23. Another Love
Kedua sudut bibir Jen membentuk garis melengkung ke atas. Ia memandang milik Boy yang terangguk-angguk menyapa. Bagian intim itu sangat menggoda; besar, panjang, dan kokoh. Bagaimana mungkin Jen mampu menolak? Ia rindu milik Boy mengisi kekosongan di bawah sana.
Jen pun bangkit dan merangkak menuju adik Boy yang sudah bangun.
Boy tahu pasti apa yang akan dilakukan sang kekasih. Ia pun menahan napas sampai miliknya terbenam separuh dalam kuluman.
"Hmmh, yes, Baby ..." geram Boy.
[CUT. BACA UTUH DI AKUN KARYAKARSA KUCING (SPASI) HITAM]
"Besok aku akan ke Jakarta, Jen," kata Boy.
"Kenapa?"
"Aku harus bertemu dengan saudara-saudaraku di sana, ada urusan keluarga yang harus kuselesaikan," terang Boy.
Jen menoleh untuk menatap paras kekasihnya lamat-lamat. "Tapi kamu akan kembali ke sini lagi, kan?"
"Tentu saja." Boy tersenyum dan membalas tatapan Jen. "Aku cuma pergi beberapa hari."
"Baiklah." Jen memeluk Boy. "Sampaikan salamku untuk saudara-saudaramu."
Boy menerawang. "Iya ... Jen."
Jen lantas menyapu pandangan ke seluruh sudut kamar, ia tersungging.
"Kamar ini sangat indah, Boy. Waktu ke mari, aku menempati tipe yang lebih kecil dari ini."
"Sekarang sudah tak ada lagi kenangan menyedihkan, kan?" selidik Boy.
Jen menggeleng. "Tidak ada. Sekarang semua memori menyakitkan itu berganti dengan kebahagiaan akan kebersamaan kita. Kamu berhasil menghapus getir yang kurasakan." Ia lalu menegakkan kepala untuk mengecup pipi sang kekasih. "Terima kasih."
"Makasi aja?" Boy menyengir jahil.
Jen memicingkan mata. Ia lalu terdiam sesaat untuk berpikir keras. "Nggak, sih. Aku ada jokes buat kamu."
"Oh ya? Apa?" Boy mendadak antusias. Jen tahu saja apa yang dia suka.
"What do you call disabled Asian?"
Boy mengernyih. Ia butuh waktu lumayan lama untuk menemukan jawaban. Tapi pada akhirnya lelaki itu menyerah. "What?" selidiknya.
"Sum Ting Wong."
(something wrong)
Mereka berdua sama-sama membisu. Hening sembari saling memandang satu sama lain. Jen salah tingkah karena menyadari kekonyolannya. Namun tiba-tiba tawa Boy pecah; ia cekikikan sambil memegang perut, lalu mengusap puncak kepala sang kekasih.
"Wah, pacarku sudah ketularan receh rupanya ..." kelakar Boy puas.
***
Seorang wanita dengan rambut panjang yang diwarnai brown-bayalage tampak cantik dalam balutan gaun pengantin serba putih. Dua orang pegawai membantu dirinya menyesuaikan ukuran dress agar pas membalut tubuhnya yang langsing. Ia tampak bersinar bak putri Raja karena gemerlap dari kristal Swarovski pada seluruh roknya. Tak hanya itu; terdapat ribuan payet rumit, tulle bersulam, dan 10 lapisan mullet.
Sementara pundaknya dibiarkan terekspos oleh detail off shoulder dari gaun mewah pilihannya.
"Cantik sekali, seperti barbie hidup," puji salah satu pegawai.
Caithlyn hanya merespon dengan senyum tipis. Lalu netranya tertuju cermin besar yang memantulkan sosok seorang lelaki yang muncul dari balik partisi.
"Booyah Park?" Caithlyn berbalik menatap Boy.
Ketika Boy datang, dua pegawai yang semula membantu Caithlyn bergegas berjalan menjauh. Mereka sadar pasangan calon pengantin itu butuh privasi.
Raut Boy nyaris tanpa ekspresi - dingin dan kaku. Ini kali pertama ia menjumpai calon istrinya. Dari pemilihan gaun yang wanita itu kenakan, Boy sudah bisa menebak seperti apa Caithlyn kira-kira. Wanita sosialita yang terbiasa hidup glamor.
"Aku datang demi memenuhi permintaanmu," kata Boy datar.
Caithlyn tertawa kecil. "Ah, pada pertemuan pertama kita kamu sudah menunjukkan ketidak-sukaan. Apa tidak bisa kamu sedikit berbasa-basi atau memberikan senyuman?"
"Kenapa harus berbasa-basi segala kalau kamu sudah tahu isi hati dan pikiranku? Alangkah baiknya kita berdua sama-sama jujur. Aku tahu kamu juga tak menyetujui perjodohan ini, Caithlyn."
Caithlyn tersungging manis. "Panggil saja Cate," sanggahnya. "Kata siapa aku tak menyetujui perjodohan ini? Aku sangat-sangat setuju." Ia tersenyum lebih lebar. "Aku sudah melihat fotomu dan mengagumi ketampananmu, Booyah Park. Aku juga mendengar bahwa kamu memiliki otak yang sangat cerdas."
"Jadi kamu setuju menikah denganku berdasarkan fisik dan kelebihan yang kumiliki?" Boy mendecih. "Kukira kamu wanita yang berpikiran modern dan menentang perjodohan kolot semacam ini. Rupanya aku salah."
"Tentu saja tidak," sanggah Caithlyn. "Kamu merupakan tiketku untuk hidup bebas merdeka dari segala kungkungan. Jadi berhentilah bersikap skeptis dan jalani takdir pernikahan kita dengan lapang dada."
"Apa maksudmu, Cate?"
"Kak Vincent sudah memberitahuku soal tradisi keluarga Park." Caithlyn mengangkat rok dengan kedua tangan. Ia lalu berjalan menghampiri Boy, wanita itu lantas membisik, "Tentang praktik open marriage yang kalian semua jalani. Aku menyukainya."
Boy mendengkus. Caithlyn adalah salah satu dari keluarganya - pemikiran mereka semua sama-sama gila. Tidak waras dan tidak bermoral.
"Jadi apa yang kamu keluhkan?" lanjut Caithlyn. "Aku tahu kenapa kamu menentang pernikahan ini; aku yakin kamu memiliki seorang kekasih di luar sana, and it's okay. Kamu tetap bisa menemui kekasihmu selepas pernikahan kita. Sama halnya denganku."
"Pernikahan seharusnya sakral, Cate. Tidak sepantasnya bermain-main di depan Tuhan," bantah Boy.
Caithlyn menggeleng. "Sejak kapan manusia bisa puas dengan satu pasangan seumur hidupnya? Zaman dahulu para Raja dan bangsawan bahkan memiliki ratusan selir untuk mendampinginya. Lalu mengapa sekarang harus terikat hubungan monogami? Itu hal yang mustahil."
"Pantas saja Kak Vincent sangat menyukaimu. Kalian sama," dengkus Boy.
"Kamu saja yang berbeda." Caithlyn melirik Boy sinis. "Apa kamu lupa bahkan orang tuamu menganut praktik ini?"
"Jangan berani membahas orang tuaku!" sentak Boy.
Suaranya yang menggelegar membuat para pegawai butik yang menunggu di area foyer sontak menoleh terkejut. Namun mereka buru-buru mengalihkan atensi seolah tuli.
Caithlyn berpaling. Ia kembali memusatkan fokus ke arah cermin untuk menelisik penampilan.
"Aku tak mau bertengkar denganmu. Kita adalah teman. Dan kekasihmu - di mana pun dia berada sekarang - juga temanku," ujar Caithlyn. "Kumohon cobalah suit mu sekarang. Aku sudah lelah karena terlalu lama menunggu."
Boy bergeming.
Caithlyn menyorot Boy dari pantulan kaca. "Sesuai maumu, pernikahan kita akan digelar tertutup. Tanpa pers, tanpa media atau wartawan, dan aku tak akan menampilkan wajahmu pada sosial mediaku. Kamu puas?"
Boy memilih bungkam dan melengos. Sebelum ia melangkah terlalu jauh - Caithlyn kembali memanggil.
"Aku yakin sikap kakumu akan berubah seiring waktu berjalan. A wise man adapts himself to circumstances, as water shapes itself to the vessel that contains it." Kata Caithlyn mengutip salah satu pepatah Cina yang pernah ia dengar sebelumnya.
Hola, Darls!
Kalian bisa baca naskah utuh Poly di akun karyakarsa Kucing Hitam . Atau komen spy aku bisa bagiin link-nya 🖤
Sampai ketemu di sana, yaa !
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro