Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03 | Cekcok Lagi

Cewek bermata kecil itu memicingkan mata dengan mulut tetap mengunyah seblak yang baru saja dibuatnya. Bocah di hadapan bertingkah seperti orang yang kelaparan. Amitha terbilang tidak pandai memasak. Ia hanya memanfaatkan video-video yang lewat di beranda TikTok sebagai referensinya. Tapi, melihat Azka makan dengan selahap ini, Amitha yakin ia mampu menjadi Cheff di kemudian hari.

"Azka, kamu itu loh, masih bocah kok doyan seblak. Mana pedes, lagi."

"Emang ada aturannya, kalo seblak harus dimakan sama orang dewasa, Mbak?" sahutnya dengan melirik sekali. Wajahnya sudah merah padam menahan sensasi panas karena pedas sambal dari seblaknya.

"Ya, nggak. Cuma ... jarang aja bocah ingusan suka makan seblak pedes. Kalo mami tau, dimarahin deh kamu. Awas aja kalo nanti salahin Mbak yang ngasih sambelnya kebanyakan. Toh, itu kamu yang minta."

"Mbak bawel banget. Lagian, Azka udah nggak ingusan."

Amitha menggeleng kecil. Adiknya ini tak ubahnya seorang bocah sok yang kerap kali membuat Amitha geleng-geleng kepala. Untuk sesaat, keduanya makan dengan ketentraman. Segelas susu sudah Azka siapkan untuk menghalau rasa pedas setelah menandaskan seblaknya.

"Azka, kamu setuju, nggak, kalo misal mami nikah lagi?"

Bocah gempal itu mengangguk-anggukan kepala. Sedang Amitha dibuat melongo di tempat. Baru saja ia memancing dengan pertanyaan asal, Azka menimpali dengan ringannya.

"Loh, kenapa? Kamu mau punya dua mami sama dua papi?"

Azka meraih gelas, menggenggamnya dengan kedua tangan seraya bertanya, "Kenapa nggak? Enak, dong. Azka jadi dapet duit lebih banyak nanti."

Amitha berkedip sekali.

Seolah tak cukup, Azka kembali berujar dengan santainya. "Nenek bilang gitu ke Azka."

Amitha mengerjap. Dasar otak bocah. Jika sudah terdoktrin dengan uang, bagaimana Amitha kembali menyucikannya? Lagipula, kenapa sang nenek membujuk Azka dengan hal demikian? Tentu saja Azka akan tergiur. Sekarang, Amitha merasa ia tak memiliki dukungan.

***

"Kamu itu loh, sama orang tua yang sopan dikit. Walaupun ndak suka, kamu harus bisa hargain tamu mamimu. Kamu nggak kasihan kalo mami dapet malu gara-gara kamu?"

Belum cukup sang mami memberinya petuah kemarin, sekarang neneknya ikut-ikutan. Menyudutkan Amitha yang dianggap tidak sopan. Padahal, sekali lagi Amitha bertanya ... di mana letak tidak sopannya? Yang Amitha rasa, cewek itu hanya menunjukkan apa yang sebenarnya. Tidak mengada-ada dengan bersikap hangat pada tamu maminya.

"Kenapa, sih, Nek. Ami cuma diem doang dari tadi. Nggak sopannya kenapa?"

"Ya justru itu, loh," seloroh Diah. "Kamu tanya, kek. Ajak ngobrol. Buat si om nyaman karena merasa diterima di keluarga ini. Kalo sikapmu begitu terus, kami juga jadi nggak enak sama beliau."

Amitha membuang napas perlahan. Berbincang dengan orang dewasa selalu membuatnya lelah. "Memangnya siapa yang mau terima dia, Nek? Ami, 'kan, sudah bilang. Ami nggak mau punya papi tiri. Maminya aja yang nggak dengerin apa kata Ami."

Mendapat jawaban demikian, emosi Diah kian terpancing. Wanita itu menggeleng kepala berulang seraya berdecak tak habis pikir dengan tingkah cucunya. "Kenapa, sih? Kamu nggak kasihan sama mamimu? Dia butuh teman hidup. Papi aja kamu kasih izin buat nikah lagi. Masa mami kamu nggak?"

"Mi, udah." Eva melerai. Ia tak ingin Amitha dan ibunya berselisih. Eva rasa, masalah Amitha biarlah ia yang menghadapinya. Diah tak perlu terlalu ikut campur dan membuat Amitha seolah tersudut dengan desakkan Diah agar ia memberi izin Eva untuk menikah lagi.

Kini, giliran Amitha yang terbawa emosi. "Sekarang Ami tanya balik. Kalian nggak kasihan sama Ami? Ami udah punya dua mami, itu belum cukup? Ami harus punya dua papi juga? Mau sehancur apa keluarga ini nantinya?"

"Ami!" sentak Diah. "Siapa yang ajarin kamu ngomong begitu? Sejak kapan kamu jadi kayak gini? Nenek nggak suka! Sikapmu kayak anak yang nggak berpendidikan! Memangnya kenapa kalo punya banyak orangtua? Bukannya kamu bakal dapet kasih sayang lebih banyak, hah?!"

"Justru Ami bakal kehilangan kasih sayang lebih banyak lagi, Nek! Nenek nggak akan ngerti, karena Nenek selalu posisiin diri jadi mami. Pernah nggak, Nenek pikirin perasaan Ami sekaliii aja? Nggak, 'kan? Karena di pikiran Nenek cuma ada kebahagiaan mami ...."

"Ami! Kamu berani-"

"Ma, udah!" sela Eva. Ia tak ingin suasana semakin ruwet. "Udah, Ma. Eva mohon."

Dua wanita beda usia itu akhirnya diam. Kembali menekuri makanan di meja walau sudah tak selera. Waktu makan malam mereka gunakan hanya untuk berselisih. Eva membuang napas berat karenanya.

"Mi, Ami mau ngomong." Sudah kepalang rusak suasana, Amitha berencana menjalankan niatnya.

Wanita paruh baya yang tengah menandaskan air putih itu mengangguk. Mempersilakan Amitha untuk kembali mengangkat suara. Ia sempat heran, tak biasanya Amitha meminta izin terlebih dahulu hanya untuk berbicara.

"Amitha kebagian PRAKERIN di luar kota."

Eva terbatuk sekali. Ia mengelap sudut bibirnya sebelum berkata, "Kenapa ke luar kota? Luar kotanya ke mana? Kenapa harus kamu? Mami nggak kasih izin."

"Miii," mohonnya. "Ini udah keputusan dari pihak sekolah. Bu Mety pilih random muridnya, terus kebetulan nama Ami yang ada di sana."

Eva menggeleng kuat. Ia tak ingin Amitha hidup sendiri di kota orang. Sehari-hari saja, tak pernah Amitha lewatkan tanpa melibatkan dirinya. Bagaimana bisa ia membiarkan putri satu-satunya menghadapi hari-hari tanpa dirinya?

"Nggak, Ami. Mami nggak kasih izin. Biar besok Mami temuin bu Mety aja. Mami mau usahain kamu biar nggak perlu ke luar kota."

Tidak, tidak. Ini keluar dari rencana Amitha. Cewek itu mencoba meyakinkan sang mami agar ia mampu hidup mandiri tanpa perlu Eva khawatir. "Miii, apaan sih. Kalo mami ke sekolah, nanti Ami malu. Gimana kalo Ami dianggap nggak hargain keputusan sekolah? Lagian cuma di Tasikmalata, kok. Ami yakin, Ami bisa mandiri."

Baru saja perseteruan Diah dengan Ami berakhir, suasana kembali keruh karena ketidaksetujuan Eva jikalau Amitha harus jauh darinya.

"Mandiri apanya? Kamu nyari daleman aja masih teriak-teriak nanya ke Mami. Kamu udah bisa nyuci baju? Cuci piring, kamu mau? Yakin nggak jijik? Pokoknya Mami nggak kasih. Kamu diem aja, besok Mami ke sekolah."

Amitha menggeleng kencang. Ia nyaris kehilangan akal untuk membujuk maminya. "Mi, Ami bisa mandiri. Ami bukan nggak bisa nyuci baju atau nyuci piring. Ami cuma lagi males aja. Ami bisa, kok, kalo Ami mau. Kalo Mami nggak percaya, tiga hari ke depan biar Ami yang kerjain semua tugas di rumah."

Diah hanya diam memperhatikan. Selain capek beradu mulut dengan Ami, ia tak ingin semakin memperkeruh suasana. Meski sejujurnya, Diah juga tidak setuju jika Ami harus hidup sendiri di kota sana.

Eva menumpuk piring kotor di meja. Wanita itu menggeleng sekali mempertahankan keputusannya. "Nggak, Ami. Sekali Mami bilang nggak boleh, ya tetep nggak boleh. Nurut sama Mami. Jangan jadi pembangkang."

"Apa, sih, Mi? Udah, deh. Sampai kapan aku harus turutin semua keputusan sepihak Mami? Lagian, alih-alih masukin Kerin ke SMA, kenapa malah ke SMK? Mana sekolahnya nggak elit, lagi. Udah tau SMK ribet, harus prakerin-prakerin segala. Sekarang keputusan sekolah udah gini, ya udah Mami harus bisa terima."

Mendengar pembawaan Amitha dengan nada sedikit ketus, membuat Eva bungkam seketika. Ia merenungkan apa yang diucapkan Amitha yang sialnya benar sekali adanya. Eva yang telah memilihkan sekolah baru untuk sang anak. Sedikit banyak, Eva memiliki tanggung jawab terhadap apa yang didapat Amitha sekarang.

Wanita itu menghela napas berat. Bahunya tiba-tiba melorot dengan pandangan mata yang meneduh. Amitha sudah meyakinkannya bahwa ia bisa hidup mandiri. Jika anak itu saja yakin dengan dirinya sendiri, maka Eva hanya perlu mendukung keputusan anaknya.

"Ya, sudah. Mami izinkan, dengan satu syarat."

Diah mendongak, begitupun Amitha. Cewek itu merasa mendapat harapan atas apa yang Eva utarakan. Meski demikian, Amitha tetap bertanya penasaran atas syarat yang Eva maksud. "Syarat apa?"

"Kamu nggak boleh bener-bener sendiri, di sana. Setidaknya, kamu harus ada kenalan atau orang dekat di Tasik. Biar kalo ada apa-apa, kamu bisa minta tolong sama dia. Mami bisa sedikit tenang kalo ada yang temenin kamu nantinya."

Sejujurnya, Amitha tidak cukup yakin dengan apa yang ia yakinkan pada maminya. Ia hanya berusaha mendapat izin. Selebihnya, Amitha tak tahu dengan nasibnya nanti. Yang ia yakini, hidup mandiri di kota orang tidaklah semudah yang dibayangkan. Ia hanya berdoa, semoga selalu diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi hari-hari selama tiga bulan ke depan.

***

Heiyo Bestie!

Sebenernya Amitha itu bukan nggak bisa ngerjain pekerjaan rumah, cuma magernya dia udah kuadrat. Ngumpulin niat buat bersih-bersih aja bisa kalah cepet dari siput yang jalan sepuluh meter. Kerjaan rumah keburu kelar dikerjain sama orang rumah yang lain, awoakka.

Yaa begitulah. Kalo sama Amitha ngga usah heran lagi pokoknya.

Oiya, makasiw yang udah mampir!

Salam,
Rismacakap

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro