Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Solitude

Ribuan orang memenuhi Gedung Q yang terletak pada kawasan universitas Jen. Mereka adalah wisudawan dan wisudawati yang ditemani keluarga atau orang tua masing-masing. Datang satu per satu dengan rona bahagia menuju auditorium bangunan yang dijuluki Green Building. Gedung yang baru saja selesai dibangun pada 2018 lalu itu merupakan kebanggaan kampus karena desain uniknya berhasil mendapatkan penghargaan dari IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) Jatim.

Jen melangkah tanpa semangat masuk ke dalam elevator. Ke mana pun matanya melirik - ia menangkap sekumpulan keluarga bahagia di sana sini. Para wisudawati itu tampil full makeup; kebaya mereka juga cantik, mungkin hasil jahitan desainer mahal. Belum lagi sepatu penuh manik-manik berkilauan yang tampaknya mahal. Lain halnya dengan Jen yang justru terlihat seadanya.

Untuk apa berdandan?

Tak ada satu pun dari keluarganya yang hadir. Tidak Marcus, Maria, Rania, Miranti, apa lagi Boy. Ya — Boy. Lelaki sialan itu sudah menghilang dari kehidupan Jen selama dua bulan belakangan. Nomor tak aktif; alamat tidak jelas, dan akun sosial media yang sama sekali tak bisa ditemukan oleh Jen.

Ia menghabiskan waktu berminggu-minggu menanti di depan lobi apartemen, tapi Boy tetap tak muncul. Ujungnya, Jen justru diusir security — dianggap mengganggu ketenangan.

Jen juga sudah lelah begadang demi mencari sosok Boy di pencarian online. Ia mengetik nama 'Boy', lalu 'Bobby Marvin', namun hasilnya tetap nihil. Keberadaan Boy seakan lenyap, ia seolah-olah mimpi indah yang berlalu ketika terbangun.

Setiap malam Jen selalu membaca ulang kertas yang Boy berikan — menelaah kata demi kata. Mencoba mencari di mana letak kesalahannya sehingga Boy pergi begitu saja.

Jen telah meratap; marah, tak terima. Ia masih punya raga, tapi tanpa jiwa.

"Ma, kita foto situ, yuk."

Jen menoleh pada salah seorang wisudawati yang berpose bersama ibunya. Sementara sang ayah mengabadikan melalui ponsel. Mereka bertiga menggunakan kostum senada; kebaya nuansa gold, yang dipadankan jarit motif Parang. Senada dengan batik yang dipakai si ayah. Ketiganya sama-sama tersenyum lebar, sesekali tertawa.

Jen pun melengos - dia sendirian.

Tiada satu pun manusia di bumi yang mengucap selamat padanya. Tiada pula yang sekedar mengajak berfoto bersama. Apa lagi repot-repot menghadiahi bunga.

Rasa pedih tiba-tiba menusuk-nusuk jalan napas Jen. Sesak seolah ada himpitan batu besar di dada. Jen pikir ia terbiasa dengan kesepian, ternyata ia salah. Untuk kali ini; lubang pada relung Jen teramat kentara, lukanya kembali bernanah. Ia rindu pada mendiang bapaknya, serta sosok ibu yang wajahnya sudah tak lagi terpatri pada memori. Ia juga rindu ... Boy.

"Hoi. Udah lulus kok malah nangis?"

Cecilia berdiri santai di dekat Jen sambil meringis. Wanita Chindo itu tampak santai dengan tanktop dan jeans belel.

"Sil?" Jen menyeka air mata.

Cecilia merangkul pundak Jen. "Selamat, ya!" ucapnya.

"Ma-makasi," sahut Jen tergagu. "Kamu ke mana aja? Nggak pernah kelihatan di kampus."

"Biasa ... sibuk kerja," jawab Cecilia acuh tak acuh. Ia mengajak Jen berjalan menuju elevator gedung.

"Terus kuliahmu gimana?" selidik Jen.

"Ya, kependinglah." Cecilia terkekeh. "Memang sengaja, sih. Om-om lebih suka sama mahasiswi. Kalau aku lulus, aku khawatir sepi job."

"Oh ..." Jen hanya tersenyum kecut.

Cecelia menoleh kiri-kanan. "Kamu sendirian?"

"Ya."

"Baguslah. Nggak sia-sia aku ke sini cari kamu." Cecilia menekan tombol lift sambil memandangi Jen lekat. "Aku butuh teman hangout."

"Kenapa harus aku?"

"Karena cuma kamu satu-satunya temanku, Je."

Mereka berdua lalu saling berpandangan. Seutas garis melengkung terukir pada bibir Jen. Ia lantas mengikuti Cecilia yang masuk ke dalam elevator terlebih dahulu.

"Kita mau nongkrong di mana?" tanya Jen tersenyum.

***

Cecilia meneguk segelas cocktail dengan rakus. Cairan berwarna merah itu hanya tersisa kurang dari separuh saja. Rasa masam bercampur manis dari buah blackberry membuat mata Cecilia sedikit memicing. Namun ia tak kapok dan justru kembali menenggaknya sampai habis.

"Kamu nggak minum, Je?" tanya Cecilia.

Jen menggeleng. "Aku nggak mungkin pulang dalam kondisi mabuk, Sil."

"Alah! Nggak usah pulang. Ikut aku aja — kita cari hotel bagus untuk staycation. Malam nanti kita party sampai teler. Gimana? Aku yang traktir semua, deh."

Jen tersenyum kecil. "Aku harus pulang, Sil."

"Ngapain, sih, pulang? Bukannya kamu bilang rumahmu mirip neraka. Lagian kamu, kan, udah lulus, Je. Kamu nggak butuh lagi budhemu yang cerewet itu." Cecilia lantas mengkode pelayan untuk mengantar cocktail baru untuknya.

"Ya memang aku sudah lulus. Tapi aku belum punya kerjaan dan masih menumpang di rumahnya," terang Jen.

Cecilia mengerucutkan bibir.

"Alah. Kamu juga, sih, pakai berhenti open BO segala. Padahal bayarannya lumayan. Sekarang kamu nggak perlu bayar kuliah, jadi uangnya bisa dipakai untuk sewa kos dan biaya sehari-hari." Kekesalan wanita itu pun sirna ketika minumannya diantarkan oleh pelayan. "Betewe, ke mana pacarmu si Boy itu? Kenapa nggak kelihatan? Bukankah dia alasanmu berhenti bekerja bersamaku?" cecarnya.

Jen tertunduk. Ia memalingkan wajah untuk menyembunyikan getir. "Kami sudah putus."

Cecilia membeliak. "Huh? Apa?!" Ia setengah memekik. "Kenapa, Je? Padahal sejak sama Boy, pandanganmu soal uang berubah. Kupikir kalian serius. Kok belum lama udah putus?"

"Aku terlalu baper seperti katamu, Sil." Jen meringis. "Padahal aku tahu kalau satu-satunya yang tak pernah berkhianat adalah uang. Tapi aku justru lebih percaya semua bualan lelaki itu."

Cecilia terkekeh. "Kubilang juga apa! Nggak usah percaya sama cowok. Semua cowok di dunia cuma baik karena ada maunya. Kalau nggak pengen ngentot ya karena mau pinjem duit. Udah itu doang!"

"Ya." Jen ikut tertawa. Hanya tawa palsu demi menyembunyikan patah hati yang masih terasa mencabik-cabik.

Cecilia pun mencondongkan tubuh mendekat. "Jadi gimana? Mau balik kerja open BO, nggak?"

"Aku berniat melamar ke perusahaan tempat mendiang bapakku dulu bekerja semasa hidupnya," tolak Jen halus.

Cecilia mendengkus. "Yah ... sayang sekali. Padahal pekerjaan ini nggak berat dan duitnya banyak. Tapi kalau memang keputusanmu sudah bulat, ya, aku nggak bisa maksa." Ia lantas menyeringai. "Cuma kalau kamu kepepet, jangan sungkan hubungi aku lagi, Je."

***

Jen memeriksa riasan pada wajahnya di depan cermin kamar. Bibir wanita itu tampak segar dengan pemulas berwarna mauve.

"Deep pink looks great on you ..."

Jen buru-buru menghapus lipstik dengan tisu basah. Enggan menyisakan segala kenangan yang berhubungan dengan Boy. Lelaki jahanam yang telah meninggalkannya tanpa alasan jelas. Jen tak percaya Boy meng-ghosting-nya. Jahat.

Mata Jen berkaca-kaca, namun sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tak tumpah. Bisa sia-sia jika bedaknya luntur karena tangis. Wanita itu lalu membuka laci untuk mengambil lipstik baru, tapi ia malah menemukan kalung pemberian Boy dulu.

Relung Jen kembali tercekat.

Anehnya — ia tak mampu membenci lelaki bermata monolid itu. Boy tak pernah membuatnya kecewa atau bersedih. Dalam ingatan Jen; Boy adalah sosok lelaki paling sempurna, oleh karena itulah sekarang ia sadar bahwa Boy memang tidak nyata.

Dengan kesal ia menutup kembali laci, lalu mengambil pewarna bibir seadanya yang tergeletak di meja rias. Warna apa saja asal bukan mauve atau deep pink.

"Siang, Jen."

"Pa-Pakde?!" Jen tersentak. Tak menduga Marcus ada di rumah. "Kok sudah pulang?"

"Ya, Pakde pulang sebentar soalnya ada dokumen yang tertinggal," terang Marcus. Tanpa permisi ia sudah menerobos begitu saja ke dalam kamar Jen. "Kamu mau ke mana?"

"Masukkan lamaran ke perusahaan tempat bapak kerja dulu."

Marcus memandangi Jen dari atas ke bawah. Ia senang keponakannya itu memakai rok span di atas lutut. Ada senyum terkulum pada bibir Marcus.

"Kamu ngapain, sih, masukkin lamaran ke perusahaan lain? Padahal kerja sama Pakde, kan, enak. Gajinya banyak dan kerjanya santai."

Jen tersungging penuh paksaan. "Terima kasih, Pakde. Tapi aku nggak mau merepotkan." Ia menengok ke luar kamar dengan gelisah. "Pakde nggak nemui budhe?"

"Lho, budhemu, kan, lagi keluar. Gimana, sih, kok kamu nggak tahu?" Marcus semakin mendekat. Tanpa permisi tangan lelaki itu melanglang liar menyentuh pundak Jen.

Jen melengos. "Pakde, maaf tapi aku berangkat dulu."

Marcus tak mampu lagi menahan hasrat. Alih-alih membiarkan Jen; ia beralih menahan lengan si keponakan erat, kemudian menarik Jen agar merapat padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro