02 | Satu-Satunya Pria yang Tidak Disukai Amitha
"Amitha beneran mau ke Tasik? Sendirian?"
Yang ditanya berdeham singkat. Tak mungkin ia menceritakan alasan kebulatan tekadnya. Amitha merupakan anak baru di sekolah ini. Ia belum memiliki teman yang benar-benar dekat sejauh ini. Sekilas, ia mengubah posisi duduknya menjadi bersila.
Waktu istirahat tidak ia habiskan di kantin seperti sekolah-sekolah lain. Sekolah barunya ini tak memiliki kantin dengan meja berjajar beserta kursinya. Alhasil, para siswa hanya membeli jajanan--yang menurut kebanyakan orang merupakan makanan tak sehat--lalu dibawa ke lingkungan sekolah setelahnya. Entah akan dimakan di dalam kelas, di anak tangga, atau di koridor dengan duduk lesehan seperti Amitha dan teman-temannya saat ini.
Sekolahnya pun tidak terlalu besar. Entah kenapa maminya memilih sekolah ini untuk dirinya. Yang jelas, beliau memiliki seorang kenalan yang yang menjadi pengajar di sekolah ini. Niat hati, Amitha ingin masuk SMA saja agar tidak harus mengalami PRAKERIN yang merupakan kegiatan wajib bagi para siswa-suswi SMK. Tetapi, pilihan sang mami tetaplah menjadi keputusan akhir.
"Nggak sendirian banget, sih. Ada si Praga, temen sekelas kita. Agak pendiam sih, dia. Tapi tenang aja, ada si Rahel anak kelas sebelah. Terus si Aji yang orangnya lumayan asik juga. Kalo mau, aku bisa kenalin kamu sama mereka."
Amiha tersenyum singkat. "Makasih," ujarnya lalu menandaskan air mineral dalam botol. Sepertinya, ia memang harus PDKT dengan ketiga—minimal satu—orang yang akan menjadi temannya selama tiga bulan ke depan.
Sejujurnya, Amitha cukup tak yakin dengan keputusannya sendiri. Hanya saja, jika ia kembali mengingat hubungan mami dengan calon suaminya itu, darahnya selalu berdesir kesal. Bukan tanpa alasan, Amitha hanya tak ingin keluarganya semakin dipenuhi dengan drama. Amitha lelah dengan mereka—para orang dewasa.
Tiba-tiba, Amitha terpikirkan satu hal. Bagaimana jika kepergiannya justru membuat maminya nekat menikah dengan pria itu? Tidak mungkin. Maminya pernah bilang, dia tak akan menikah lagi sebelum mendapat izin Amitha. Setidaknya, Amitha bisa memegang ucapan serius dari maminya.
Amitha hanya perlu mengingatkan janji tersebut pada maminya nanti. Ah, ia juga harus terlihat sangat yakin saat membicarakan perihal penempatan PRAKERIN pada maminya di rumah. Ia sudah siap mengarang cerita. Setidaknya, dengan segala keyakinan, ia harus bisa mendapat izin sang mami untuk merantau ke luar kota.
Bunyi bel berdering membuat lingkaran yang berisi Amitha dan teman-temannya itu bangkit membubarkan diri. Setelah menepuk bokongnya masing-masing secara pelan, mereka berjalan ke arah kelas dengan perbincangan ringan tentang pelajaran yang akan dimulai setelah istirahat pertama.
Amitha meraup udara dalam-dalam dan membuangnya perlahan.
Ia bisa, Amitha pasti bisa.
***
Tak ada yang lebih menyenangkan selain menghabiskan waktu luang dengan tumpukan camilan, minuman bersoda, kasur empuk, maskeran, serta laptop yang memutar sebuah drama asal negeri ginseng. Entah sudah berapa episode yang disaksikannya selama seminggu ini. Yang jelas, di mana Amitha menghadapi waktu luang, di sanalah zona nyaman yang mengambil alih.
Pintu sengaja ia kunci. Karena tak ingin satu pun spesies manusia mengganggu dirinya, pun sang adik yang selalu nyelonong masuk dengan segala tingkah tidak jelasnya. Terkahir kali, bocah kelas lima SD itu merengek meminta Amitha menggoreng telur ceplok—padahal saat itu, maminya sedang ada di rumah. Memang dasarnya bocah itu selalu menyusahkan Amitha saja, hal kecil seperti mengganti air untuk ikan cupang saja, dia ingin Amitha yang melakukannya.
Mungkin karena dia merasa anak bungsu—meski kenyataannya begitu, ia menjadi bertingkah manja dengan segala rengekannya. Bukan sekali Amitha menegur adiknya, tapi sifat bebal dan nakal yang sudah biasa terdapat pada bocah laki-laki, Amitha menjadi lelah memberi nasihat padanya.
Cewek itu menggeleng sekali, sebelum kembali menaruh fokus pada layar di hadapan. Kacamata yang semula turun, ia naikkan hingga menurutnya pas. Satu jam, dua jam ... Amitha masih tenang menyimak putaran adegan demi adegan hingga sebuah ketukan pintu merusak fokusnya.
"Ami, buka dulu sebentar ..."
Amitha melirik jam di sudut kanan bawah laptopnya. Ada apa maminya mengetuk pintu kamar di sore hari? Biasanya, ia bisa tenang menonton hingga sebelum makan malam. Membuang napas berat sekali, Amitha berjalan membuka pintu yang sebelumnya dikunci.
"Kenapa, Mi?"
Sekilas, maminya memperhatikan penampilan Amitha. Rambut digelung tinggi, kacamata yang bertengger di pangkal hidung, kaos oblong abu tua, celana jeans sepaha, serta sandal bulu karakter kelinci yang baru kemarin dibelinya.
"Si om dateng."
Raut wajah Amitha berubah 180 derajat, yang disadari oleh maminya. Meski demikian, wanita itu mendorong pelan Amitha agar kembali masuk ke dalam. Menyuruhnya membetulkan penampilan yang menurutnya terlalu acak-acakan.
"Rapihin dulu penampilan kamu, biar agak rapi. Ami sapa om sebentar, baru nonton lagi. Mami tunggu di bawah. Jangan lama-lama, Sayang."
***
Sejujurnya, cewek dengan rambut terurai itu sudah berusaha menetralkan segala pergerakan. Hanya saja, tidak semua anggota badan bisa ia kontrol. Salah satunya ialah, entakkan kentara tiap langkah kaki hingga ia duduk pada sebuah sofa di hadapan pria tua.
Amitha menyebutnya pria tua, atas dasar kekesalan kepada beliau. Meski panggilannya hanya bisa ia simpan dalam hati, karena jika sang ibu mengetahuinya, bisa dipastikan Amitha tak akan dibiarkan makan hingga dua hari lamanya.
"Halo, Ami. Apa kabar?"
Amitha membuang muka dengan kentara. Punggung rampingnya ia sandarkan seiring udara yang ia raup dalam dan ia hembuskan perlahan. Berani sekali dia memanggil Amitha dengan panggilan khusus keluarga dan orang terdekat dia? "Baik," jawabnya super singkat. Tak lain, agar pria itu sadar dengan segala ketidaksetujuan Amitha terhadap hubungan mereka.
"Oh, iya," serunya tiba-tiba. Pria itu mendorong beberapa keresek plastik di atas meja, lebih dekat dengan Amitha. "Om bawa ayam geprek sama brownis, nih."
Amitha masih bergeming. Ia hanya melirik objek yang semula dijamah oleh pria itu. Jika boleh jujur, Amitha mulai tertarik dengan harum ayam geprek yang menguar. Ia sangat ingin merasakan sensasi pedas membakar mulut saat ini juga.
"Oh, hampir lupa. Ini juga." Pria di sana menggusur sekotak dus berukuran sedang di dekat kakinya. Senyumnya tak luntur sama sekali. "Om bawa sedus susu kotak rasa taro. Kata mami, kamu suka."
Mata Amitha sontak membola. Bagaimana bisa ia dibelikan sedus susu kesukaannya?! Demi apa pun, Amitha tak mampu menolak apa yang menjadi suguhan matanya saat ini. Tapi, ia harus tetap tenang dan menormalkan mimik wajahnya. Amitha harus tetap menjaga image dari pria yang tak disukainya.
Bukan tanpa alasan, pria ini merupakan calon ayah tiri bagi Amitha, katanya. Tapi, ayolah, Amitha tak membutuhkan ayah baru. Sudah cukup ia memiliki dua orang ibu. Ia tak mau lagi menambah sosok seorang ayah.
Maka bukankah tak salah jika Amitha mencoba egois untuk hal ini?
"Mi, ini udah? Ami mau lanjut nonton lagi," bisik Amitha pada Eva. Yang dihadiahi pelototan samar dari maminya. Inilah yang dianggap Eva bahwa Amitha tidak sopan pada orang yang lebih dewasa. Amitha terlalu memperlihatkan keengganannya. Anaknya itu seolah tak menghormati kedatangan tamu di rumahnya.
Sang nenek yang sedari tadi diam memperhatikan, menggeleng samar dengan tingkah cucunya. Beliau sangat gemas untuk memberi wejangan pada Amitha saat itu juga.
Eva paham, mungkin sulit bagi Amitha untuk menerima orang baru sebagai anggota keluarganya. Namun, tak bisakah Amitha mencoba barang menghormati pria pilihannya?
"Mbak! Mbak!"
Atensi ketiga orang di ruang tamu beralih pada asal suara. Terlihatlah seorang bocah gempal yang menenteng dua buah kantung kresek--entah apa itu isinya. Tapi apa pun itu, Amitha merasa adiknya akan menjadi penyelamatnya hari ini.
"Azka bawa bahan-bahan buat bikin seblak. Mbak bikinin, ya. Nanti kita bagi dua." Cengiran bocah itu membuat matanya kian menyipit. Ia berdiri di ambang pintu dengan tak memperhatikan keberadaan orang lain di ruang tamu.
Amitha tersenyum kecil. Jika biasanya ia merasa jengkel, kali ini, dengan senang hati Amitha bersedia menjadi babu adik satu-satunya itu. Baru saja cewek itu hendak mengangkat bokong, perintah sang mami membuatnya kembali menempelkan diri pada sofa.
"Azka, sini dulu. Ada om."
Bocah itu menghampiri ketiga orang yang lebih dewasa darinya. Ia mengulurkan tangan berniat menyalami tangan besar seorang pria di sana. Setelah dia cium sekilas, Azka kembali melirik sang kakak lantas menarik tangannya agar bangkit.
"Ayo, Kak. Azka pengin makan seblak."
***
Holaaa!
Amitha ini, sekalinya nggak suka sama orang, yaa gitu bawaannya. Tapi susu taronya tetep Amitha bawa ke kamar kok, pas 'pria tua'-nya udah balik ke rumah, wkwk.
Sangkyu udah mampir!
Salam,
Rismacakap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro