16. Heritage
"Booyah Park!" Vincent menatap Boy penuh amarah. Kedua mata lelaki bertubuh tegap itu berkilat membingkai hidung yang berkerut. "Jaga bicaramu," bentaknya. "Kamu pikir dari mana semua fasilitas mewah yang selama ini kamu dapatkan? Menempuh studi di luar negeri tanpa kekurangan satu apa pun, kamu pikir semua cuma-cuma, huh?!"
Boy bergeming.
"Kalau bukan berasal dari keluarga Park, kamu tak akan bisa mendapatkan itu semua, Boy," lanjut Vincent. "Kamu harusnya bersyukur karena terlahir sebagai Booyah Park; putra bungsu dari generasi ketiga keluarga Park, pemilik Busaraya Group. Banyak orang rela membunuh demi mendapatkan kehidupan sepertimu, seperti kita." Ia lalu mendekat dan memegang bahu sang adik. "Berapa lama lagi kamu akan mengulur ini? Kami tidak sabar menunggumu bergabung ke dalam perusahaan, Boy. Meneruskan kejayaan yang diwarisi oleh mendiang kakek dan ayah kita."
Kepala Boy tertunduk. Bibir lelaki itu masih membisu. Ia bukannya tak ingin menjalankan peran di Busaraya; tetapi untuk melakukan itu, ia diwajibkan menikah dengan tunangan yang sudah dipersiapkan.
"Kasih aku waktu untuk berpikir, Kak," kata Boy.
"Berapa lama? Satu bulan?" sahut Vincent.
"Satu tahun."
Vincent membeliak. "Satu tahun? Jangan bercanda, Boy!" Ia lalu mendengkus dan melayangkan sorot tajam. "Lima bulan! Tidak lebih dan tidak ada negosiasi lagi."
***
Jen Nera berdiri di sisi meja persegi panjang yang sudah dipenuhi piring berisi masakan buatannya. Ia menunggu seisi rumah bangun untuk menyantap sarapan. Jantung wanita itu sedikit berdebar; ia sudah mempersiapkan diri jika nanti Maria akan menyindirnya, atau lebih buruk lagi menghina habis-habisan.
"Ngapain kamu?" sapaan Maria membuyarkan Jen yang tertegun.
"Nunggu Budhe sama Pakde," sahut Jen.
Maria mengerutkan dahi. "Kamu biasanya kalau makan, kan, di dapur, ngapain nungguin kita? Sana, makan saja di belakang," usirnya.
"Bukan, Budhe. Aku di sini bukan buat makan bersama, tapi ada yang mau aku omongin."
"Soal apa?" Maria menarik kursi makan dan merebahkan bokong.
"Pagi."
Belum sempat Jen menjelaskan, suami Maria muncul dengan senyum terkulum. Tatapan lelaki itu pada Jen selalu sarat makna alias maksud terselubung.
Maria bergegas menyiapkan piring untuk sang suami. Dengan penuh perhatian wanita bertubuh berisi itu menuangkan kopi panas ke dalam cangkir Marcus, suaminya. Di lain sisi, atensi Marcus lekat tertuju pada Jen yang bergeming di dekat mereka.
"Kenapa, Jen?" selidik Marcus.
"Katanya dia mau bicara," sela Maria. Ia lantas beralih menatap Jen. "Mau ngomong apa kamu tadi?"
Jen menelan saliva untuk menindih ego. "Begini Budhe, Pakde," katanya. "Setelah aku pikir-pikir, aku ingin coba bekerja paruh waktu di kantor Pakde. Itu juga kalau Pakde masih mau menerima."
Seutas cibiran sontak terbentuk pada bibir Maria yang berpemulas merah bata.
"Kenapa dengan pekerjaanmu sebagai SPG, Jen? Bukannya kamu bilang betah menekuni profesi itu. Katanya duitnya banyak," sindir Maria.
Jen terdiam.
Seakan belum puas, Maria kembali melanjutkan, "Sekarang saja minta kerjaan sama Pakdemu, kemarin-kemarin waktu ditawarin nolak. Berlagak tidak butuh dan sombong banget."
"Bu-bukan tidak butuh, Budhe," sanggah Jen. "Aku hanya tidak mau merepotkan Pakde dan Budhe lagi."
"Alah," cemooh Maria.
Marcus tersenyum. "Ehm, jadi kamu mau paruh waktu di kantor Pakde, Jen?"
"Iya," kata Jen.
"Kerjanya, ya, bantu-bantu Pakde dan memenuhi kebutuhan Pakde di kantor." Marcus memandangi Jen dengan tatapan penuh arti.
Lidah Jen kelu. Entah mengapa ada perasaan tak nyaman tiap kali berdekatan dengan Marcus.
"Iya, Pakde, selama tidak ganggu jadwal kuliah, aku siap. Tapi kalau pas ada kebutuhan di kampus, aku boleh izin, kan?"
Maria melotot. "Ya ampun, ini anak, udah dikasih ati mintanya rempelo. Namanya orang kalau minta dibantu tuh jangan kebanyakan persyaratan, deh."
"Sudah," tahan Marcus pada Maria.
Maria menekuk muka, sementara Marcus kembali melayangkan tatapan pada Jen.
"Kapan kamu bisa mulai masuk?"
"Terserah, Pakde. Jadwal kuliahku juga kosong karena dosbing bilang konsultasi tesis cukup lewat email saja," jawab Jen.
"Baiklah. Besok kamu bisa mulai masuk, Jen," ujar Marcus.
Seharusnya Jen senang, tetapi senyum justru tak bisa timbul pada bibir wanita itu. "Makasi, Pakde," ucapnya.
***
Boy mengamati sosok Jen yang fokus di depan laptop. Baru kali ini Boy melihat wanita itu seserius kali ini. Kedua alis tebal yang saling bertautan; membingkai bola mata belo mirip boneka, selain itu hidung Jen yang bangir juga sedikit mendengkus seolah-olah ia sedang marah. Jen Nera sangat cantik. Paras wanita itu mampu membuat Boy betah berlama-lama membingkainya dalam sorotan.
Namun senyum Boy perlahan sirna tatkala teringat janjinya pada Vincent.
Dia dan Jen tak memiliki masa depan. Jen layak hidup berbahagia, toh jalan wanita itu masih panjang. Kelak - ia akan menemukan tambatan hati baru. Lelaki yang bisa menemani Jen dan membuatnya bahagia.
Jen juga wanita cerdas; Boy yakin selepas lulus kuliah wanita itu akan menemukan pekerjaan impian, dan karir yang cemerlang. Lalu saat semua berlalu, keberadaan Boy hanya tinggal sepenggal dari kenangan masa muda dalam salah satu bab kehidupan seorang Jen Nera.
"Serius amat!" Boy mencubit gemas pipi Jen yang tembam.
Jen hanya meringis sebentar, kemudian kembali memusatkan atensi ke depan layar. "Aku harus menyelesaikan skripsi secepat-cepatnya. Mulai besok aku akan kerja di kantor Pakdeku dan perasaanku tak enak."
"Kenapa?" selidik Boy.
"Entahlah," kata Jen seraya mengendikkan bahu. "Aku merasa dia adalah lelaki mata keranjang. Cara dia melihatku mirip seperti cara para pelanggan-pelanggan yang pernah kulayani dulu."
"Masa? Bukankah dia kerabatmu," sergah Boy.
"Yah ... doakan saja ini semua cuma perasaanku. Lagi pula, apa yang bisa dia lakukan di kantor yang penuh oleh karyawan. Fakta akan hal itu, satu-satunya yang membuatku tenang."
Boy mengangguk. Ia mengambil tempat di sisi Jen, lalu membelai wajah kekasihnya penuh kelembutan.
"Jen," panggil Boy.
"Hmm?" Jen berusaha tetap fokus.
"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu membayar uang semesteranmu sampai kamu lulus," tawar Boy.
Mata Jen membelalak. "Kamu? Dapat uang dari mana? Pasti kamu berniat pinjam dari Vincent, ya?!" tebaknya.
Boy terdiam. Tak mengiakan juga tak menbantah - sikap yang selalu ia lakukan sejauh ini.
"Jangan, ih! Jangan coba-coba pinjam sama temanmu si Vincent itu," tolak Jen. "Dan lagi ..." Ia lantas menelisik ke sekeliling unit apartemen. "Sampai kapan kamu mau tinggal di sini, Boy? Tinggal di tempat Vincent. Aku berharap kamu segera pindah dan tak lagi berteman dengan teman-temanmu yang kemarin."
"Kenapa?"
"Kamu tahu, kan, mereka bukan orang-orang yang baik." Jen mengembuskan napas. "Aku takut kamu ketularan jadi lelaki-lelaki mesum tanpa perasaan seperti si Vincent."
Mata Boy berubah nanar. Andai Jen tahu kalau Vincent bukan sekedar teman baginya; melainkan saudara kandung, apa mungkin wanita itu masih mau berhubungan dengannya?
"Boy," panggil Jen. "Carilah pekerjaan lalu pindah dari sini. Ngekos, kek, gimana, gitu ..."
"Iya," sahut Boy memaksakan senyum.
"Memangnya kamu nunggu apa lagi?" buru Jen.
Boy mengusap puncak kepala Jen. "Aku tunggu sampai skripsimu selesai. Kamu butuh tempat nyaman untuk mengerjakan tesismu dan tempat ini adalah tempat yang nyaman. Selain itu; aku juga pinjam laptop ini dari Vincent," dalihnya.
"Oiya-iya," gumam Jen. "Aku bahkan lupa kalau lagi pakai barang punya dia."
Boy terkikik. "Sudahlah. Sana, kerjakan lagi tesismu. Aku akan membantumu mengkoreksinya. Okay?"
"Okay." Jen mengangguk. Ia lalu menyorot Boy menggunakan iris caramelnya. "Eh, kamu bakal datang saat aku wisuda, kan?"
Hati Boy mendadak nelangsa - teriris sekaligus sembilu. Mulutnya mendadak beku seolah ada riak dari rasa bersalah yang meronta dalam tenggorokan.
"Iya, aku pasti akan datang, Jen," Sebuah janji penuh dusta pun terucap dari bibir Boy. Janji yang bahkan ia sendiri tak tahu apakah bisa menunaikannya.
"Eh, Boy," panggil Jen lagi. Ia menutup program Ms. Word sambil tersenyum jahil. "Istirahat dulu, yuk."
"Istirahat?"
Jen beralih membuka tab baru, ia melirik Boy untuk mengikuti reaksi lelaki itu. "Kita nonton porn, mau?"
Bagian terpotong / Part 21+ bisa kalian baca utuh di Akun Karyakarsa Kucing Hitam 🖤
Atau kalian bisa komen untuk aku kasih link akunnya !
Please, follow, vote, dan komen agar aku semangat terusin cerita ini di wattpad 🖤 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro