35. Dampak Kebahagiaan
Miska sih memang belum pernah merasakan kehamilan. Atau bahkan lebih dramatis lagi, ia bahkan belum pernah merasakan pernikahan. Hiks. Tapi, berdasarkan dengan desas-desus yang sering ia dengar, katanya sih kehamilan memang bisa membuat perasaan wanita lebih bahagia.
Semula ya Miska mengira mana ada wanita yang tidak bahagia ketika dirinya sedang hamil. Memang logisnya pasti akan bahagia kan?
Namun, tetap saja. Sepertinya tetap tidak bisa memberikan Miska pemakluman akan aura kebahagiaan yang terasa amat menguar dari Leony pagi itu. Bukan hanya wajahnya yang tampak berseri-seri, melainkan juga ia yang terdengar bersenandung nyaris sepanjang hari. Ah, dan satu lagi. Bukan sekali atau dua kali, tapi Miska beberapa kali memergoki Leony yang tampak tertawa seorang diri.
Ih!
Menakutkan untuk Miska sebenarnya.
Hingga kemudian, ketika jam pulang kantor sudah tinggal beberapa menit lagi, Miska yang akan kembali ke mejanya setelah mengembalikan cangkir kopinya ke pantry, menghentikan langkah kakinya. Tepat di kubikel Leony. Di saat cewek itu kembali terkikik seraya bergumam lirih.
"Hihihihi. Dasar kamu, Ros. Pokoknya aku nggak mau pake nama Maliki."
Miska bengong. Memerhatikan dengan saksama bagaimana jelas sekali tadi itu Leony tengah berbicara seorang diri. Lagi. Dan itu makin memuat Miska merinding.
Hingga pada akhirnya, Miska pun memutuskan untuk menunda sejenak rencananya kembali ke kubikelnya. Alih-alih, ia justru menghampiri Leony.
"Maliko juga. Hihihihi. Apaan coba. Dasar Eros mah. Dia sela---"
"Ny ...."
Tak bisa menahan desakan hatinya, Miska pun memanggil rekan kerjanya itu. Hanya untuk mendapati bagaimana Leony yang langsung melihat padanya. Dengan senyum yang amat lebar. Hingga membuat Miska khawatir. Jangan-jangan wajah Leony akan terbelah sebentar lagi. Ck.
Mata Leony mengerjap-ngerjap melihat pada Miska. Masih mempertahankan senyumnya, ia bertanya dengan ekspresi polos yang memancarkan kebahagiaan.
"Ya? Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?"
Tidak langsung menjawab itu, Miska justru merinding mendengar sopan-santun yang Leony berikan. Menanyakan keperluan dirinya? Mungkin ada yang bisa ia bantu? Wah! Segininya ya efek kehamilan bagi wanita? Sungguh! Miska tidak tau kalau efeknya bukan kaleng-kaleng.
"Ehm ...," dehem Miska kemudian. "Nggak ada apa-apa sih. Cuma ... aku penasaran aja."
Mata Leony mengerjap lagi, sekali. "Penasaran apa?"
"Ehm ...," dehem Miska lagi. "Kamu keliatan seneng banget hari ini. Ehm ... lagi ada kabar bagus ya?"
"Eh?"
"Ehm ... bukannya apa. Tapi, seharian ini kamu kayak yang beda banget. Ampun deh." Dahi Miska tampak berkerut, seperti benar-benar merasakan keanehan pada Leony. "Nggak ada orang yang suka hari Senin kali, Ny. Kecuali kalau hari Seninnya pas tanggal 1."
"Hihihihi."
Leony sontak terkikik. Dan itu, sumpah. Semakin membuat Miska merasa ngeri sendiri.
"Kamu beneran aneh hari ini, Ny. Aku nggak bohong deh. Sumpah."
Masih terkikik hingga beberapa saat lamanya, pada akhirnya Leony mendehem. Demi menuntaskan rasa gelinya.
"Ah, aku biasa aja sih. Perasaan kamu aja kali."
Dengan kenyataan bahwa sepanjang hari Leony tersenyum tanpa henti? Bersenandung berulang kali? Hingga bicara seorang diri? Yang benar saja!
Miska menggeleng. "Nggak deh. Kamu beneran beda hari ini. Mungkin kamu nggak sadar, tapi kamu seharian ini senyum-senyum nggak jelas. Nyanyi-nyanyi gitu. Eh, barusan ini kamu malah ngomong sama diri sendiri." Sorot horor terpancar dari sepasang mata Miska. "Kamu beda banget."
Mencermati perkataan Miska, Leony lantas mengangkat kedua tangannya. Menangkup pipinya sendiri dan mengerjapkan mata.
"Ehm ... gitu ya? Aku keliatan banget lagi senang? Padahal aku nggak lagi senang sih. Cuma ...."
Miska penasaran. "Cuma ...?"
"Cuma aku tuh kepikiran sama Eros."
"Aaah ...."
Miska ingat sekali bahwa beberapa bulan yang lalu, Leony sempat mengeluhkan Eros beberapa kali. Bahkan kalau dirinya tidak salah ingatan, Leony bahkan sempat mengatakan ide untuk berpisah dari suaminya itu. Sekarang?
"Kemaren kami kan ngomongin soal nama Dedek," lanjut Leony seraya mengusap perutnya. "Terus bisa-bisanya coba dia mau ngasih nama Dedek itu Maliki. Plesetan dari Malika, kedelai hitam yang dibesarkan sepenuh hati seperti anak sendiri." Leony lantas tertawa. "Tapi, karena tempe dan tahu bukan dari kedelai hitam, makanya pake Maliki. Terus ... kalau cowok, Dedek mau dikasih nama Maliko. Hahahahaha. Emang kebangetan ini Eros."
Tidak ikut tertawa, Miska hanya bengong melihat Leony yang tampak tertawa-tawa lantaran perkataannya sendiri.
Malika?
Maliki?
Maliko?
Apa-apaan itu?
Mengapa tidak ada Malike dan Maliku?
Ha ha ha ha.
Miska sama sekali tidak mengerti.
Namun, Miska merasa perlu untuk memaklumi. Bahwa kebahagiaan orang itu memang beda-beda. Dan untuk Leony, mungkin saja perkara kedelai adalah kebahagiaan yang tak terkira.
"Ha ha ha ha."
Miska tertawa kaku. Memutuskan untuk beranjak dari sana sebelum Leony menceritakan hal lainnya yang sama sekali tidak ia mengerti.
"Iya iya. Kalau gitu, aku balik ke meja, Ny."
Masih tertawa-tawa, Leony mengangguk. Tak mengatakan apa-apa selain membiarkan rekannya itu untuk kembali ke mejanya sendiri. Sementara Leony, tampak meraih ponselnya. Mengirim pesan pada sang suami.
[ Hubby ]
[ Bapak Maliko .... ]
[ Toko rame sore ini? ]
Entah mengapa, tapi Leony mau saja memanggil Eros seperti itu. Menggelikan. Tapi, herannya justru membuat Leony merasa senang. Terutama karena tak butuh waktu lama, pesannya dibalas oleh Eros. Dengan tidak kalah menggelikannya.
[ Hubby ]
[ Eh, ada Ibu Maliki. ]
[ Nggak terlalu rame sih, Bu. ]
[ Kenapa? ]
[ Ibu Maliki mau dijemput sama Bapak Maliko? ]
Ponsel lepas dari tangan Leony. Tepat ketika ia tak mampu menahan tawanya. Hingga ia buru-buru menutup mulut dengan kedua tangan. Sumpah, ia tidak ingin menimbulkan kegaduhan di ruang kerja. Hihihihi.
[ Hubby ]
[ Kalau Bapak Maliko nggak sibuk, Ibu Maliki mau deh dijemput. ]
Itu persis seperti Leony yang seperti terlempar kembali ke masa lalu. Di mana ia dan Eros sering bertukar pesan menggelikan seperti itu. Hal yang nyaris terlupakan ketika mereka sudah menikah. Tapi, lihatlah sekarang. Lantaran perkara makanan kesukaan Leony selama hamil dan diskusi soal nama, mereka jadi kembali melakukan hal tersebut. Saling menggoda melalui pesan. Sesuatu yang tanpa sadar memperparah gejala kebahagiaan Leony hari itu. Dan tentu saja, itu tidak luput dari perhatiaan Miska.
Di seberang sana, Miska tampak menghela napas panjang. Geleng-geleng kepala dengan satu pemikiran ironis di benaknya.
Aku nggak tau harus bahagia atau sebaliknya.
Tempo hari, pas Leony ngomong soal mau pisah sama Eros, aku ya sedih.
Tapi, ngeliat Leony terindikasi gila kayak gini, apa aku harus bahagia?
*
Sementar itu, di La Coffee, hal yang sebelas dua belas, terjadi pula. Itu ketika Omen yang tampak melintas di dapur, mendapati Eros yang mengaduk-aduk gelas pesanan dengan cengiran di wajahnya. Seraya bergumam seorang diri.
"Bisa-bisanya dia manggil aku Bapak Maliko. Hahahaha. Kemaren ngomongnya nggak suka. Tapi, eh ... malah udah manggil aku kayak gitu lagi."
Namun, Omen menahan diri untuk tidak mencampuri kesenangan Eros. Karena ya ampun. Bukan hal yang aneh bagi Omen dan semua karyawan di sana kalau akhir-akhir ini mereka mendapati Eros yang tampak begitu bahagia. Terkesan seperti memiliki dunianya sendiri. Hal yang tidak terjamah oleh orang lain. Persis seperti ungkapan, layaknya dua hanya milik ia dan Leony. Yang lain hanya menumpang.
Karena Omen tau persis, bahwa kalau akhir-akhir ini Eros tampak begitu cerah, maka itu pastilah Leony penyebabnya. Tak jarang Eros yang tampak semringah menceritakan perkembangan anak mereka. Atau bahkan sekadar berbagi masakan ketika mereka makan siang. Lantaran Leony yang masak banyak untuk suaminya itu. Itu pun dengan penjelasan Eros yang menyertainya.
"Leony tuh kan emang suka masak. Tapi, walau dia masak sebanyak apa, tetap aja. Yang dia makan cuma tempe dan tahu goreng aja. Hahahaha. Jadi, ya aku yang harus ngabisin ini semua. Kecuali kalau makan malam sih. Itu lain cerita. Karena makannya bareng aku, jadi ya Leony jadi lahap juga makannya."
Dan sekarang, sama seperti hari-hari kerja biasanya, Omen mendapati Eros yang tampak bersiap meninggalkan toko kopinya. Beberapa saat sebelum jam pulang kantor. Dengan satu tujuan pastinya.
"Aku duluan ya, Bro. Mau jemput Leony."
Omen mengangguk. Tak mengatakan apa-apa ketika membiarkan Eros langsung keluar dari dapur. Dengan bersenandung dan tersenyum amat lebar, cowok itu pergi. Melajukan motornya demi menjemput sang istri. Hal yang membuat temannya itu geleng-geleng kepala. Lantaran menyadari sesuatu di benaknya.
Kehadiran anak emang nggak kaleng-kaleng ya?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro