Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Berharap Ini yang Terakhir

Sejak kejadian kunjung mengunjungi, Wahyudi jadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Leticia. Bukan setiap hari, tapi terhitung cukup sering untuk dua manusia berbeda jenis yang tidak terikat hubungan apapun selain berteman saja.

Wahyudi sudah berusaha menghindar, tapi tak pernah tega kalau Leticia sudah mengeluh kesepian, sementara dia tahu harapan gadis bule itu ikut ke Indonesia selain bertemu saudara yang lama menghilang tentu saja juga sekalian liburan.

Biasanya, pekerjaan di proyek yang paling sering dijadikan alasan untuk menolak secara halus permintaan Leticia, meski terkadang Wahyudi harus rela mengerjakan sesuatu di luar jobdesk-nya, tapi dia menikmati. Kalimat yang pernah dia dengar dari bos besar —Antariksa— masih terngiang dan benar-benar memotivasi dirinya.

Di mana pun kalian berada, di bidang apa pun kalian belajar dan nantinya bekerja, mengerahkan kemampuan terbaik adalah wajib hukumnya. Memberikan lebih dari tanggung jawab pekerjaan yang kalian punya membuat kalian akan selangkah lebih maju, sebab orang luar biasa tak pernah mengerjakan sesuatu yang biasa saja.

Di proyek, Wahyudi selalu siap jika dibutuhkan di mana saja. Tujuan utamanya memang belajar, mencari pengalaman agar kelak ketika lulus kuliah dia memiliki kesiapan yang lebih untuk memasuki dunia profesional di bidang yang sangat dia cintai. Tugas apapun dia lakukan dengan senang hati. Mempelajari gambar kerja, mempelajari metode pekerjaan, mengawasi jalannya proyek, mempelajari keadaan di lapangan, juga belajar bagaimana mengatasi permasalahan yang seringkali terjadi di lapangan.

Beberapa kali ia diajak menemani Pak Dimas mengunjungi proyek di luar Surabaya. Gresik, Sidoarjo, dan sekali ke Malang. Pernah pula diminta ikut mengawasi pengecoran sampai harus menginap di lokasi. Semua dia jalani dengan gembira. Selain memperoleh pengalaman dan teman-teman baru, kesibukan-kesibukan itu juga menjadi alasan yang paling bisa diterima untuk menghindar dari berdua-duaan dengan Leticia.

Wahyudi tak ingin menampik, nyatanya dia menyukai kebersamaan mereka. Tapi ia sadar, kebersamaan yang nyaman itu tidak baik untuk hatinya.

Ting! Gawainya berbunyi. Sebuah pesan terbaca di notifikasi, dari gadis yang sedang ada di pikirannya sekarang ini.

[Bagaimana Yudi? Bisa kan? Please. Sebentar lagi aku pulang. Less than a week. Please.]

Handphone berlogo apel tergigit lungsuran sahabatnya itu dipandangi dengan galau. Sudah tiga hari tak bertemu Leticia, dia senang karena tak harus berusaha menjaga sikap agar tetap terlihat netral setiap kali berhadapan dengan gadis itu.

Semalam, Leticia memintanya untuk menemani jalan-jalan. Ke mana saja, yang penting bersama. Dari bisikan Andro dan Salma, juga dari gesture si gadis keriwil, Yudi bukan tak tahu kalau gadis itu menyimpan sesuatu untuknya. Sesuatu yang tak berwujud, namun bisa membuat banyak hal —terutama hati— menjadi tak keruan.

[Maaf, Leti. Aku belum bisa memutuskan. Lihat besok pagi ya. Insya Allah kukabari kamu lagi]

Itu jawabannya semalam. Pikirnya masih bisa mencari alasan lain sampai pagi tiba.

Tapi... ini bahkan belum pagi. Subuh saja belum sepenuhnya pergi. Pesan dari Leti sudah menyapa kembali.

Ini akhir pekan, tentu saja dia libur. Keluarga Antariksa sedang ada acara keluarga di Malang, termasuk Andro dan Salma, juga keluarga Pak Dimas. Praktis tak ada satu pun yang bisa dia jadikan alasan untuk menolak permintaan gadis hispanik itu.

Diletakkan kembali gawainya. Wahyudi memutuskan untuk mandi. Setelahnya ia mengganti kaus rumahannya dengan yang lebih baru, dan mengganti celana pendek dengan blue jeans yang warnanya sudah berubah jadi lebih muda. Pudar. Seput. Belel.

Ditunggunya hingga waktu menunjukkan tepat pukul enam. Dia pun menghubungi Leticia melalui panggilan.

"Hola, Yudi. Bagaimana? Kamu bisa, kan? Please," sambut Leticia tanpa basa-basi. Yudi bahkan belum mengucap sepatah kata pun.

"Kalau sekarang, apakah terlalu pagi, Leti?"

"Off course not!" Leticia memekik. Tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya.

Pada akhirnya Yudi memutuskan untuk mengiyakan permintaan Leticia. Harapannya, ini adalah yang terakhir. Setelah Leticia pulang ke negaranya, dia akan kembali dengan kesibukannya di sana, dan kedekatan mereka tinggal memori saja. Selesai.

"Baiklah. Aku ke sana sekarang."

"Really?" Lagi-lagi gadis itu memekik, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

"Kamu butuh persiapan berapa lama?"

"Five minutes."

"Wow! Berarti kamu yang harus menunggu aku, Leti."

"I will. Seumur hidup juga aku mau, Yudi." Wahyudi terkekeh mendengarnya.

"Bagaimana kalau aku serius?"

"Aku tahu kamu bercanda. Okay. See you." Diakhirinya pembicaraan dengan terburu-buru. Yudi hanya berusaha menjaga agar tak terbawa suasana. Ojo GR-an, Yud! Itu cuma emosi sesaat aja, batinnya mengingatkan.

Sekira dua puluh menit kemudian Wahyudi tiba di kediaman keluarga Leticia. Sepi. Tak ada siapapun di sana. Mama, oma, dan tantenya menginap di rumah salah satu kerabat, masih di area Surabaya.

"Bu Nur?"

"Tante Nur pulang tadi, five o'clock. Mau mengantar masakan untuk keluarganya, untuk breakfast anaknya yang sekolah. Rumahnya dekat sini saja, nanti kalau anaknya sudah berangkat, Tante Nur kembali ke sini." Leticia menjelaskan panjang lebar.

"So, where do we go now?"

"Aku nggak tahu, Leti. Kamu yang ingin aku temani, so... kamu saja yang menentukan kita akan ke mana."

"How about beach? Aku suka sekali waktu kita berjalan dan bicara-bicara berdua di pantai. Emm, tapi tidak harus. Di mana saja, asal aku dan kamu."

"Kamu nggak perlu merayuku begitu, Leti." Keduanya tertawa.

"Baiklah, Leticia. Ke pantai atau ke mana pun, yang pasti we'll have breakfast first." Leticia terbahak. Saking senangnya, ia sampai terlupa kalau cacing di perutnya juga meronta.

"Kita makan di sini saja, Yudi. Tadi aku memasak paella dengan Tante Nur. Di Madrid kami biasa makan paella saat akhir pekan, dengan papa, Benicio, dan Sebastian di meja makan. Kalau hari-hari weekdays, mereka lebih sering tidak di rumah. Hanya aku dan mama."

Gadis itu menarik tangan Wahyudi agar mengikutinya menuju ruang makan. Keduanya duduk bersebelahan. Leticia mengambilkan piring dan mengisinya dengan nasi goreng ala Spanyol itu, juga menuangkan jus jeruk dari teko ke dalam gelas dan meletakkannya di hadapan Wahyudi.

Ada yg berdesir-desir di sudut hati Wahyudi. Sepanjang 21 tahun menjadi warga dunia, baru kali ini ada perempuan selain ibu dan kakaknya yang melayaninya saat hendak makan. Mengambilkan makanan dan minuman dengan penuh perhatian.

"Tenang saja, Yudi. Oma sudah mengatur kalau selama di sini kami hanya makan makanan yang halal. Kami menghormati Salma dan Tante Dita yang sudah lama sekali tidak ketemu kami. Andro juga. Dan Tante Nur. Dan keluarga Tante Nur.

"Aku tahu, kamu sama seperti mereka, ada makanan yang tidak boleh kalian makan. Bahkan peralatan memasaknya pun tidak boleh terkena something yang disebutkan sebagaibhalal haram halal haram itu."

Respek Wahyudi pada gadis itu melambung tinggi. Di lain sisi ia makin menyadari perbedaan mereka yang begitu jauh, dan entah kenapa itu menimbulkan nyeri yang meremas hati.

"Gracias muchas, Leticia. Bisa kita makan sekarang? Aku lapar."

Leticia tergelak atas kejujuran laki-laki di hadapannya. Keduanya lalu makan dengan lahap, sambil Leticia bercerita, kebanyakan tentang keluarga yang begitu ia cintai.

Papanya bernama Baltasar Gomez Garrido, seorang Castilian tulen yang lahir dan besar di Toledo, sebuah kota kecil penuh sejarah yang menjadi ibukota dari wilayah otonomi La Mancha Castila. Family man yang sangat suka membaca dan mengobrol dengan istri serta anak-anaknya. Bersama beberapa kolega, Baltasar mendirikan firma arsitektur di kota kelahirannya.

"Kamu harus datang ke Toledo suatu hari nanti, Yudi. Walaupun tidak se-famous Madrid dan Barcelona, tapi kota tempat abuela-ku tinggal itu sangat indah. Kamu bisa menemukan jejak-jejak sejarah di sana, termasuk sejarah Andalusia. Kamu pasti tertarik. Seperti Salma."
*abuela: nenek

Sekali lagi Wahyudi menaruh respek pada Leticia. Gadis itu seolah tahu ketertarikannya pada Spanyol dari sisinya sebagai seorang muslim, bukan hanya sebagai seorang penggemar sepakbola.

Kakak Leticia ada dua, semua laki-laki. Yang sulung bernama Benicio Gomez, 28 tahun, lulusan arsitektur tapi memilih bekerja di bidang pariwisata.

"Beni sangat mencintai Spanyol. Nyaris semua tempat sudah dia jelajahi sejak remaja. Sendirian. Dia betah berjam-jam bicara tentang budaya, sejarah, bangunan, dan apapun tentang kota-kota di Spanyol. Kota yang bahkan ada yang baru kudengar namanya waktu Beni bercerita." Binar-binar di wajah Leticia menunjukkan bahwa gadis itu sangat menyayangi keluarganya.

"Tapi aku sebal karena dia selalu berganti-ganti perempuan. Aku tidak pernah menyebut mereka girlfriend-nya Beni, karena dia berganti perempuan sudah macam berganti baju dan sepatu saja."

Bicara tentang kebiasaan buruk kakak sulungnya mengubah ekspresi wajah Leticia. Dia terlihat sangat kesal, tapi jadi begitu menggemaskan di mata Wahyudi.

"Kalau Sebastian beda. Dia orang yang sangat teratur dan disiplin. Dia salah satu yang selalu papa andalkan dalam bisnisnya. Tapi itu juga yang membuat dia sering tidak ada di rumah. Walaupun di kota kecil, tapi usaha papa dan teman-temannya melayani klien di kota-kota yang lainnya juga."

Itu cerita Leticia tentang kakak keduanya, Sebastian Gomez, 26 tahun. Sama seperti papa mereka, Benicio dan Sebastian juga belajar di bidang arsitektur. Pun Leticia. Sebab ketiganya sudah akrab dengan bidang tersebut dari sejak kanak-kanak.

"Berbeda dengan Beni, Sebastian ini tipe laki-laki yang setia. Dia sudah jalan enam tahun dengan satu perempuan saja, namanya Mireya, orang Asturias. Mereka bertemu di universitas. Mamaku suka sekali sama Mireya. Dia bekerja di Madrid, jadi kadang menginap di rumah kami, terutama saat weekend atau waktu Sebastian ada di rumah."

"Dia menginap di rumah kalian?" Duh, keceplosan. Wahyudi jadi tak enak hati.

"Ya. Mereka tidur bersama. Kalau itu yang ingin kamu tahu." Leticia tertawa lepas. Tentu saja itu bukan sesuatu yang aneh baginya.

"Sorry, Leti. Aku nggak bermaksud untuk---"

"It's okay, Yudi. We live in different country with different cultures. Salma juga suka terkejut kalau aku cerita tentang bagaimana kebiasaan kami di sana. But believe me, aku tidak pernah tidur dengan laki-laki mana pun, Yudi. Mama menjagaku seperti orang tua di Indonesia menjaga anak perempuannya. Mama tidak mau kejadian Tante Dita terulang pada kami."

Astaghfirullah hal adzim. Yudi merapal istighfar dalam hati. Kalau mau jujur, pengakuan dari Leticia barusan —meski diucapkan dengan nada bercanda, sanggup membuatnya panas dingin. Dia sama sekali tak berpikir ke arah sana. Tak ingin tahu juga. Buat apa? Tapi....

"How about your family, Yudi?" Leticia balik bertanya. Topik yang sama. Tapi pembicaraan tentang keluarga bukan sesuatu yang ingin Yudi bahas saat ini. Dia menelan ludah, lantas buru-buru mengeluarkan gawainya.

"Kita jadi ke pantai, Leti? Kalau ya, aku akan cari pantai yang bagus di dekat-dekat Surabaya." Yudi berdalih. Demi menjauh dari topik yang ingin dia hindari.

[Mas, deket sini ada pantai pasir putih nggak? Info dong.]

Tak menunggu jawaban Leticia, Yudi segera mengirim pesan pada Wahyu, driver keluarga Antariksa yang sudah akrab dengannya.

[Kampungku ae mas. Tanjung bumi.]
Kampungku saja, Mas. Tanjung bumi

[Ngendi kui?]
Di mana itu?

[Bangkalan, Meduro.]
Bangkalan, Madura

[Adoh ra?]
Jauh nggak?

[Kon eruh teknologi berjeneng google maps gak se mas?]
Kamu tahu teknologi bernama google maps nggak sih, Mas?

[Asem!!]

Wahyudi tersenyum sendiri. Segera mencari tahu tentang tempat yang dimaksud oleh Wahyu.

"Ada pantai, Leti. Good enough. Tapi jaraknya sekitar 2,5 jam perjalanan dari sini. Bagaimana?"

"No importa. Tidak masalah."

"Dan aku cuma ada motorcycle." Itu juga pinjaman. Wahyudi melanjutkan dalam hati.

"Itu juga tidak masalah. Yang penting dengan kamu." Lagi-lagi Yudi terkekeh geli. Mungkin karena dibesarkan dengan dua budaya, timur dan barat, gadis itu jadi terlihat nanggung. Seperti ingin mengatakan apa adanya, tapi juga malu-malu. Ekspresinya sangat lucu. Kalau bukan karena menjaga jarak, rasanya ingin sekali Wahyudi mengulurkan tangan dan mencubit hidung gadis itu. Atau mengacak rambut keriting cokelatnya. Atau mengusap lembut pipi mulusnya.

Astaghfirullah hal adzim. Sadar, Yud! Cepat-cepat dia tepis apa yang melintas di benaknya.

"Kalau begitu aku bersiap dulu. Like i promised, Yudi. Just five minutes."

Dan Leticia memenuhi janji. Tepat lima menit setelahnya dia muncul di teras. Penampilannya yang sederhana membuat Wahyudi terpana. Celana bahan warna krem membalut tungkainya. Kaus oblong putih tipis dipadu blazer terracotta membuatnya makin memesona. Tapi saat melihat sneakers Amerika dan ransel hitam buatan Swedia yang melengkapi outfit si gadis bule, Wahyudi merasa terintimidasi. Ia tersadar dan kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada banyak kesenjangan yang membuat kedekatan mereka lebih baik segera diakhiri dan dilupakan.

"Come on, Yudi. Take me wherever you go."

Sungguh, kode yang dilempar gadis itu untuk kesekiankali berhasil membuat Wahyudi terbawa perasaan. Pada akhirnya dia memutuskan, untuk saat ini dia ingin abai pada segala jenis perbedaan antara dirinya dengan Leticia. Hanya ingin menikmati waktu bersama, yang mungkin tak akan pernah terulang lagi sesudah hari ini.

Keduanya berboncengan, membelah jalanan dengan penuh kegembiraan. Leticia melingkarkan lengannya ke pinggang Wahyudi. Entah spontan, atau mungkin juga disengaja. Pemuda harapan bangsa itu  membiarkan saja. Membiarkan pula hatinya yang rusuh dan telah porak poranda, hingga dua setengah jam pun berlalu tanpa terasa.

Sepasang muda mudi berjalan menyusuri pantai. Seorang gadis hispanik dan seorang pemuda asli Jawa. Bukan pasangan kekasih, keduanya bahkan baru beberapa hari saling mengenal. Senyum gembira terulas di wajah masing-masing. Sesekali terdengar gelak tawa, bersaing dengan debur ombak yang menyentuhi kaki mereka.

"Aku mau tahu tentang kamu, Yudi." Si gadis bule berteriak. Leticia namanya.

Si pemuda menghentikan langkahnya, memutar badan menghadap pada Leticia. "My name is Yudi. Wahyudi." Ia bercanda, menirukan cara agen rahasia asal Inggris menyebut namanya. My name is Bond. James Bond.

"Double O seven?" Mata Leticia membelalak, ekspresi wajahnya sungguh jenaka. Keduanya tergelak-gelak.

"I'm serious, Yudi. Sooo serious. Aku mau tahu lebih banyak tentang kamu." Wajah hispanik itu mendadak berubah serius.

"But why, Leti?"

"Emm, karena aku suka kamu. As simple as that."

"But not for me. Nggak sesederhana itu, Leticia."

"Why?"

"Karena aku sedang menghindari untuk menyukai siapapun. So, kalau kamu menyukaiku, itu rentan membuatku menyukaimu juga."

Tawa ceria kembali pecah di tengah keduanya. Bahasanya berbelit, tapi bagi Leticia bukan sesuatu yang sulit. Dia paham apa maksudnya.

"You've made a blunder, Yudi, 'cause what you've done makes me like you even more."

Wahyudi tak berkutik. Sekali lagi mereka terbahak, tanpa saling tahu di hati masing-masing menyimpan harap. Leticia menyimpan harap untuk terus bisa bercanda bersama. Wahyudi menyimpan harap agar tak jatuh dalam pesona si gadis berambut keriting yang sedang berdiri sambil menatapnya.

"Aku menyukaimu, Yudi. I really really like you. Aku nyaman di dekatmu. Aku senang bicara sama kamu. I'm happy. Dan aku belum pernah merasa sesenang ini berada bersama seseorang yang baru, selain keluargaku."

Wahyudi memalingkan wajah, lalu duduk asal saja di hamparan pasir putih. Leticia melakukan hal yang sama, lalu sekali lagi menatap pemuda di sampingnya.

"So, Yudi... can we always be close like now?"

***

Hai hai hai... Ketemu lagi sama Wahyudinya kita. Wkwk... Maafkan, Kamis kemarin libur updatenya. Kukira nggak ada yg nunggu. Tapi ternyata ada satu yg nanyain absennya PTA. Terima kasih yaa, aku senang sekali atas apresiasinya ❤❤

Beberapa bulan terakhir memang lagi hectic. Rariweuh kalau orang Sunda bilang. Haha... Banyak hal dan pelajaran hidup yg aku dapatkan, tapi susah banget buat dijelaskan. Ya gitu deh. Mungkin karena aku orangnya introvert. Halah :p

Sampai di part ini mungkin masih terasa alurnya lamban, ya? But it's okay, semoga teman-teman tetap bersabar.

Terima kasih udah memyempatkan untuk membaca, kasih bintang, dan meninggalkan komentar. Selalu jadi penyemangat buat aku nulis. Hehe... Dan mohon maaf untuk segala kekurangan.

See you :)

Semarang, 06032023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro