Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Epiphany

Jen Nera mengeluarkan karet pengaman dari dalam tas. Ia berdiri membelakangi si pelanggan yang duduk pada ranjang. Kepala Jen sedikit pening. Semua akibat bau parfum dari tubuh pelanggannya itu. Aroma yang menyengat sekaligus kuat bukan main - seolah dia tak sekedar menyemprotkan parfum ke badan, melainkan mandi berendam di dalamnya.

"Kamu cantik banget. Sesuai seleraku." Lelaki itu menghampiri dan merengkuh pinggang Jen. Ia lalu mencumbu tengkuknya penuh nafsu.

Bulu kuduk Jen meremang.

Ia memejamkan mata untuk mengatur napas yang berantakan. Namun ketika semua menghitam, bayangan Boy justru hadir mengusik pikiran. Ketika si pelanggan menyesap pundak Jen dengan liar, ingatan ketika Boy menyangga dagu pada bahunya semakin kuat mengganggu.

Tangan lelaki itu mulai berani menyusup ke depan, mencari-cari dua bukit kembar Jen dan meremasnya.

"Oh, cantiknya ..." bisik si lelaki. Ia menuntun Jen untuk berbalik badan. Kemudian menyingkap atasan sang wanita agar matanya bebas memandangi buah dada yang sangat ingin ia mainkan.

Otot-otot Jen menegang. Ia bersandar pada meja untuk menopang tubuh yang sedikit gemetar. Sementara pelanggannya sedang asyik memainkan gundukan kenyalnya secara bergantian. Menyusu buas di area itu seperti kelaparan.

"Aku akan menunggumu."

"Andai saja kamu berubah pikiran."

Jen semakin tercekat. Sesuatu dalam hatinya seolah sedang sibuk berperang satu sama lain. Logika memaksa untuk bertahan demi uang. Tetapi nurani Jen menjerit meminta berhenti.

"Ayo kita ke ranjang." Lelaki itu menuntun Jen untuk berbaring di kasur.

Jen pun patuh seperti seekor anjing terlatih. Saat ia sudah terlentang; pelanggan tadi melanjutkan jamahan, melucuti jeans, lalu menurunkan celana dalamnya. Kewanitaan Jen yang terekspos menjadi sasaran baru bagi lelaki hidung belang itu.

"Cantiknya," desah si pelanggan.

Seharusnya tidak sulit bagi Jen untuk melakukan layanan dewasa, ini bukan yang pertama. Tetapi tetap saja ia kesulitan. Terlebih sekarang - saat ia tahu ada lelaki tolol yang menunggunya selesai bekerja di bawah. Bocah kutu buku yang bersikukuh tak akan pergi hingga Jen pulang. Lelaki bersenyum menawan yang katanya akan menerima segala baik-buruk Jen dengan pikiran terbuka. Lelaki yang memandang Jen melalui sorot lembut tanpa secuil pun mengintimidasinya.

Dia Boy ...

Degup jantung Jen bertabuh; bertalun-talun, dan berdentum. Ia sudah kalah. Ia sudah termakan omongan sendiri.

Jen terlanjur jatuh cinta pada Boy, pemuda miskin yang motor butut pun dapat dari hasil meminjam.

Padahal ia sudah bersumpah hanya akan menyukai lelaki-lelaki kaya raya. Yang melemparkan segepok dolar selesai bercinta. Memberikan cincin berlian dan tas Hermès setiap selesai nge-date. Dan Boy bukan salah satunya.

"Om, please!" Jen Nera menegakkan punggung dan mendorong tubuh si pelanggan agar menjauh.

"Kenapa nih?!"

"Maaf, tapi aku nggak bisa," tolak Jen. Ia meraih pakaian untuk segera memakainya.

"Maksud kamu nggak bisa?"

Jen yang sudah menutupi tubuh pun buru-buru meraih tas - bersiap pergi. "Parfummu terlalu menyengat, that smells like my granpa's ass!" Ia lalu membuka pintu dan membantingnya.

Sebuah tarikan pada kedua sudut bibir Jen Nera melengkung lebar. Semakin ia melangkah, semakin ia mempercepatnya. Hingga pada akhirnya wanita itu pun berlari untuk menemui seseorang yang rela menunggunya.

Jen pun berhenti sebentar di depan pintu lobi. Ia mengatur napas yang tersenggal. Netra wanita itu mampu menemukan punggung Boy yang duduk manis di atas Astrea tua pada lahan parkir. Jen tersenyum - lalu keluar dari gedung hotel.

Ia lantas menghampiri Boy. "Jadi kita perlukan penyelamat bumi! Boboiboy!" serunya.

"Huh?!" Boy tersentak dan menoleh. "Jen?"

Jen Nera menaikkan satu tangan membentuk pose bak pahlawan super. "Boboiboy!!!" Ia bernyanyi lagu yang hanya dimengerti oleh dirinya.

"Kamu ngapain?" Boy mengernyit.

"Nyanyi," jawab Jen singkat. Ia mengambil helm dan memakainya. "Boboiboy, kartun anak-anak, nggak tahu kamu?"

Boy menggeleng. "Nggak tahu."

"Ih, dasar! Sia-sia, dong, aku tadi nyanyi. Padahal nama dan mukamu sama kayak kartunnya," decih Jen.

Boy masih kebingungan. "Kamu ngapain? Sudah selesai?" tanyanya.

"Sudah." Jen naik ke atas jok. "Mana kunci motornya?"

"Kok cepet?" tanya Boy lagi.

"Mana kuncinya? Buruan. Panas, nih." Jen meraba-raba saku celana Boy. Ia lalu menemukan kunci itu di dalam sana dan merogohnya.

"Jen??" desak Boy.

Jen Nera menyalakan mesin dengan santai. "Ya, cepet, baru dipegang dikit udah crot," sahutnya.

"Jadi sudah selesai?" selidik Boy.

"Sudah. Yuk, kita balik."

Membuat Boy berpikir bahwa ia sudah selesai melayani pelanggan mungkin hal terbaik. Ia tak ingin lelaki itu besar kepala.

***

CECILIA
[WTF? Kabur gitu aja dari customer?]

Malam itu pesan dari Cecilia masuk dan membuat Jen merasa terbebani. Apakah ia serius akan keputusannya meninggalkan BO? Berjuta ragu berkelindan tanpa jawaban, tetapi ia sendiri tak mampu terus menerus membohongi nurani.

Dan Boy adalah alasan terkuat ia pensiun dari dunia penuh dosa itu.

[Sori, Sil. Aku udah gbs kerja BO lagi. Thanks for everything.]

***

Mungkin sudah sejuta kali Jen membolak-balikkan badan di ranjang kamar. Sial, dia tidak bisa tidur. Tiap kali menutup mata, bayangan Boy hadir menari-nari. Ekspresi lelaki itu saat tersenyum, berkernyit, tertawa, bahkan ketika dia menyentuh tubuhnya.

Ritme jantung Jen kacau balau.

Mungkin begini rasanya jatuh cinta, tak enak tidur dan makan karena selalu terbayang-bayang. Selain itu Jen juga gelisah ... besok bayar uang semesteran pakai apa? Maria selalu memberikan Jen separuh dari jumlah yang harus dibayarkan. Sebenarnya budhenya itu sudah lumayan membantu, sih. Hanya saja, sisa kekurangannya mau Jen cari di mana?

Cari kerja lain? Kerja apa yang tidak bentrok dengan jadwal kuliahnya?

Wanita itu lantas menyalakan ponsel dan membuka aplikasi perpesanan; ia membuka kontak Boy, kemudian menulis sesuatu di sana. Jen yakin lelaki itu tak akan membalas, sudah dini hari dan dia pasti sudah tidur nyenyak.

Di luar perkiraan, sebuah notifikasi pesan pun muncul mengagetkan Jen. Ia terbelalak saat melihat siapa pengirimnya. Boy belum tidur.

[What do you call a man without a body and a nose?]

BOY
[nobody nose]

Dengan kekuatan turbo, jempol Jen segera mengirimkan balasan. Namun saat sedang mengetik, Boy justru membuat panggilan telepon.

"Ha-halo?" sahut Jen pelan.

"Kenapa belum tidur?" Suara Boy terdengar berat dan sedikit serak. Sangat seksi.

"Kamu sendiri kenapa?"

"Aku keterusan baca buku-buku yang kamu bawa. Nggak sadar sudah mau jam dua aja," sahut Boy.

"Ih, dasar kutubuku!" ledek Jen.

Boy terkekeh. "Biarin," jawabnya. "Tidur sana."

"Nggak bisa," kata Jen.

"Kenapa?"

"Lagi pengen peluk seseorang." Jen mengulum senyum.

"Aku, ya?"

Wajah Jen memanas, selain itu ia juga berdebar tak karuan. "PD banget, sih!" Padahal memang iya.

"Jadi gimana, dong? Perlu aku ke sana biar kamu bisa tidur?"

"Coba aja kalau berani," tantang Jen.

"Okay," tandas Boy tanpa keraguan.

Jen Nera tertawa. Ia tahu Boy pasti cuma bercanda. "Yaudah. Aku tutup, ya. Night-night."

"See you, Jen."

Begitu sambungan berakhir - Jen justru makin gelisah. Ternyata jatuh cinta itu mengerikan; ia seperti sedang sakau, semakin bertemu justru bertambah rindu.

Tak ingin berlarut-larut dalam insomnia, Jen pun berusaha memejamkan mata. Toh Rhoma Irama sudah berpesan kalau begadang itu tidak baik. Apa lagi besok ia harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan.

Detik berganti menit; lalu berganti jam, kesadaran Jen masih saja utuh. Lalu ketika ia sedang menggeliat di matras, ponselnya kembali berdenting.

Mata Jen melotot. Ia berulang kali membaca isi pesan singkat itu.

BOY
[aku sudah di depan rumahmu.]


Darls, Bosen nunggu di WP? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤

Thank you 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro