21b. Flirty - Part 2
"Kamu pacaran sama anak tadi, Jen?" Marcus mengendarai kendaraannya menembus jalanan yang lumayan macet. Sesekali mata lelaki itu mengarah ke spion tengah - waspada pada pengendara motor yang suka menyalip semaunya.
"Nggak, Pakde," elak Jen.
"Baguslah. Anak tadi pasti tak serius denganmu. Dia sepertinya tipe yang slengek'an, lagian biasanya etnis Tionghoa cari yang sesama ras dengan mereka. Bukan orang Jawa sepertimu, Jen." Marcus mengulum senyum. "Mereka seolah menciptakan jarak dengan kita."
Jen mengembuskan napas. Ia lalu menoleh ke arah Marcus. "Mereka tidak menciptakan jarak. Apa yang Pakde katakan cukup rasis dan tidak berdasar. Ada beberapa alasan kenapa keturunan Tionghoa selalu mencari pedamping dari sesama etnisnya. Yang pertama, sebagian besar dari mereka masih trauma dengan kerusuhan tahun 98. Sentimen anti Cina membakar habis toko, kendaraan, dan rumah masyarakat Tionghoa. Para sentimen lalu menjarah barang-barang; bahkan ada yang tega memperkosa para turunan Tionghoa, seolah tanpa ampun."
"Itu, kan sudah lama berlalu, Jen," sanggah Marcus.
"Lama berlalu bukan berarti tidak pernah terjadi," sahut Jen. "Sampai sekarang pun masih banyak perseorangan atau organisasi yang masih anti etnis Tionghoa."
Marcus terdiam.
Jen kembali melanjutkan, "Alasan lainnya; kita punya perbedaan adat, budaya, bahkan agama. Lalu, etnis Tionghoa rata-rata memiliki pergaulan atau komunitas yang sempit. Mereka akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah swasta yang didominasi oleh turunan Tionghoa juga. Tumbuh di lingkungan seperti itu terang saja selera mereka cenderung pada sesama Tionghoa. Last but not least, etnis Tionghoa biasanya rajin dan sudah memiliki usaha diusia muda. Tapi bukan berarti pernikahan beda etnis nggak pernah terjadi. Banyak kok orang Jawa yang berjodoh sama Tionghoa."
"Kamu pintar, Jen." Marcus mengangguk-anggukkan kepala.
"Satu lagi Pakde; berkulit putih dan punya mata sipit bukan berarti Chinese, contohnya Boy." Jen berujar mantap. Padahal dia dulu juga sempat menduga lelaki itu adalah keturunan Tionghoa.
"Pakde senang bicara denganmu, Pakde suka ngobrol sama cewek cerdas." Marcus mengulum senyum seraya melirik Jen melalui sudut mata.
Shit. Jen menyesal sudah mendebat Marcus seperti tadi. Sekarang ia merasa terjebak dalam suasana cringe bersama pakdenya itu.
Beruntung, kendaraan akhirnya berbelok pada gapura kompleks tempat mereka tinggal. Jadi Jen tak perlu berlama-lama meladeni omong kosong Marcus. Namun saat wanita itu hendak turun dari mobil, Marcus tiba-tiba mencegah.
"Kenapa Pakde?" tanya Jen bergidik.
"Besok pulang kerja kita nggak perlu langsung ke rumah. Kalau kamu mau, Pakde bisa ajak kamu jalan-jalan. Gimana?"
Jen menyungging senyum keterpaksaan. "Nggak usah, Pakde. Besok aku harus pulang cepat karena lusa ada bimbingan tesis. Makasi tawarannya." Ia memalingkan badan, tapi Marcus lagi-lagi menahan.
"Jen," panggil Marcus. Tangan lelaki itu mulai jelalatan memegang bahu Jen.
"Papa udah pulang?" Seruan Maria yang membuka pintu depan terdengar nyaring. Wanita itu sumringah menyambut sang suami tercinta.
Jen menghela napas lega. Baru kali ini kemunculan Maria menjadi hal yang ia syukuri. Dengan bergegas Jen keluar dari Pajero dan meninggalkan Marcus.
Maria melirik Jen sinis. "Jen, ganti baju dan siapin makan malam, ya. Buruan. Pakdemu pasti laper."
"Iya, Budhe," sahut Jen sambil mengulum senyum.
Paling tidak hari ini ia selamat dari rayuan Marcus - lelaki yang tampaknya mengalami puber kedua itu.
***
Boy mendecih selepas membaca pesan yang dikirim Vincent padanya. Lelaki itu memilih tak membalas. Meski begitu - kali ini ia kehabisan alasan untuk menolak.
KAK VINCENT
[Kamu harus pulang segera. Caithlyn memerlukanmu hadir untuk fitting pakaian pernikahan. Ia tak mungkin melakukannya sendiri.]
Boy memang harus ke Jakarta dalam waktu dekat.
Baca naskah utuh Poly di akun karyakarsa Kucing (spasi) Hitam.
Thank you 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro