[Stage 12] Perjodohan
"Arum?"
Lambaian satu tangan Bara menyentaknya, membuat Arum tergugu canggung. "Eng—enggak, Mas. Enggak apa-apa, makasih. Makasih banget. Tapi enggak perlu repot-repot. Saya antar motornya ke bengkel aja, paling cuma sebentar dibenerinnya."
"Kalau lama, gimana?" pertanyaan Bara melahirkan kerutan di kening Arum.
Benar juga. Bagaimana jika perbaikannya lama? Apalagi, kali ini si Joppa tampaknya benar-benar dalam mode ngambek. Sudah berapa kali Arum coba menstarter motornya lagi, tapi tak ada tanda-tanda si Joppa akan bernyawa kembali.
"Lagipula bengkel di daerah sini masih jauh, Rum. Saya antar aja, ya? Sebentar lagi mau maghrib juga."
"Tapi motor saya—"
"Saya bisa hubungin orang bengkel langganan buat di ambil, kita tungguin sebentar sampai dia datang, terus saya antar kamu pergi ke rumah teman. Nanti pulangnya kamu bisa mampir ke bengkel itu. Gimana?"
Untuk beberapa detik, dahi gadis itu masih berkedut memandangi Bara yang tidak berhenti melemparkan tatap cemas untuknya. Sebegitu baiknya sang atasan, sampai begitu peduli pada kesusahan karyawannya. Sebagai bawahan, Arum terharu. Masalahnya, berada di dekat Bara lebih lama berpotensi besar mengoyak luka di hatinya lagi.
Arum takut tidak kuat lama-lama menahan rasa sedihnya tiap mengingat Bara sudah memiliki kekasih.
Sayangnya, lelaki itu justru menerjemahkan raut ketakutan Arum dengan makna lain, hingga ia berkata, "Tenang aja. Motornya enggak bakal hilang, kok. Kalau hilang nanti saya ganti."
Terkejut, Arum segera mengibaskan kedua tangan di depan dada. Bara memang berhati malaikat, tapi tidak perlu sebaik itu menggantikan barang orang lain yang rusak bukan karena kesalahannya.
"Enggak us—"
"Ganti sama motor-motoran, maksudnya."
Melongo, pada akhirnya gadis itu menyunggingkan senyum karena candaan Bara. Ia mengangguk. Tidak lucu juga jika mereka terus saling tawar-menolak. Lagipula, Arum memang butuh waktu lebih cepat untuk bisa tiba di rumah Chaca.
"Kamu masuk aja ke mobil." ujar Bara lagi, menunjuk Rush-nya yang terparkir sekitar dua meter di belakang. Pandangannya jatuh lagi pada Joppa yang tampak segera membutuhkan pertolongan. "Saya hubungin bengkelnya dulu."
*
Arum keluar dari kamar mandi, menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah dirasa cukup kering, disampirkannya handuk pada hanger gantung di sudut kamar.
Sehabis melakukan ritual perawatan malam di wajah, gadis itu duduk di atas ranjang dan mengecek gawai. Niat hendak menelusuri media sosial tertunda, sebuah notifikasi chat tiba-tiba masuk ke whatsapp-nya.
Dari nomor berujung angka delapan dua. Tak tersimpan di daftar kontak.
Yang membuat Arum kini menautkan alis, bukan nomor itu, tapi kalimat dari chat tersebut.
Kamu enggak mual-mual, kan?
Siapa yang mengiriminya pertanyaan absurd begini?
Sebelum Arum tertarik mengetukkan jari-jarinya di layar keyboard, notifikasi lain bermunculan. Dari pengirim yang sepertinya sama. Karena pertanyaan berikutnya masih tetap seputar kesehatan Arum.
Kamu ngerasa pusing enggak?
Ada muntah-muntah?
Badan kamu baik-baik aja?
Oh, maaf. Aku lupa bilang. Ini Gallendra.
Spontan Arum melempar gawai ke atas ranjang. Ia memegangi dada dengan mulut menganga, menatap benda berteknologi canggih yang terdepak ke dekat kakinya. Butuh beberapa detik untuk Arum mendesah keras. Lalu mengerucutkan bibit.
Hanya membaca nama pria itu saja serta merta membuat ubun-ubunnya panas.
Selayaknya mendapatkan pesan berisi sandi rahasia dari organisasi kejahatan, Arum mengambil gawainya dengan gerakan hati-hati. Seolah jika ia bertingkah cepat, maka wujud Gallendra bisa saja tiba-tiba akan muncul di depannya. Seperti jin dari lampu wasiat, bisa saja, kan, Gallendra keluar dari dalam gawai?
Bergeleng, untuk menormalkan akal sehat Kembali, Arum mencoba membaca lanjutan pesan yang dikirimkan Gallendra lagi.
Aku dapat nomor kamu dari Mbak Laras.
Cukup lama Arum menunggu, namun tidak ada kalimat-kalimat lanjut lainnya yang datang. Arum sedang berpikir keras bagai seorang agen intelijen yang tengah mengatur siasat terbaik untuk menangani pelaku tindak kriminal, saat smartphone-nya berdenting Kembali hingga ia tersentak, kaget setengah mati.
Maaf, Rum. Ini agak sensitif, sih. Tapi aku benar-benar harus tanya untuk meyakinkan.
Cukup lama Gallend mengetik. Beberapa kali sempat menghapus, lalu mengetik lagi.
Sampai..
Kamu...
ada terlambat menstruasi enggak bulan ini?
"Rum! Pinjem spidol, dong!"
Jantung Arum serasa copot dari rongga, kala pintu kamar terjeblak mendadak dan menampilkan wajah tanpa dosa sang kakak lelaki-nya. Pertanyaan Gallendra yang kini berhasil ia resapi dengan baik juga ikut membuat kepala Arum serasa akan meledak sebentar lagi.
"Kamu kenapa, sih, Dhek?" saat tatapan Garfield jatuh pada gawai yang sedang dipegangi oleh adik perempuan satu-satunya, ia terkik. "Habis nonton video porno, ya?" godanya.
Begitu susah menarik dan mengembuskan napasnya agar bisa kembali menenangkan diri, Arum segera turun dari ranjang. Mengambil spidol dari vas alat tulis berbentuk Pororo, dan melemparkannya ke tangan sang kakak. "Kok ngambek, sih, Dhek? Kenap—"
Belum selesai kalimat Garfield, punggugnya sudah didorong sekuat tenaga yang Arum kerahkan untuk mencapai pintu.
BLAM!
Garfield terperanjat, menoleh pada pintu kamar Arum yang telah ditutup oleh si empunya. Lelaki itu berdecak dan berkacak pinggang. Tidak terima dirinya diusir seperti kaum penjajahan. "Heran adek gue ini. Badannya aja kecil, tapi tenaganya ngalahin Popeye. Pasti bukan cuma bayam aja, tuh, yang di makan. Batu bata juga!"
*
"Arum!"
Arum menoleh ke sumber suara, tersenyum saat mendapati Bara yang juga mengulaskan sebuah senyuman padanya. Arum mengangguk sekali sebagai sapaan hormat.
"Gimana motor kamu? Udah diambil dari bengkel?" tanya Bara, setelah baru saja ikut berdiri di depan lift—bersama Arum yang sejak semenit lalu menunggu kotak pengangkut manusia itu terbuka.
Arum menoleh sesaat. "Belum, Mas." Jawabnya ramah. Sambil memperhatikan angka yang ditampilkan binary digit berwarna merah di atas pintu lift, ia melanjutkan, "Tapi, baru aja teman Mas chat saya. Dia bilang kalau motornya udah selesai diperbaiki. Jadi rencananya, nanti sore sepulang kantor baru saya ambil."
Bara ber-oh singkat.
"Makasih, ya, Mas. Atas bantuannya kemarin."
Bara tersenyum. "Kamu enggak capek apa, bilang makasih terus dari semalam?"
Cengiran Arum saat gadis itu menoleh padanya lagi membuat Bara tertegun sesaat. Berdeham kikuk, pada akhirnya ia menyampaikan kalimat lanjutan yang langsung menegangkan tubuh Arum.
"Kalau kamu enggak keberatan, saya boleh minta 'terima kasih' dalam bentuk lain?"
*
Sudah lima belas menit, bahkan hingga dirinya telah duduk di salah satu kursi, Arum terus berdecak kagum melihat pemandangan di sekelilingnya.
Restoran yang ia datangi bersama Bara—permintaan lelaki itu sebagai wujud nyata dari ungkapan terima kasih Arum— di bilangan daerah Kaliurang, sungguh membuat matanya termanjakan dengan suasana asri. Arum dan Bara berada di bagian outdoor resto yang berdekatan dengan air mancur, kolam ikan dengan jembatan, serta pepohonan di sekitar saung-saung lesehan.
"Wah, ternyata benar-benar asri.."
"Apanya?" Bara yang baru selesai menyebutkan pesanan pada pelayan, menatap Arum bingung.
Arum tersenyum. Pandangannya sudah berpindah pada Bara, lelaki yang beberapa saat lalu menanyakan kesediaannya untuk menemani dia makan siang di restoran yang berjarak cukup jauh dari D'Amore. Semula Arum ingin menolak, berusaha menjaga hatinya untuk tidak sering terlibat bersama Bara. Tetapi, saat Bara mengungkit masalah voucher diskon di restoran ini yang entah bagaimana bisa ia miliki, Arum tidak kuasa menolak lagi.
"Saya sering dengar dari anak kantor, Mas. Katanya, suasana di resto ini enak banget. Eh, bener. Adem suasananya." Arum menjelaskan dengan senyum teramat lebar. Tanpa ia sadar, itulah alasan Bara ikut tersenyum juga sekarang.
"Ooh! Katanya juga, di sini jarang banget ngadain diskon-diskon gitu, lho. Wong, kadang-kadang buat dapat meja aja susah. Mas Bara beruntung banget, deh, bisa dapatin voucher diskon 50 persen."
Berdeham, lelaki itu mengalihkan pemandangan ke sekitar untuk beberapa sesaat, sebelum menanggapi celotehan Arum. "Kebetulan aja ditawari pas lagi makan sendiri di sini." Bara tersenyum kecil. "Mungkin karena dia lihat saya makan sendirian, kali, ya. Jadi dikiranya jomblo ngenes. Makanya ditawari diskonan buat pasangan."
Keduanya terdiam sesaat, saling menatap. Sadar bahwa mungkin ada bahasanya yang terdengar rancu untuk Arum, Bara melanjutkan perkataan, "Karena saya belum punya pacar, jadi saya pikir bawa teman saja. Sayang rasanya nyia-nyiain voucher diskonan. Maaf, ya, gara-gara voucher diskonnya untuk berdua, kamu jadi ikut nemanin saya makan di sini."
Menggaruk pelipisnya dengan kikuk, Arum berusaha untuk tidak kelihatan tegang karena ucapan Bara. "Enggak, kok, Mas. Saya justru berterima kasih udah diajak kemari."
Sambil menunggu pesanan datang, Arum dan Bara berbicang masalah pekerjaan.
"Oh, iya. Jadwal sama PT. Rhapsodi sudah diatur ulang, Rum?"
"Udah, Mas. Tadi pagi baru aja closure [1] pas briefing sama perwakilan mereka. Tanggal dua puluh sembilan jadinya. Tanggal tiga puluh ballroom kosong, sih. Tapi, hari ngantor. Senin pula. Yang ada tamu-tamunya datang mukanya pada lecek semua gara-gara kecapekan." Jawab Arum.
Bara mengangguk mengerti. Untuk beberapa sesaat pria itu berpikir. Menimbang sesuatu. Saat merasa yakin untuk bertanya, ia bicara. Menatap Arum lekat.
"Oh iya, Rum. Kamu keberatan, enggak, kalau saya nanya pendapat kamu tentang sesuatu?"
"Boleh, Mas. Tanya aja."
Bara mengusap leher, terlihat canggung. "Mm, ini sebenarnya masalah teman saya. Tapi karena belum juga ketemu solusinya, saya jadi ikutan mikir dan pusing sendiri. Masalah ini agak sensitif, sih. Tapi, saya benar-benar bingung dan enggak tau lagi harus bertanya ke siapa."
"Kalau boleh tau, memangnya tentang apa, Mas?"
"Teman saya dijodohin sama wanita yang belum lama dia kenal." Kali ini, Bara menatap Arum sepenuhnya. Tidak menundukkan kepala seperti beberapa detik lalu. Seolah mantap untuk menanyakan kebingungannya. "Teman saya udah coba ketemu wanita itu, sih. Tapi, sayangnya.. udah berapa kali ketemu, dia merasa masih belum punya perasaan apa pun sama wanita itu."
"Mungkin teman, Mas, butuh waktu lebih lama lagi untuk kenal cewek tadi."
"Mungkin.." Bara mengangguk sebentar, tapi nada suaranya kembali meragu. "Tapi, masalahnya.. teman saya punya perasaan sama rekan sekantor dia. Mereka belum pacaran memang. Masih sebatas teman saja, karena teman saya itu memendam perasaannya selama ini."
Sesaat Arum tertegun. Perbincangan ini.. tiba-tiba saja menimbulkan getar perih di hatinya karena mengingat Bara yang berbicara tentang seorang wanita di telepon tempo hari.
Kenapa seolah-olah, keadaannya sama?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro