28. Bad Blood
"Pakde, lepas!"
Jen tak bisa lagi berpikiran positif tentang Marcus; lelaki itu memang merayunya secara seksual, suatu hal yang tidak wajar.
Marcus mendengkus. "Kenapa kamu jual mahal?" sentaknya. "Mumpung rumah lagi sepi tidak ada orang."
"Pakde!" sanggah Jen. "Aku menganggap Pakde dan budhe adalah pengganti orang tuaku!"
"Pakde tidak perlu kamu anggap begitu. Kita tak ada hubungan darah. Ini zaman modern dan jangan sok sucilah, Jen."
Jen membeliak. "Pakde suaminya budhe Maria! Apa Pakde sudah nggak waras?!"
"Yaudah, kalau kamu terus tarik ulur." Marcus berkacak pinggang. "Kamu butuh uang berapa, sih? Nanti Pakde kasih."
"Aku nggak butuh uang Pakde!" Jen melengos. Namun Marcus lagi-lagi menahan tangannya. "Lepas!"
"Kamu tadi bilang apa? Kamu tidak butuh uang?" ulang Marcus. Ia lalu terkekeh seolah-olah sedang mencemooh Jen. "Terus yang selama ini membayar kuliah dan mencukupi kebutuhan kamu siapa kalau bukan Pakde? Semua-mua pakai uang Pakde. Kamu tuh berutang sama Pakde, dan Pakde tidak minta kamu kembalikan semua. Pakde cuma mau kita sama-sama enak."
Sekujur tubuh Jen gemetaran. Ia memang bukan wanita suci — dia pernah menjadi PSK. Namun hatinya hancur ketika Marcus menggodanya. Remuk ketika keluarganya sendiri yang mencoba mengajaknya bersetubuh.
"Aku akan anggap ini tak pernah terjadi." Pelupuk Jen berlinang air mata. "Aku lakukan ini demi Budhe, Rania, dan Miranti. Aku anggap hari ini Pakde tak pernah masuk ke dalam kamarku dan tak pernah bicara begini padaku."
Marcus mendengkus.
Jen kembali melanjutkan, "Aku akan berusaha melupakan ini. Aku akan tetap menganggap Pakde sebagai keluarga yang kuhormati." Ia lalu menepis tangan Marcus dan bergegas pergi.
"Munafik!" seru Marcus dari dalam kamar. "Lihat saja kalau kelak kamu butuh uang. Jangan harap Pakde akan kasih lagi. Emang kamu pikir cari kerja zaman sekarang gampang? Dasar sombong!"
Jen masih sanggup mendengar segala umpatan yang Marcus lontarkan meski pun sudah mempercepat langkah.
Kali ini ia benar-benar yakin akan keputusannya — ia harus segera enyah dari rumah sialan ini.
***
Jen turun dari sepeda motor milik ojek online yang ia pesan.
Dua manik cokelatnya tak berhenti menyapu pandangan pada kawasan industri yang dulu sering ia kunjungi. SIER atau Surabaya Industrial Estate Rungkut adalah salah satu perusahaan milik negara yang mengembangkan kawasan industri di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Area seluas 245 hektar itu telah disewa dan ditempati oleh sekitar 300 perusahaan yang mempekerjakan ribuan pekerja. Mulai dari perusahaan besi dan baja, suplai makanan, cat, hingga perusahaan produsen plastik kemasan, berlokasi di SIER. Termasuk perusahaan suplai makanan beku milik mantan bos Yosua.
"Mbak, helmnya ..."
"Oh, maaf, Pak." Jen segera mengembalikan helm kepunyaan ojol yang masih bersarang di kepalanya. Ia sadar terlalu lama melamun.
Setelah menarik napas berkali-kali demi menghilangkan gugup, Jen pun melangkah masuk melewati gerbang PT Abadi Jaya Sentosa.
Ia merasa sedikit aneh karena tempat itu lebih sepi dari yang ia ingat. Tak ada satu orang pun tampak berseliweran, seperti tidak ada kehidupan.
Dulu tiap kali Yosua mengajak ke sana, Jen selalu terkagum-kagum pada ratusan kontainer berisi daging olahan berkualitas yang siap diangkut oleh puluhan engkel box. Ia membayangkan andaikan bisa membawa pulang satu kontainer untuk dikonsumsi di rumah. Pasti bakal puas makan daging sebegitu banyak.
"Mbak! Mbak? Mau ke mana?!"
Sebuah teriakan terdengar menghadang Jen dari belakang. Ia pun menoleh dan menangkap sesosok lelaki berseragam satpam berlari ke arahnya. Jen kenal lelaki itu.
"Om Tris!" sapa Jen.
"Ya ampun? Jen? Jen Nera anaknya Yosua?" Lelaki yang Jen panggil Om Tris itu mendekat dengan pandangan tak percaya.
Jen membalas dengan anggukkan. Ia tersenyum di balik mata yang berkaca-kaca; Tris adalah salah satu sahabat mendiang bapaknya, lelaki bertubuh tambun itu bekerja sebagai penjaga keamanan.
"Sudah lama sekali kita tak bertemu Jen ..." kata Tris yang juga terlihat haru. "Selepas kamu lulus SMA, ya, sepertinya ...?"
"Betul, Om. Saya sibuk kuliah, jadi tidak pernah mau ikut kalau diajak bapak main ke sini," ujar Jen.
Tris dan Jen terdiam untuk beberapa saat. Mereka berdua saling pandang seolah-olah sedang bertukar kesedihan yang sama.
"Jen," deham Tris. "Maaf waktu pemakaman bapakmu, Om tidak hadir. Tapi Om sering berkunjung ke kuburan untuk sekedar membersihkannya."
Jen mengangguk. "Tidak apa-apa, Om. Terima kasih, ya, karena Om masih ingat sama bapak."
"Bapakmu itu teman yang sangat baik." Tris menghela napas. "Memang begitulah biasanya ... Tuhan selalu memanggil orang baik lebih cepat." Ia mengenang-kenang. Sejurus kemudian, Tris pun tersadar. "Oh iya. Ada apa kamu kemari, Jen?"
"Ehm, anu, Om ..." sahut Jen malu. "Aku mau bertemu Pak Joko untuk memberikan lamaran ini. Dulu, Pak Joko sempat menawariku posisi sebagai sekretaris selepas lulus kuliah."
Tris membisu. Ia menatap Jen dengan sorot sarat makna.
Jen kembali melanjutkan, "Tapi, kok, ngomong-ngomong ... kantor dan pabrik sepi sekali, Om? Apa lagi ada acara atau gimana?"
"Jen, ikut Om dulu, yuk. Kita bicara di pos depan." Tris berjalan mendahului.
Jen mengikuti Tris sambil terus bertanya-tanya. Ada seutas rasa ganjil yang mendadak mengganggu batin.
Mereka berdua lalu tiba pada ruangan berukuran 4 x 3 meter; hanya terdapat sofa kecil, meja sederhana, dan kipas angin dinding di dalam. Jen bisa mendengar suara orang bicara dari ponsel Tris yang diletakkan pada sudut meja, tampaknya lelaki itu sedang mendengarkan siaran radio pada smartphone-nya.
"Mau minum, Jen?" tawar Tris.
Jen menggeleng. "Tidak usah, Om. Terima kasih." Ia lalu duduk di atas sofa. "Jadi, Pak Joko ke mana, Om? Apa hari ini beliau tidak datang ke kantor?"
"Jen, kamu belum tahu, ya?" sahut Tris getir. "Perusahaan ini sudah dinyatakan pailit sebab terlilit utang yang tak mampu dibayarkan. Kemudian merek produk telah dijual pada PT Busaraya Group. Pak Joko dan keluarganya juga sudah pindah ke Malaysia. Seluruh manajemen akan dirombak dan diganti. Hanya kami penjaga keamanan yang masih tersisa di sini. Itu pun nasib Om belum pasti sampai pemilik baru datang dan memulai kembali kegiatan produksi."
"Pa-pailit? Bangkrut ...?"
Tris mengangguk. "Kami pun sebagai karyawan tak percaya, Jen. Tapi begitulah hidup — penuh dengan kejutan."
"Apa maksudnya sekarang perusahaan ini sudah diakuisisi asetnya oleh PT Busan Raya Group, Om?" tanya Jen.
"Akuisisi?" Tris mendecak. "Om tidak mengerti bahasa bisnisnya; yang Om tahu, Pak Joko tak bisa membayar utang usaha dan mengajukan pailit. Kemudian PT Busaraya membeli perusahaan ini. Dengar-dengar anak bungsu keluarga Park yang akan memimpin di sini."
Sekujur persendian Jen lemas dan lunglai. Ia seperti dilempar ke dalam jurang tanpa dasar.
Ya. Tris benar. Life is always full of suprises. A suprise turned misery.
Air mata lantas meleleh membasahi pipi Jen. Tangis pelan yang berubah menjadi isakkan pedih akan kelelahan batin luar biasa.
"Jen?" seru Tris. "Kamu tidak apa-apa?"
Jen tertunduk dengan bahu yang tersedu-sedu. "Lalu aku harus ke mana ...?" lirihnya. "Aku harus bagaimana?"
"Jen ..." Tris menepuk pelan pundak Jen untuk menunjukkan simpati. "Pekerjaan tidak hanya di sini saja, Jen. Kamu masih muda dan punya banyak kesempatan."
Bulir air mata Jen terus turun deras. Ternyata harapan yang berbanding terbalik dengan realita terasa sangat menyakitkan. Jen memang manusia paling sial. Semua yang ia cintai; semua yang ia usahakan, semua yang ia inginkan, selalu menjauh dan menghilang.
Jen frustrasi karena terpaksa kembali mengemis pada Maria atau Marcus. Ia sungguh berharap bisa pergi dari rumah terkutuk itu. Dan ironis ... jalan satu-satunya yang ia andalkan lenyap serta kandas.
Masa, ia harus kembali menjajakan tubuhnya lagi?
Baca Naskah Utuh POLY di akun karyakarsa Kucing (spasi) Hitam.
Ikuti juga cerita-cerita lain dari Ayana dan support melalui dukungan, vote, atau komen 🖤
Thank You
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro