Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. First Day

Hari ini Adrian terlambat memasuki kelasnya. hal ini terjadi karena ia bangun kesiangan. Untungnya Yessa tidak berhenti meneleponnya. Laki-laki berambut gondrong dengan pakaian gelap itu terengah-engah ketika tiba di kelas. Dosen bertubuh tambun yang kini sedang menunjuk power point itu hanya menghela napas. Beliau terdiam dan menurunkan kaca mata.

"Maaf, Pak. Saya terlambat." Adrian tidak berusaha memberikan alasan. Setidaknya ia sudah bersusah payah untuk hadir di kelas.

"Nama?" Dosen berwajah ramah itu bertanya dengan nada malas.

Sebelum menjawab, Adrian melihat ke arah Yessa yang sudah menggeleng dan memberi peringatan.

"Adrian Birendra." Laki-laki yang rambutnya terikat itu menjawab dengan suara kelewat pelan.

"Siapa?" 

"Adrian Birendra, Pak." Adrian menjawab dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

"Ya, Adrian. Tolong tutup pintu itu dari luar." Dosen berwajah ramah itu mengusir Adrian dengan senyuman tulus di wajahnya.

Tanpa perlawanan, Adrian melangkah keluar setelah menghela napas.

Laki-laki bermata sipit itu duduk di depan ruang kelasnya hingga mata kuliah tersebut berakhir. Ketika pintu dibuka, Adrian langsung bangkit berdiri. Ia mengangguk untuk menyapa dosennya yang baru saja keluar dari ruang kelas. Setelah dosen tersebut melewatinya, Adrian berniat masuk ke kelas.

"Adrian." 

Punggung Adrian menegang. Dosen yang tadi mengusirnya dari kelas memanggil. Ia berbalik dan melangkah mendekat.

"Kenapa kamu masih di sini? Nggak ke kantin aja?" Dosen tersebut bertanya setelah menyerahkan tumpukan kertas pada Adrian.

Gerak refleks Adrian membuatnya langsung menerima tumpukan kertas itu dan membawa kertas itu sambil mengikuti langkah dosennya.

"Saya masih ada kelas setelah ini, Pak." Adrian melepaskan ikat rambutnya untuk menutupi wajahnya. Rambutnya kini terurai dan menutupi sebagian wajahnya.

Mereka tiba di ruangan dosen tersebut dan Adrian meletakkan kertas yang ada di tangannya ke meja. Laki-laki yang masih mengenakan tas itu berniat berpamitan ketika dosen tersebut menyerahkan selembar kertas. 

"Kamu nggak ikut ujian saya tadi. Silahkan kerjakan soal ini. Saya tunggu sampai jam 3 sore. Ini bukan perlakuan khusus. Nilai tertinggi untuk kamu hanya 70 dan tidak akan lebih." Dosen tersebut berbicara dengan nada peduh wibawa. 

Adrian menggenggam kertasnya lebih erat. Ini pertama kalinya ia merasa diperhatikan oleh sosok yang mungkin akan seumuran dengan ayahnya. Kebanyakan dosen akan melihatnya dengan sebelah mata karena penampilannya. Adrian bukan anak nakal yang suka mencari masalah, tetapi ia juga bukan anak pintar yang selalu menjadi pusat perhatian. Ia menjadi sosok yang tidak terlihat di kelas. 

"Terima kasih, Pak." 

***

Gadis berambut gelombang dengan pita kecil di dekat telinga itu berdiri di depan Adrian yang tengah sibuk berkutat dengan kertas dan kalkulatornya. Viona mengetuk meja Adrian kemudian tersenyum ketika laki-laki itu melihat ke arahnya.

"Butuh bantuan?" Viona memutar kursi yang ada di belakangnya hingga kursi tersebut menghadap Adrian.

"Ini ujian. Gue harus kerjain sendiri. Harusnya gue bisa kok." Laki-laki dengan rambut terurai itu melepaskan ikat rambutnya dari tangan kiri dan mengikat rambutnya di depan Viona.

"Perjanjian pasal 4. Dilarang ikat rambut depan aku. Nanti aku jatuh cinta." Wajah gadis bergingsul itu merona. 

"Huek. Amit-amit. Lo ngapain, Yan?" 

Setelah bereaksi berlebihan terhadap kata-kata Viona, Yessa turut merecoki Adrian yang harusnya diberi ruang untuk berpikir. Laki-laki berkulit cokelat itu menggeser kursinya dan menempel pada Adrian.

Adrian menghela napas lelah. Ia menatap sinis pada kedua orang yang kelihatan bahagia mengganggunya. Akhirnya ia memilih membereskan kertas dan alat tulisnya dan pindah ke sudut ruangan. Sebelum duduk, ia sempat menunjuk Yessa dan Viona dengan dua jari yang menunjuk ke arah matanya dan kedua temannya itu.

Yessa dan Viona tertawa puas. Ternyata sangat mudah menggoda Adrian.

"Anaknya emang gitu. Sok keren." Yessa berdecak setelah berbisik pada Viona.

"Dia memang keren." Viona menatap Adrian yang kini sudah mengenakan kacamata dan ia mengikat ulang rambutnya. Gadis berambut bergelombang itu menopang dagunya dengan tangan dan terus menatap Adrian yang kini kelihatan fokus dengan soalnya.

"Buta karena cinta ini judulnya." Yessa menggeleng dan menatap Viona dengan tatapan prihatin. 

"Aku penasaran sama sesuatu. Kenapa tiba-tiba Adrian berubah pikiran?" Viona menembak Yessa dengan pertanyaan yang membuat laki-laki berambut cepak itu menelan ludah.

"Alasannya, bisa tanya sama Adrian aja." Yessa buru-buru mengembalikan kursinya ke posisi semula. Ia mengeluarkan ponsel dari saku dan pura-pura sibuk dengan benda persegi panjang itu.

Viona cemberut. Namun, apapun alasannya, yang jelas Viona bersyukur akan hal itu. 

Setelah selesai dengan semua kelas di hari itu, Adrian dan Viona berencana ke perpustakaan untuk belajar bersama. Bisa dikatakan kalau hari ini adalah hari pertama mereka belajar bersama setelah tanda tangan perjanjian. 

"Lo ikut?" Adrian bertanya pada Yessa yang tidak kunjung beranjak dari bangkunya.

"Memangnya boleh?" Yessa bertanya pada Adrian dengan nada suara yang dibuat-buat.

Seketika itu juga, Viona melotot. Yessa membatalkan niat jahilnya. 

"Gue ada rapat sama kating." Yessa membalas pelototan Viona. "Nggak usah melotot gitu. Gue juga ogah jadi setan di antara kalian." 

Laki-laki berkulit cokelat itu langsung memakai tasnya dan meninggalkan Adrian dengan Viona.

 Mereka bedua pergi bersama ke perpustakaan kampus yang ada di dekat pintu utama. Perpustakaan kampus mereka terkenal sebagai salah satu perpustakaan terbaik di negeri ini. Desain modern dan koleksi buku yang melimpah membuat banyak orang berkunjung ke perpustakaan itu.

Suasana canggung memenuhi meja dengan beberapa buku itu. Viona jadi salah tingkah karena kini Adrian ada di dekatnya. Beberapa tatapan mata penasaran tertuju pada mereka. Tentu saja hal itu terjadi karena Viona adalah salah satu gadis terkenal di angkatannya. Gadis itu sempat menahan napas ketika Adrian mengikat rambutnya tanpa merasa bersalah.

"Aku mau ke kamar mandi dulu." Viona menahan panas yang menjalar di wajahnya. Ia sengaja beranjak dari sana untuk menenangkan diri.

Adrian hanya mengangguk dan sibuk membaca komik yang ada di tangannya.

Setelah kembali dari kamar mandi, Viona mendapati kalau Adrian tengah berbicara dengan seorang gadis. Viona melangkah mendekat agar bisa mendengar pembicaraan mereka. 

"Masih aja gondrong." Gadis bertubuh tinggi dan langsing itu tersenyum sambil menyentuh lengan Adrian.

Adrian hanya tersenyum dan mengangguk. 

"Lo prodi apa?" Gadis itu kembali bertanya setelah menduduki tempat Viona.

"Arsitektur. Kalau lo?" Adrian bertanya. Kelihatannya bukan hanya sekedar basa-basi.

"Gue di Seni. Seneng bisa ketemu lo. Gue nggak nyangka aja bisa lihat seorang Adrian di perpustakaan." Gadis itu berbisik hingga membuat Viona kesal.

"Separah itukah gue di mata lo? Gue juga belajar kali." Adrian menjawab masih dengan senyuman yang semakin membuat Viona kesal. 

Akhirnya, gadis itu berjalan dengan langkah besar-besar ketara sekali kalau ia sedang kesal. 

"Oh, kayaknya gue tahu alasan lo ada di perpustakaan." Gadis itu mengedipkan mata ke Adrian. Hal itu membuat darah Viona mendidih.

Adrian bangkit berdiri dan mengenalkan mereka. Bukannya menjabat tangan sambil tersenyum, Viona malah menatap gadis itu jutek. Setelah gadis itu berpamitan pergi, Viona merapikan tasnya dan mengembalikan semua buku yang sudah diambil dari rak.

"Gue nggak enak badan. Belajar hari ini kita tunda dulu." Viona meninggalkan Adrian yang masih tidak menyadari kalau gadis itu sedang kesal setengah mati. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro