Setelah satu batang rokoknya habis, Arlan turun dari rooftop. Dia melihat Siwi yang duduk di pojok ruangan sendirian sembari mengaduk-ngaduk es pocong yang dia pesan tadi dan melihat jalanan. Arlan jadi merasa bersalah. Dia yang ngajakin cewek itu ke sini, tapi malah menelantarkannya gara-gara galau.
"Dokter sudah selesai merokoknya?" Siwi menyala Arlan dengan senyuman saat melihat lelaki itu menuruni tangga.
Arlan balas tersenyum. Betapa baiknya cewek ini yang seakan mengerti dan menyesuaikan suasana hatinya.
"Maaf ya lama," kata Arlan.
"Nggak kok," geleng Siwi.
"Kok nggak di makan?" tanya Arlan saat melihat mie ayam yang dipesan Siwi masih utuh.
"Nggak enak aja kalau makan sendirian," jawab cewek itu.
Arlan menghela napas terus duduk di depan Siwi.
"Maaf ya, aku yang ngajakin kamu di sini tapi malah ngacangin kamu. Aku lagi galau, tapi nggak mau galau sendirian," keluh dokter umum itu.
Siwi mengangguk. "Iya Dok, nggak apa. Apa Dokter masih mikirin Lana."
Siwi tahu tebakannya tepat saat melihat raut Arlan yang mendadak sendu.
"Aku jadi mikir apa keputusanku buat putus kemarin terburu-buru. Tapi kayaknya aku juga nggak bisa buat kembali," lirih Arlan.
"Kenapa nggak bisa?" tanya Siwi penasaran.
"Hubungan kami itu sudah terlalu melelahkan. Kami memang perlu berpisah sejenak dan merenungkan semuanya," jelas Arlan. "Kami sudah sepuluh tahun bersama. Kadang-kadang, aku merasa bahwa dia menjengkelkan. Aku tidak mau mendengarkan omelannya, jadi aku menuruti segala yang dia mau supaya cepat selesai. Sekarang aku sudah lelah untuk melakukan semua itu."
"Apa Lana menuntut banyak hal dari Dokter?"
Arlan tidak segera menjawab pertanyaan Siwi itu. Dia memikirkan kembali bagaimana sikap mantan pacarnya selama ini. Lana memang berusaha mengubahnya dalam banyak hal. Mulai dari selera fashionnya dan juga kebiasaan merokoknya. Namun dulu itu tidak terasa menjengkelkan bagi Arlan. Yang membuatnya lelah adalah rasa cemburu Lana yang besar. Tiap kali Arlan pulang malam untuk urusan pekerjaan, cewek itu pasti curiga dan menuduh Arlan macam-macam.
Arlan berkali-kali berpikir apa yang membuat Lana tidak percaya padanya? Padahal dulu Lana bukanlah cewek yang cemburuan macam ini. Arlan juga selama ini selalu setia. Sama sekali tak pernah terlintas dipikirannya untuk mengkhianati Lana. Lalu kenapa Lana berubah? Arlan sama sekali tidak mengerti.
"Dokter sepertinya butuh waktu. Sepuluh tahun yang kalian jalani memang tidak mungkin dihapuskan begitu saja," nasihat Siwi.
Arlan mengangguk. "Iya, kayaknya emang gitu."
"Apa Dokter pernah pacaran dengan cewek selain Lana?" tanya Siwi.
Arlan menggeleng. Lana adalah pacar pertama yang dia kira adalah pacar terakhirnya juga.
"Mungkin Dokter perlu mencoba berkenalan dengan lebih banyak orang."
Arlan mengangguk setuju. "Kamu bener juga."
"Gimana kalau Dokter coba pacaran dengan saya?"
Netra terbeliak lebar saat mendengar ucapan Siwi itu. Dia mengangkat kepala dan menatap Siwi yang tersenyum manis padanya.
"Sebenarnya saya sudah lama suka sama Dokter."
Arlan melongo. Siwi naksir sama dia? Siwi primadona rumah sakit tempatnya bekerja itu? Cewek yang cantik, seksi dan bohay itu? Kalau teman-temannya tahu mereka semua pasti iri padanya.
Melihat Arlan yang nggak berkata apa-apa Siwi menunduk malu. "Maaf, saya tiba-tiba bilang begini, Dokter pasti kaget ya?"
Siwi sendiri juga merasa apa yang dia katakan ini terlalu cepat. Tapi dia tidak dapat menahan perasannya lagi. Jika tidak mengatakannya sekarang entah kapan dia akan punya kesempatan. Arlan itu cukup populer. Sudah beberapa kali dia mendengar perawat dan bidan yang bilang pengen mencoba menyatakan perasaan pada Arlan. Siwi nggak mau dirinya keduluan oleh mereka. Bukannya dia sombong, tapi sebagai tetangga, selama ini dialah yang paling dekat dengan Arlan.
"Dokter tidak perlu buru-buru menjawabnya, Saya akan menunggu sampai Dokter bisa membuka hati kembali," senyum Siwi.
***
Bagaimana pendapat kalian tentang Siwi?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro