Two: Peter sang Seniman
Belum ada dua menit Peter meninggalkan Wendy, kini bocah itu sudah memikirkan apa saja yang bakal dia lakukan waktu sudah jago melukis nanti, waktu dia sudah jadi populer nanti.
Peter berlari-lari kecil sepanjang lorong sekolah, sesekali diiringi senandung kecil. Namun, langkahnya terhenti ketika dilihatnya dua sosok familiar di halaman samping gedung.
Tanpa menunggu lama, Peter langsung berlari menghampiri kedua sosok itu. "Hugo! Erland! Sedang apa kalian?" tanyanya.
Kedua bocah lelaki itu sepertinya sedang sibuk membuat sesuatu. Ketika Peter datang, mereka hanya mengalihkan pandangan sebentar padanya, sebelum melanjutkan entah apa yang tengah mereka perbuat.
"Hei, kalian sedang buat apa? Beritahu aku!" ulang Peter.
"Diam dulu sebentar kenapa, sih?" cerca Erland. "Hugo sedang dalam mode serius. Kau tahu dia tidak bisa diganggu waktu begini."
Peter kembali mengalihkan pandangan pada Hugo. Bocah berkepang panjang itu terlihat tengah sibuk menekan-nekan tanah liat. Dia bahkan tidak sedikitpun mengalihkan pandangan pada Peter.
"Ingat patung dada kaisar Romawi yang kita lihat di galeri seni minggu lalu?" Erland menjelaskan. "Kata Hugo, dia mau membuat sesuatu yang lebih bagus daripada itu."
"Pakai tanah liat?"
Erland memberi isyarat agar Peter tetap diam. "Tidak penting bahannya mau pakai apa. Patung di galeri seni terlihat bagus karena dipahat di atas batu. Tapi, bukan berarti kita, anak SD yang tidak bisa mendapatkan batu seperti itu, tidak bisa membuat yang lebih bagus, kan?"
Sayangnya, pidato berapi-api barusan sama sekali lewat di telinga Peter.
"Dengerin aku, dong!" protes Erland sambil menjitak kepala Peter, membuat yang bersangkutan berteriak keras dan berhasil merebut perhatian Hugo.
"Kalian berisik banget," dengus Hugo kesal. "Konsentrasiku jadi buyar, kan."
Peter masih menatap gumpalan tanah liat setengah jadi itu. Tiba-tiba, dia mendapat ide bagus.
"Benar juga, Hugo, tolong ajari aku!" cetus Peter. "Aku juga mau buat patung, aku bakal jadi pemahat populer!"
Dari raut mukanya, jelas Hugo amat tercengang atas pernyataan itu.
"Ya? Boleh, kan?" Peter kembali memohon.
Mulanya, Hugo tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap Peter dengan raut tak percaya, hingga kemudian dia berucap. "Tidak mau."
"Lho, kenapa?"
Hugo menghembuskan napas panjang, seolah tidak tega harus mengatakan ini. Tapi Peter masih menunjukkan raut penasaran yang teramat sangat.
"Soalnya wajahmu enggak ada rasa seninya sama sekali."
-----
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro