17. Hal Lain
Selayaknya beberapa wanita hamil lainnya, pagi itu Leony kembali merasakan mual dan pusing saat ia baru bangun tidur. Tapi, tak lama kemudian, setelah Eros memberikan beberapa tetes minyak kayu putih di tekuknya, ia merasa damai kembali.
"Ke kiri dikit, Ros."
Eros menarik napas dan memindahkan sedikit posisinya. Memijat kembali dengan intensitas yang membuat Leony bersendawa berulang kali. Membuat Eros di belakang sana geleng-geleng kepala dengan satu pertanyaan di benaknya.
Ini dia emang beneran lagi morning sickness atau cuma lagi ngerjain aku sih?
Setidaknya butuh waktu lima belas menit bagi Eros untuk meredakan mual-mual yang Leony derita di pagi itu. Hingga pada akhirnya mereka pun bisa beranjak. Sama-sama bersiap untuk kerja. Dan sejurus kemudian, mereka berdua pun sudah bersama di meja makan.
Melihat Leony yang tampak menikmati sarapannya hanya dengan sebuah pisang dan segelas susu, Eros mengembuskan napas panjangnya. Karena mau bagaimanapun juga, pagi itu ia juga sarapan dengan makanan yang sama persis dengan yang Leony makan. Berkat keadaan Leony yang tidak seperti biasanya, otomatis saja rutinitas sarapan nasi goreng menjadi tersisihkan. Baik Leony maupun Eros sama-sama sibuk dengan mual-mual Leony tadi. Dan lagipula, sepertinya Leony juga saat ini lebih berselera makan buah-buahan ketimbang makanan penuh minyak.
"Kamu beneran mau kerja hari ini?" tanya Eros pada Leony. "Apa nggak sebaiknya kamu istirahat aja di unit? Kamu masih mual-mual soalnya."
Leony bangkit dari duduknya, pelan-pelan menggeser kembali kursi makan ke posisinya semula dengan rapi. Dan ia menggeleng.
"Kalau tiap mual aku nggak masuk kerja, ya bisa-bisa ntar aku nggak masuk kerja tiap hari lagi," kata Leony mendesah. "Lagian biasanya kan orang mual-mual itu pagi hari aja. Nggak ada tuh yang namanya day sickness. Yang ada cuma morning sickness."
Eros pun hanya bisa mesem-mesem mendengarkan perkataan Leony. Setelah kembali mengembuskan napas panjangnya sekali, ia pun menganggukkan kepalanya.
"Oke oke," kata Eros kemudian. "Tapi, ntar kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon aku. Please, aku nggak mau kena amuk dua keluarga, Ny."
Meraih tas kerjanya yang semula ia taruh di atas lantai tak jauh dari kakinya, Leony mengangguk.
"Tenang aja. Aku nggak bakal lupa buat ngubungi kamu kalau ada apa-apa. Ya emang kamu harus ngurus aku lah kalau aku kenapa-napa."
Perkataan Leony otomatis saja membuat Eros melongo. Sungguh! Ia nyaris seperti tak bisa berkata apa-apa lagi karena entengnya Leony mengatakan itu semua. Ya ... tentu saja. Karena kalau ada sesuatu yang terjadi padanya, itu otomatis menjadi tanggung jawab dirinya.
Leony menyunggingkan senyum yang kalau dipikir-pikir oleh Eros, sudah lama tidak ia lihat. Maka sontak saja cowok itu mengerutkan dahi. Memasang sikap waspada dengan gestur yang sudah tidak ia terima dari istrinya itu.
"Bye bye, Ros. Jangan jauh-jauh dari hp ya? Kamu harus stand by buat semua panggilan darurat aku."
Wajah Eros seketika saja berubah. Nyaris saja ia melupakan sesuatu. Bahwa kalau ada yang diuntungkan untuk keadaan mereka saat ini, itu pastilah Leony orangnya.
Memang Leony harus dibuat kewalahan dengan segala gejala kehamilan itu, tapi setidaknya ia menjadi sosok yang justru harus dijaga oleh semua orang. Di atas semuanya, adalah ia yang tampil menjadi penggawa terdepan.
Maka tentu saja pemikiran yang tadi sempat Eros henyahkan kembali lagi. Membuat matanya melotot. Dan ketika tangannya terangkat, ia justru melihat Leony terkikik.
"Hihihihi. Kayaknya kehamilan ini ada baiknya juga buat aku."
Eros refleks bangkit dari duduknya. Tampak syok. Tapi, ketika tangannya akan terangkat demi menuding pada Leony, eh ... cewek itu sudah keburu mengambil langkah seribu. Bergegas pergi meninggalkan dirinya dengan satu cemoohan.
"Tunggu panggilan darurat aku, Ros! Hahahaha."
Dan untuk itu, Eros hanya bisa menggeram.
"Dasar, Leony!"
Sementara Eros yang misuh-misuh karena mendapat kenyataan bahwa Leony bisa memanfaatkan situasi itu dengan teramat baik, maka Leony sebaliknya. Cewek itu tampak semringah karena tau dengan pasti bahwa saat ini dirinya sedang di atas angin. Berkat kehamilan yang tidak mereka rencanakan itu, Leony pikir saat ini keadaan tidak terlalu buruk untuknya.
Sejujurnya, ketika Leony mendapati dirinya hamil, tentu saja ia syok. Lebih dari itu, ia pun takut. Ngeri membayangkan kalau harus menghadapi kenyataan di mana perutnya membuncit dengan status janda. Ya ampun! Cewek di belahan dunia mana yang ingin mengalami hal tersebut? Tentu saja itu akan menjadi hal yang berat.
Namun, setidaknya Leony lantas bisa mengembuskan napas lega ketika Eros masih memiliki akal warasnya. Belas kasihnya sebagai manusia tersentuh dengan kenyataan bahwa dirinya yang sebentar lagi akan berganti status menjadi seorang ayah. Dan itu, Leony yakini sedikit banyak mempengaruhi keputusannya untuk bercerai.
Sekarang, lebih dari itu, ketika pulang dari klinik kemaren, di saat Leony beristirahat, ia sempat tersentak untuk beberapa saat. Lantaran mendengar suara-suara di ruang tamu yang lantas membuat ia pelan-pelan menguping. Dan ia pun tau bahwa pada saat itu Eros sedang dihakimi beramai-ramai oleh keluarga mereka.
Leony geli. Terkikik. Berusaha dengan sekuat tenaga agar rasa lucu itu tidak menjelma menjadi tawa yang meledak. Tapi, sungguh! Bukannya apa. Wajah Eros ketika dihakimi bertubi-tubi oleh keluarga mereka benar-benar membuat menyenangkan untuk dirinya.
Dan di saat itulah Leony menyadari satu hal yang teramat penting. Keberadaan nyawa baru di dalam rahimnya itu serta merta membuat keadaan dirinya menjadi hal yang penting. Membuat ia menarik kesimpulan di benaknya.
Ehm ....
Kayaknya kehamilan ini nggak buruk-buruk amat.
Lebih dari itu, kayaknya kehamilan ini justru ngebuat aku bisa ngerjain Eros.
Hihihihihi.
Awas aja kamu, Ros.
Kalau ada apa-apa dan kamu nggak mau nurut, aku laporin kamu ke keluarga kita.
Memangnya siapa lagi yang tega buat sedih cucu pertama?
Leony terkikik di balik pintu seraya mengusap-usap perutnya yang masih ramping. Dengan pemikiran-pemikiran nakal yang cepat sekali memenuhi isi kepalanya. Dan ketika itu pun memastikan satu hal.
"Selama ini aku terus yang kamu buat kesal, Ros. Kali ini gantian. Kamu juga yang harus ngurusin aku yang rewel."
Dan memikirkan hal itu, terutama ingatan Leony masih jelas sekali menampilkan wajah syok Eros setelah mereka sarapan tadi, membuat cewek itu semringah sepanjang jalan. Hingga membuat Miska yang baru saja tiba di kantor dengan satu cangkir kopi panas di tangannya, menghampiri rekan kerjanya itu. Dengan dahi mengernyit, ia bertanya.
"Kenapa kamu? Pagi-pagi kok udah senyum-senyum nggak jelas gitu? Kesambet atau mendadak dapat undian berhadiah?"
Leony terkekeh. Tapi, ia justru menggeleng-geleng dengan ekspresi manja. "Nggak ...," jawabnya dengan irama yang mendayu-dayu. "Nggak ada apa-apa kok. Nggak lagi kesambet ataupun dapat undian berhadiah."
Namun, tentu saja. Jawaban itu bukannya membuat Miska tenang. Yang ada justru sebaliknya. Membuat ia semakin melipat-lipat dahinya dengan ekspresi yang kian bingung. Hingga kemudian, satu pemikiran pun melintas di benaknya. Membuat senyum Leony perlahan menular pula padanya. Seiring dengan merendahnya tubuh Miska demi mendekati Leony yang sudah duduk dengan tenang di kursinya, ia kembali menebak.
"Aaah ... aku tau. Kalau bukan karena kesambet atau karena undian berhadih, ehm ... itu pasti karena kamu udah baikan ya sama Eros?"
Senyum langsung menghilang dari wajah Leony. Ekspresinya pun langsung berubah. Dan melihat itu, Miska justru mengerjap-ngerjapkan matanya dengan raut bodoh.
"Eh? Bukan ya?"
Leony mencibir. "Udah deh. Kamu duduk aja di meja kamu," katanya seraya melirik pada cangkir kopi Miska. "Kopi kamu nyengat banget baunya."
Tak hanya mengatakannya, Leony bahkan memincit lubang hidungnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya melayangkan gestur mengusir pada Miska. Membuat rekan kerjanya itu mengernyitkan hidung seraya menghirup aroma kopinya yang menguar. Dengan langkah kaki yang berjalan pelan meninggalkan meja Leony, Miska menelengkan satu wajahnya. Tampak berpikir.
"Bukannya aroma kopi itu wangi ya? Masa sih ada orang yang nggak suka aroma kopi? Ehm ... aneh."
Namun, keanehan yang Miska rasakan tidak cukup sampai di sana. Ketika di siang hari itu, di jam istirahat, Leony yang selalu bersemangat makan bakso langganannya, justru tampak tidak bernafsu menyesap kuahnya. Alih-alih makan, cewek itu justru tampak berulang kali mengembuskan napas panjangnya berulang kali.
"Kenapa nggak dimakan?" tanya Miska seraya menikmati sepiring ketoprak miliknya. "Nggak selera? Tumben banget."
Tampak lesu, Leony justru menutup sendok dan garpunya di tepi mangkok. Membuat Miska melotot. Menyadari bahwa Leony menuntaskan makan siangnya bahkan sebelum benar-benar menikmati makan siangnya itu.
"Eh? Beneran nggak makan?" Miska syok. "Apa kamu sakit?"
Namun, Leony hanya menggeleng sekilas. "Nggak kok. Cuma ... emang lagi nggak nafsu makan aja."
Hanya saja jawaban itu tidak menenangkan Miska. Karena jelas, ketika jam istirahat sudah selesai dan mereka kembali bekerja, ia mendapati bagaimana Leony yang tampak memucat. Dan tak hanya itu, ia seringkali menangkap basah di mana Leony yang menghela napas. Seolah sedang lelah. Pun dengan tangannyayang kerap kali memijat tekuknya sendiri, membuat Miska yakin. Bahwa Leony sedang tidak sehat saat itu.
Dan semua terbukti. Tepatnya ketika Donda kembali mendatangi Leony di mejanya dan marah-marah, Miska mendapati mata Leony yang tak fokus.
"Astaga, Leony! Harus berapa kali saya katakan. Cek dulu artikel itu sebelum kamu publish!"
Leony mengerjapkan matanya sekali. "Su-su-sudah saya periksa, Bu. Tanya aja dengan Miska."
"Eh?" Miska tergugu. Tapi, ia pun mengangguk. "I-iya, Bu. Tadi saya juga lihat kok udah diperiksa berulang kali sama Leony."
"Huh!" dengkus Donda. "Kalau emang udah diperiksa, hasilnya nggak bakal berantakan kayak gitu! Emangnya kamu nggak bisa ya kerja yang rapi? Contoh itu Nella! Dia juga magang kayak kamu, tapi kerjanya rapi."
Dan bentakan itu mau tak mau membuat Leony melirik pada Nella. Gadis pendiam yang tampak menundukkan kepalanya ketika namanya ikut terlibat di dalam kemarahan atasan mereka.
Leony mengerutkan dahi. Menarik napas dalam-dalam dengan perasaan tak nyaman. Tangannya tampak bergerak dengan gemetaran ketika berusaha berpegang pada dinding kubikel di sebelahnya. Mencoba untuk bertahan. Hal yang tertangkap oleh Miska. Hingga membuat ia memberanikan diri untuk menyela Donda.
"B-B-Bu, se---"
"Diam kamu, Miska!" bentak Donda. "Saya perlu mengingatkan Leony. Kalau dia memang tidak bisa bekerja dengan baik---"
"Bruuukkk!"
Dan diduga oleh siapa pun, tubuh Leony sontak jatuh ke lantai. Ia tak sadarkan diri. Hal yang tak hanya membuat ucapan Donda berhenti, alih-alih juga menimbulkan jeritan panik semua orang di sana.
"Leony!!!"
Semua orang langsung menghampiri Leony. Menyisakan Donda yang membeku di tempatnya berdiri. Tampak tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya. Dan ia hanya bergumam dengan kesan salah tingkah.
"Sa-saya cuma ngebentak dikit," katanya kaku. "Kok langsung pingsan sih?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro