijodohin dengannya, kan, kalau seandaianya dia mau nyoba lebih lama lagi menjajaki hubungan." Arum menjelaskan dengan cepat seraya menggaruk leher, merasa kikuk.

Tidak butuh waktu lama untuk Bara meresapi maksud semua perkataan Arum. Ia mengangguk. "Makasih, Rum. Sebenarnya, saya juga sependapat sama kamu, sih."

"Sama-sama. Maaf juga, Mas, saya cuma bisa bantu kasih pendapat seperti itu."

"Itu udah sangat membantu, kok. Saya lebih yakin sekarang untuk nyaranin hal yang sama dengan kamu ke teman saya itu. Sekali lagi, terima kasih, ya."

Melihat Arum mengangguk kuat-kuat dengan pipi menggembung karena berisi makanan, Bara tertawa pelan, sebelum mulai mengunyah daging iga bakar dari piringnya sendiri.

Kedua orang itu larut dalam perbincangan panjang, mulai dari berdiskusi masalah pekerjaan sampai Bara yang tiba-tiba saja tertarik menanyakan kehidupan sehari-hari Arum bila di akhir pekan. Menganggap bahwa itu hanyalah pembicaraan baisa yang pasti sering Bara lakukan dengan pegawai D'Amore lainnya, Arum menjelaskan juga. Meski hatinya ketar-ketir setiap kali mendapati senyuman Bara setiap kali memandanginya.

Saat Arum ke toilet setelah mereka berdua selesai makan siang, Bara memanggil salah satu pelayan untuk meminta bill. Usai memberikan tiga lembar uang ratusan ribu, pelayan lelaki dengan seragam putih itu meletakkan secarik kertas tebal berwarna cokelat ke atas meja.

Bara mengerutkan kening.

"Maaf, Mas. Saya sekalian izin promo, ya." "Ini brosur diskon. Akhir minggu ini restoran kami mengadakan diskon lima puluh persen untuk semua varian menu. Silahkan mampir, Mas. Karena sayang sekali jika dilewatkan, soalnya ini adalah pertama kalinya restoran mengadakan diskon setengah harga di tahun ini, dalam rangka perayaan pernikahan pemilik restoran. Selain makanan dan minuman, bakal ada live music juga, Mas."

Bara mengalihkan pandang ke sudut koridor, tempat Arum menghilang untuk menuju ke toilet tadi, dengan dahi mengernyit karena ucapan panjang lebar sang pelayan. Namun, seolah tak mampu membaca gurat gelisah yang terpancar di wajah pelanggannya, pelayan tersebut masih terus melanjutkan tawaran. Seakan bila ia berhasil menarik perhatian Bara untuk bersedia datang ke restoran di hari di mana diskon diadakan, lelaki yang Bara taksir dua puluh tahunan itu akan mendapatkan hadiah rekreasi ke Maldives yang menjadi surga liburan.

"Mungkin Mas bisa datang bareng pacarnya lagi."

Bara sontak menoleh dan menatap pelayan itu dengan sebelah alis sudah benar-benar terangkat.

"Pacar?" Bara memastikan pendengarannya tidak salah. Dia menelan luda kala pelayan itu mengangguk mantap dan menunjuki tempat duduk Arum.

"Mbak-mbak cantik yang tadi. Pacar Mas, kan, ya?"

Tepat setelah si pelayan bicara, Arum muncul dalam pandangan Bara. Wujud gadis itu yang masih berjarak beberapa meter, membuat Bara berkata cepat dengan memberi sorot mata memohon pada pelayan itu segera pergi. "Nanti saya ajak dia. Terima kasih, kamu boleh pergi sekarang."

"Mas Bara udah bayar, ya?"

Menoleh pada Arum yang telah menempati kursinya lagi, Bara membalas senyum gadis itu. Senyum yang selalu menghasilkan detak hampir tanpa jeda di jantung Bara. Senyum yang menjadi alasan kuatnya untuk membatalkan perjodohan yang bibinya tawarkan.

Sayang, si pemilik senyum tak pernah menyadari perasaannnya yang terpendam sejak tiga tahun ini.

*

"Kamu serius enggak bisa pergi?"

Arum menghela napas, juga menghentikan langkah. Ia menoleh pada lelaki di sebelahnya yang masih kukuh bertanya apakah Arum benar-benar tidak bisa pergi makan siang bersamanya. Diskon setengah harga—untuk kedua kali yang entah bagaimana bisa Bara dapatkan di hotel yang pernah mereka datangi seminggu lalu—tidak cukup mengalahkan rasa ketakutan Arum saat berdekatan dengan lelaki itu.

Bagaimana pun, Arum harus ingat bahwa Bara sudah memiliki kekasih. Dan gadis yang hari ini mengenakan setelan sweater katun berwarna cokelat itu, sama sekali tidak mau bila suatu saat dirinya disalahpahami sebagai perusak hubungan orang lain.

Lagipula, insiden bersama Gallendra dulu benar-benar menciptakan rasa tidak pantas baginya, bahkan untuk sekadar berada di dekat Bara. Bara juga aneh, setelah acara makan siang bersama mereka minggu lalu, lelaki itu jadi semakin sering menampakkan batang hidungnya di sekitar Arum. Kenapa, sih?! Arum, kan, jadi susah. Susah mengatur kata untuk berbohong, seperti sekarang.

"Iya, Mas. Saya harus ke Mantrijeron." Ujar Arum, ke sekian kali, dengan berusaha menekankan nama kecamatan yang disebutnya.

"Udah ada janji sama Glara Shop di sana. Susah buat diundur, Mas. Soalnya, pemiliknya sibuk banget. Ini aja udah berapa hari baru di-fix jadwal ketemunya. Kita harus segera deal sama mereka, lho. Pak Ardanta bilang souvenir acara nanti, salah satunya harus barang handmade dari situ." Arum menyebutkan nama perwakilan dari lembaga kementerian yang menyewa ballroom D'Amore untuk dijadikan tempat berlangsungnya pameran lukisan para seniman dari seluruh kota di Indonesia. Acara itu menjadi salah satu program Pekan Kebudayaan Nasional yang akan dilangsungkan bulan depan.

"Bukannya itu tugas Guntoro? Kamu yang ngatur vendor katering sama dekor, kan?"

Arum gelagapan, dia baru ingat Bara juga hadir dalam rapat bersama event planner dan Bu Paranita kemarin.

"Ta—tapi, Guntoro minta saya temani ke sana, Mas." Kilahnya, pasrah untuk berhenti mencari alasan yang lain. "Kalau gitu, saya ke coffee shop dulu, Mas Bara."

Arum membalikkan tubuh dalam sepersekian detik, dan langsung melesat pergi. Belum juga lima meter ia menjauh dari Bara yang masih berdiri diam di lobi hotel, menatap kepergiannya, sebuah seruan dari arah pintu utama hotel menahan langkah kaki gadis itu.

"Arum!"

Arum membeliak lebar, mendapati Guntoro kini setengah berlari menuju ke arahnya.

"Kamu tau enggak?" setelah mengatur napas tersengal, Guntoro berkata dengan wajah semringah. Tampaknya tak sadar sama sekali keberadaan Bara di belakang Arum.

"Aku enggak sabar banget ke Glara Shop!" segera Guntoro mengucapkan kata itu, Arum langsung menutup bibir lelaki itu dengan telapak tangan kanannya. Kesal, Guntoro menepis tangan Arum sambil bertanya "Apa, sih?!". Lalu dengan cemberut, teman Arum itu berkata seenaknya tanpa menyadari situasi. Situasi bahwa Arum mungkin akan segera kehilangan muka di depan Bara setelah ini.

"Kata Rumi, di Glara Shop pegawainya cakep-cakep buanget! Ayu tenan. Anak kuliahan semua! Kali aja aku datang ke sana dapat pacar, ya?"

Kedua pundah Arum merosot. Matilah dia.

Tidak berani sama sekali berbalik ke belakang untuk melihat bagaimana reaksi Bara—yang pasti mendengar suara keras Guntoro.

"Oh, iya, Rum? Ornare Decoration gimana? Udah deal belum? Sorry, aku enggak bisa temenin. Habis jadwalnya bentrok, sih, sama kunjungan aku ke Glara Shop."

"Arum—" dan saat suara Bara terdengar lagi, beberapa detik setelah Guntoro diam menunggu reaksi Arum, tubuh gadis itu menegang. Arum menggigit bibir, hatinya merapal doa, berharap Bara tidak mendengar atau bahkan lupa ingatan. Saat dia baru yakin untuk membalikkan badan, seruan lainnya terdengar.

"Sayaaang."

Tak hanya Arum, serta dua lelaki yang sejak tadi membuatnya pusing, tetapi beberapa orang yang berada di sekitar mereka di lobi ini, langsung mengarahkan atensi pada si Tukang Mesum yang Arum pikir sudah punah eksistensinya di D'Amore Hotel.

Gallendra.

*

"Lama-lama jidat saya bisa bolong kamu lihati terus, Rum."

Arum tersentak. Lalu berdecak. Kemudian, mencebikkan bibir dan melipat kedua tangan di dada.

"Kenapa?" tanya Gallend, sembari mengelus kepala makhluk berekor di pangkuannya. Makhluk itu kini balas menatap Arum dengan binar polos di matanya. Kucing liar yang entah bagaimana bisa berada di lobi tadi, persis di dekat kaki Arum, terus sesekali memejamkan, menikmati elusan telapak tangan si lelaki buaya darat yang beberapa saat lalu mengambilnya dan menggendongnya ke taman hotel.

Sialnya, setelah lelaki itu menyapa Bara, Guntoro, dan Arum. Lalu menyampaiakan keinginan untuk bicara penting bersama gadis itu. Tentu saja, di hadapan Bara dan Guntoro, Arum tak bisa menolak.

Di sinilah mereka. Saling duduk di ujung bangku taman.

"Kamu kecewa, ya, panggilan 'sayang'-nya tadi bukan buat kamu?"

Arum menoleh cepat dengan wajah masam. "Enggak." Diliriknya kucing di pangkuan Gallend lagi, lalu sedikit berjengit saat melihat hewan bercorak belang hitam-putih itu turun ke tanah, dan persis seperti Gallend, seenaknya saja tanpa berterima kasih, langsung berlari entah ke mana.

"Cuma bingung aja kenapa nama kucingnya bisa Madonna?"

Gallend terperangah sesaat. Bergeleng kepala, ia membalas ucapan asal gadis di sampingnya.

"Ya, karena dia betina. Kalau jantan baru namanya 'Joko.'"

"Kenapa tiba-tiba jadi melokal?"

Kening Gallend berkerut. "Hah?"

"Nama kucingnya. Tadi pakai nama barat. Kok, sekarang jadi nama jawa?"

"Suka-suka saya, dong. Emang salah?"

"Salah kalau Mas Gallend yang kasih nama."

"Lho, lho." Gallend memijit pelipisnya. Gawat. Mode menyebalkan Arum—yang harus diakuinya terlihat cukup menggemaskan, setelah lama tidak bertemu gadis itu beberapa hari ini karena kesibukan di Mahameru Production— sudah dimulai.

Dan sebentar lagi, pastilah gadis itu akan mengajak perang.

"Kok, jadi sewot, sih, Ruum?" gemas Gallend. Bukannya menjawab keheranan lelaki itu, Arum malah mengalihkan bahasan.

"Tetap aja, Mas Gallend hampir bikin Mas Bara salah paham."

Hening. Arum yang sedang menundukkan kepala dengan bahu terkulai lesu, menampilkan semburat merah muda yang samar muncur di pipinya. Semua itu berhasil membawa Gallend pada satu kesimpulan.

"Kamu suka sama Bara?" tanyanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro