38. Rintik Perasaan
Leony tampak menengadahkan kepalanya. Menatap ke atas sana, pada langit mendung yang sudah menumpahkan airnya sekitar setengah jam yang lalu. Disertai oleh sedikit angin yang berembus beberapa kali. Layaknya memberika isyarat pada semua manusia di sana bahwa hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Lantas Leony beralih pada pesan yang masuk ke ponselnya. Tentu saja, itu dari Eros.
[ Hubby ]
[ Ny, kamu masih di kantor? ]
[ Ini sebenarnya aku udah di jalan. ]
[ Tapi, lagi beteduh bentar di halte. ]
[ Gimana? ]
[ Kamu tetap mau nungguin aku atau mau balik naik taksi aja? ]
[ Ehm ... ntar kamu keujanan loh bareng aku. ]
Leony tau itu. Kalau ia pulang bersama Eros dengan mengendarai motor, pastilah dirinya akan kehujanan. Walau mereka bisa mengenakan mantel hujan, tetap saja. Sedikit banyak Leony pasti akan merasa kedinginan. Dan layaknya pemikiran mereka sama, Eros kembali mengiriminya pesan.
[ Hubby ]
[ Ntar kamu dan Dedek sakit lagi, Ny. ]
Leony menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, ia mengusap perutnya yang makin hari makin membuncit. Seperti tengah mempertimbangkan pilihan yang ia punya sore itu.
"Belum balik, Ny?"
Satu suara yang menyapa indra pendengarannya, membuat Leony berpaling. Dan menemukan bahwa Sony yang baru keluar dari kantor, menghampiri dirinya. Tidak langsung beranjak dari pelataran kantor mereka.
Leony tersenyum tipis, menggeleng sekali. "Belum. Hujannya lumayan lebat juga sih, Son. Nggak tau deh kapan bakal berentinya."
Mengembuskan napas, Sony lantas melihat ke atas. Dalam hati membenarkan perkataan Leony. Dengan warna kelabu yang tampak begitu gelap, tentu saja cukup menjadi tanda bahwa ada banyak stok air yang perlu ditumpahkan kala itu. Dan itu pasti membutuhkan waktu yang lumayan lama. Tapi, kalau begitu apa artinya Leony tidak akan pulang sebelum hujan berhenti?
Eh?
Yang bener aja.
"Ehm ...."
Sony terdengar mendehem sejenak, seraya tangannya yang masuk ke saku celana. Mengeluarkan kunci mobilnya.
"Ini kayaknya emang nggak bakal berenti dalam waktu dekat deh. Bisa-bisa malam ntar baru berenti," lanjut Sony kemudian. "Atau ... kamu mau balik bareng aku?"
Tak mengira akan mendapat tawaran itu, Leony sontak memberikan respon yang amat alamiah. Ia tampak kaget dengan mata yang sedikit membesar.
"Ya ... timbang kamu kehujanan kan?" tanya Sony kemudian. "Lagian kelamaan nunggu di sini ntar kamu masuk angin lagi. Terus kalau hujannya nggak berenti gimana? Kamu mau di sini terus? Bisa-bisa malam ntar lagi kamu balik."
"Ehm ... itu ...."
"Gimana?" tanya Sony lagi. "Mau?"
Leony mengusap tangannya, tepat ketika angin kembali berembus. Membawa hawa dingin yang sekejap membuat cewek itu merasa bergidik. Namun, itu belum benar-benar membuat ia bergidik sebelum ia mendengar Sony kembali berkata padanya.
"Tuh kan. Kamu udah kedinginan di sini. Pake jaket aku aja deh."
"Eh?"
Leony mengerjapkan matanya. Melihat bagaimana Sony tampak mengeluarkan satu persatu tangannya dari lengan jaket yang ia kenakan. Hingga tak butuh waktu lama, nyaris hanya lima detik, jaket itu pun lantas terulur pada Leony.
"Pake deh. Terus aku antar kamu balik. Kamu tinggal di mana?"
Belum menyambut jaket itu, Leony merasa saat itu seperti waktu yang berhenti bergerak. Seperti ia yang sedang bingung dengan situasi saat itu.
"Buruan. Ntar kamu pingsan lagi coba."
Leony memang merasa sedikit kedinginan kala itu. Tapi, ia yakin bahwa ia tidak akan pingsan hanya karena hawa dingin hujan. Lagipula ....
"Ny!"
Alih-alih segera menyambut jaket Sony, Leony lantas berpaling. Lantaran satu seruan dengan suara yang khas di telinganya. Hingga matanya kemudian menangkap pemandangan di depan sana. Pada seorang cowok yang tampak tergesa-gesa menurunkan standar motornya tepat di depan pelataran kantornya. Mengenakan mantel hujan dan langsung berlari menghampiri Leony.
"Sorry, Ny. Kamu lama nunggunya? Maaf."
Wajah Leony yang semula tampak gamang dengan situasi kala itu, sontak cerah seketika. Bahkan seperti tak menampilkan ekspresi orang yang kedinginan, cewek itu justru terlihat berseri-seri saat mendapati siapa yang menghampirinya.
"Ya ampun, Ros. Kamu keujanan?"
Leony menghampiri Eros. Langsung mengeluarkan tisu dari tas kerjanya dan mengelap wajah Eros yang basah oleh rintik hujan. Namun, Eros langsung menghentikannya. Dengan cepat memberikan isyarat melalui lirikan matanya.
O oh.
Leony berpaling. Seolah baru menyadari bahwa bukan hanya mereka berdua yang berada di sana. Ya ampun. Sony masih berdiri di sana dengan jaket di tangannya. Kali ini, wajah cowok itu yang tampak salah tingkah.
"Ehm ... btw, aku duluan ya?"
Langsung berpamitan, Sony tak memberikan waktu baik untuk Leony maupun Eros untuk membalas perkataannya. Alih-alih, cowok itu langsung menembus hujan. Menuju pada mobilnya yang terparkir di halaman parkir kantor.
"Ck. Kamu ini, Ny. Kalau mau gituan, liat-liat dulu. Masa ada temen kamu, eh ... kita malah mesraan kayak gini sih?"
Menarik tangannya dari genggaman Eros, Leony kembali mengelap wajah sang suami. Tampak mencibir sekilas.
"Gini dibilang mesraan, terus kalau kita yang di unit itu namanya apa?"
Eros terkekeh. Kali ini tidak mengatakan apa-apa lagi selain membiarkan Leony untuk menyingkirkan rintik-rintik air hujan di wajahnya. Hingga ketika selesai, cowok itu lantas berkata.
"Aku pikir tadi kamu udah balik. Kamu nggak balas WA aku. Jadi, akhirnya aku hajar aja hujannya. Aku udah mikir yang macam-macam aja tadi."
Meremas tisu di tangannya, Leony mengulum senyum. "Emang kamu mikirnya kenapa? Aku ngambek gitu?"
Ya ampun. Karena Eros masih ingat benar apa yang dipesankan oleh dokter Yusnida dan keluarga mereka berdua. Emosi ibu hamil harus benar-benar dijaga. Bukan hanya demi ibu hamil itu, melainkan juga karena kesehatan dan keselamatan janin yang ia kandung.
Meraih kedua tangan Leony, Eros mengembuskan napas panjang.
"Ya pastilah aku mikirnya kamu ngambek. Khawatirnya kamu mikir itu cuma alasan aku aja biar nggak jemput kamu balik. Makanya aku langsung buru-buru ke sini. Tapi, untunglah. Karena kayaknya kamu nggak ngambek."
Senyum di wajah Leony tampak berubah jadi malu-malu. Ia menggeleng. "Nggak kok. Aku nggak ngambek. Tadi itu ada Sony baru keluar, jadi dia ngajak ngobrol dan aku nggak sempat balas WA kamu."
"Oooh ...," lirih Eros lega. "Jadi, gimana? Kamu beneran mau balik bareng aku?"
Masih dengan memegang tangan Leony, Eros melihat ke sekeliling. Hari semakin gelap dan hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Jelas membuat Eros khawatir.
"Ntar kamu sakit lagi kalau balik hujan-hujanan bareng aku. Gimana?"
Logikanya, yang dikatakan Eros memang benar. Leony bisa saja sakit nantinya. Tapi, tentu saja. Ketika hamil terkadang logika benar-benar tidak bisa digunakan. Alih-alih perasaanlah yang paling berperan di sana. Sama dengan yang Leony rasakan kala itu. Mendengar Eros meminta dirinya untuk pulang naik taksi, ia merasakan sesuatu seperti tengah meremas jantungnya. Mendadak saja, ia merasa seperti orang paling malang di dunia.
"Kamu udah sampe di sini, terus ngapain kalau bukan buat jemput aku?"
Ah, akhirnya terjadi juga.
Eros meneguk ludah. Melihat bagaimana mata Leony tampak mengerjap-ngerjap. Hanya dalam hitungan detik yang singkat, bola mata cewek itu terlihat berlinang air mata.
Astaga.
"Ny, Ny. Aku bukannya nggak mau balik bareng kamu. Tapi, ini kan lagi hujan."
Mengabaikan pendapat Eros, Leony berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Eros. Dengan bibir yang cemberut dan ia menundukkan wajahnya.
"Udah. Kalau nggak mau balik bareng aku ya kamu ngomong aja. Aku tuh apa coba. Mentang-mentang lagi hamil, jadi nyusahin aja."
Ya Tuhan.
Membiarkan Leony menarik tangannya, Eros justru menahan tubuh cewek itu. Berusaha untuk berpikir dengan cepat di benaknya. Mencari cara agar istrinya tidak benar-benar merajuk.
"Ny, Sayang .... Bukan gitu coba maksud aku," kata Eros berusaha untuk tetap tenang. Dan pada saat itu, mata Eros menangkap satu pemandangan menarik di seberang kantor. Sesuatu yang membuat ia mendapatkan ide di benaknya. "Tapi, maksud aku, sekarang kan hujan. Ketimbang kita balik hujan-hujanan, gimana kalau kita makan bakso dulu? Sekalian nunggu hujannya berenti? Iya kan?"
Leony yang tadi berusaha untuk melepaskan tubuhnya dari Eros, sontak menghentikan pemberontakannya. Alih-alih terus merajuk, kali ini mata cewek itu membesar.
"Makan bakso?"
Tampak dengan jelas raut ketertarikan di wajah Leony. Yang serta merta membuat Eros bersemangat. Mengangguk berulang kali dengan antusias.
"Kita udah lama kan nggak makan bakso di luar? Gimana kalau sekarang kita makan bakso dulu? Biar Dedek juga hangat di dalam sana."
Merasa bahwa tidak ada lagi orang di sekitar mereka, membuat Eros pun tanpa segan mengusap perut Leony. Kembali mencoba meyakinkan cewek itu.
"Mau kan? Ya? Kamu udah lama loh nggak makan bakso bareng aku, Ny. Ehm ... anggap aja, kita sekarang kali nge-date."
Berkat satu kata itu –nge-date, Leony sontak terkikik. Pun melayangkan tangannya dalam bentuk pukulan ringan pada Eros. Hal yang tentu saja melegakan cowok itu. Karena jelas, sekarang alih-alih merajuk, Leony justru tampak muncul lagi sifat manjanya.
"Nge-date apaan? Nge-date sama ibu hamil?"
Eros menyeringai. "Iya dong. Kan keren. Nge-date sama pacar mah udah basi. Nge-date sama istri yang lagi hamil, nah itu baru tren terbaru."
"Hahahahaha. Kamu ini. Ehm ... kalau gitu, ayo deh. Aku juga laper."
Gemas, Eros mencubit ujung hidung Leony. "Tuh kan. Emang aku ini suami yang instingnya kuat banget. Tau banget kalau Bu Maliki dan Dedek lagi lapar."
"Hahahahaha."
Membiarkan Leony tertawa, Eros lantas melepaskan mantel hujan yang ia kenakan. Memakaikan benda itu pada sang istri dan memastikan kepalanya terlindungi dengan aman. Dan setelah dirasanya Leony cukup terlindungi, Eros pun menggenggam tangan Leony.
"Ke warung bakso?"
Mata Leony berbinar-binar. "Cuuusss!"
Dan sepasang suami istri itu, mungkin seperti mendengar ada lagu Bollywood yang mendadak terngiang di telinga masing-masing, tampak tertawa-tawa menembus rintik hujan yang masih tercurah. Berlari bersama-sama menuju ke satu warung yang jelas dengan senang hati menerima kunjungan mereka berdua.
Hingga kemudian, ketika Eros dan Leony saling menghangatkan diri dengan semangkok bakso komplit dan segelas teh hangat, perlahan-lahan satu mobil keluar dari halaman parkir kantor Tribun Java. Seperti menyadari bahwa saat itu adalah waktunya untuk ia pulang. Ketimbang menyaksikan Leony yang tampak tertawa lepas bersama sang suami.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro