Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Dirty Job

Jen santai berbaring di sofa seraya menatap layar kaca. Ia memangku dua kantong kripik dan melahapnya secara bergantian. Di lain sisi; pada ruang makan, Boy justru serius membaca novel keluaran United States yang akan Jen teliti sebagai bahan tesis. Di sekitar Boy juga bertumpuk buku-buku lain yang Jen bawa dari rumah.

"Jen Nera," panggil Boy.

Jen menoleh. "Apa?" sahutnya.

"Sini, deh. Kita bahas seputar novel ini." Boy melambaikan tangan - meminta Jen mendekat.

Jen mengembuskan napas panjang. Boy lebih antusias mengerjakan skripsinya ketimbang dirinya sendiri. Dengan langkah terseret, ia pun menghampiri lelaki berkaos putih polos itu.

"Kenapa?" tanya Jen.

"Jadi tokohnya cuma mendapat dukungan dari saudara perempuannya. Si ibu tahu tapi berpura-pura abai, sementara ayahnya merupakan seseorang berwatak konvensional dan disiplin," ujar Boy. Raut lelaki itu serius seraya menatap ke arah buku novel.

Jen Nera memandangi tiap inci fitur wajah Boy. Untuk ukuran lelaki, bulu mata Boy tergolong lentik. Sudah begitu tulang hidungnya besar dengan ujung yang lancip. Pada garis bagian bawah matanya, terdapat aegyo-sal alias gumpalan lemak cantik yang membuat wajahnya seakan terus tersenyum.

Muka Boy juga mulus tanpa jerawat dan facial hair; lelaki itu sangat imut, cocok menjadi seorang Idol. Dan - kalau Jen Nera amati lagi; kulit Boy yang semula kecokelatan kini perlahan-lahan semakin memutih. Bersih bak susu.

"Kamu dengerin nggak, Jen?"

Pertanyaan dari Boy membuyarkan lamunan Jen, ia mengerjap seraya mengalihkan pandangan. "Denger!" dalihnya.

"Jadi bab dua tesismu mau pakai teori apa?" selidik Boy.

"Masih bingung," kata Jen sekenanya. Ia menyodorkan sebuah buku, Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality, pada Boy. "Kalau pakai teori Gayle Rubin, gimana?"

Boy tersungging. "Bisa. Pada buku ini dibahas kalau masyarakat menciptakan strata seksual yang mengatur bagaimana seharusnya manusia berperan tergantung jenis kelaminnya."

"Kamu sudah baca habis semua buku yang aku bawa?" Jen sedikit keheranan

Boy mengangguk. "Isinya menarik," jawabnya. "Aku juga sudah baca ini." Ia menunjukkan buku tebal berjudul British Studies; seputar anatomi, struktur, dan kehidupan masyarakat Inggris, yang Jen saja malas baca sampai tuntas.

Jen kemudian tersadar - Boy is such a nerds.

Ponsel Jen tiba-tiba berdenting; ia lantas memeriksa isi pesan yang masuk, dari Cecilia.

Ekspresi Jen seketika berubah. Cecilia menawarkan job BO dengan bayaran lumayan pada Jen. Namun wanita itu harus berangkat sekarang juga. Lokasi hotelnya juga lumayan dekat dari jalan Basuki Rachmat - tempat ia berada.

Boy menyadari perubahan sikap Jen. "Kenapa?" tanyanya.

"Ada tawaran kerja dari temenku," sahut Jen.

Boy membisu. Sesungguhnya itu bukan hal yang ingin ia dengarkan sekarang. Fakta bahwa Jen Nera bekerja menjajakan tubuh adalah kenyataan pahit yang berusaha Boy terima dengan lapang dada. Ia tak berhak mengatur kehidupan wanita itu, Boy bukan siapa-siapa.

"Kamu akan mengambilnya?" Boy tertunduk - berpura-pura fokus membaca kata demi kata buku novel.

Jen Nera bangkit dari duduk. "Iya. Bayarannya lumayan. Sebentar lagi sudah waktunya bayar uang semesteran."

Boy menahan napas.

Andai Jen jeli, ia bisa melihat rahang Boy yang berubah mengeras karena menahan gusar. Tapi sayang, wanita itu terlalu sibuk merapikan barang-barangnya ke dalam tas.

Jen Nera mengeluarkan pounch berisi alat rias dan memulas bibirnya dengan lipstik berwarna mauve.

"Aku pergi dulu, Boy," pamit Jen. "Kalau cepet, aku akan balik sini lagi. Boleh, kan?"

Untuk beberapa detik - Boy tetap diam. Ia lalu menutup buku dan bangkit. Lelaki itu menyambar hoodie-nya dan menghampiri Jen. "Aku antar."

"Nggak perlu," tolak Jen.

"Tapi aku pengen antar." Boy bersikukuh.

"Ya ngapain?!" sungut Jen. "Emang kamu mucikariku apa?"

"Bodo amat." Boy lantas mengenakan jaket dan membuka pintu apartemen. "Ayo," ajaknya.

Jen mengembuskan napas panjang. Adanya Boy justru membuat pekerjaan yang Jen lakukan semakin terasa berat. Ia pun mengekori langkah Boy dengan penuh keterpaksaan.

***

"Ini sama aja aku berangkat sendiri, Boy!"

Wajah Jen masam dan cemberut. Ia kembali mengemudikan motor Astrea butut, sementara Boy duduk di boncengan.

Boy menyandarkan dagu pada pundak Jen. "Aku, kan, udah bilang kalau aku belum berani gonceng orang."

"Ya terus kenapa kamu bilang mau anter aku?" Jen makin sebal.

Boy seolah tuli. Ia justru melingkarkan kedua lengan di perut Jen. Akibat ulahnya, Jen sontak menggeliat seperti cacing tersiram air garam.

"Apa-apaan, nih?" sungut Jen. "Nggak usah peluk-peluk segala deh!"

Boy tak peduli, malahan makin mengeratkan dekapan.

"Apa kamu harus melakukan ini, Jen?" tanya Boy.

Jen melirik wajah Boy dari kaca spion, ekspresi lelaki itu menyiratkan kesenduan.

"Aku butuh uang," sahut Jen singkat.

Boy terpejam. Nyaman menyandarkan dirinya pada punggung Jen. Tubuh lelaki itu membungkuk karena perbedaan tinggi.

"Aku tahu aku tak berhak mengatur hidupmu, tetapi aku merasa tak rela kamu memilih pekerjaan ini," kata Boy. "Aku tak suka ..."

Jen tercekat. Dia pun tak menyukai pilihan yang ia ambil. Tapi, apa ia punya pilihan? Tidak. Ia bahkan tak memiliki pilihan lain. Menjadi wanita BO adalah satu-satunya cara.

Hanya itu satu-satunya cara membayar uang kuliah.

Jen tak mau putus kuliah saat gelar sarjana ada di depan mata. Ia ingin segera lepas dari kungkungan keluarga Maria. Ia punya segudang ambisi dan obsesi. Dan semua itu bisa terwujud dengan uang.

Uang yang harus segera terkumpul secara instan.

Boy kembali berujar, "Maafkan aku, Jen. Aku terlalu sok tahu," ucapnya.

"Terima kasih karena tak men-judge-ku, Boy," sahut Jen seraya tersenyum.

Setelah beberapa menit berkendara, mereka berdua sampai pada sebuah hotel bintang tiga yang terletak di Jalan Gubernur Suryo. Jen memarkir Astrea tersebut pada lahan yang tersedia untuk roda dua. Ia lalu melepas helm dan merapikan rambut di kaca spion.

"Aku akan tunggu kamu sampai selesai," kata Boy.

"Ngapain? Pulang aja sana," tolak Jen. "Kalau kamu seperti itu, kamu beneran bersikap bak mucikariku." Ia terkekeh.

Boy bersikukuh. "Jangan hiraukan aku. Anggap saja aku tidak ada. Yang jelas aku mau tetap di sini."

"Kamu ngeyel banget, ya?" Jen mendecih dan bersiap pergi. "Yaudah. Terserah kamu."

Boy menahan lengan Jen, untuk beberapa detik mereka berdua saling beradu pandang. Sorot Boy tajam tanpa ekspresi.

"Jen," kata Boy. "Aku akan selalu ada di sini andai saja kamu berubah pikiran."

Jen memilih tak menjawab. Ia melepaskan pegangan tangan Boy dan masuk ke dalam lobi hotel. Wanita itu memeriksa layar ponsel untuk memastikan keberadaan sang pelanggan. Kamar nomor 00X.

Telunjuk Jen pun sigap menekan tombol lift; dengan perasaan terombang-ambing dan berkecamuk, wanita itu pun terpaksa bercinta demi uang.

Begitu keluar dari elevator, Jen segera berjalan menyusuri selasar. Ia lantas berhenti di depan kamar tujuan dan mengetuknya. Tak menunggu lama, pintu itu terbuka. Seorang lelaki berusia menjelang 40'an menyambut Jen dengan bibir terkembang lebar.

"Ini Je?" sapa lelaki itu. "Rekomendasi dari Sesil?"

Jen mengangguk. Menelan saliva secara kasar, kemudian memaksakan senyum merekah.

"Siang, Om," katanya.

Darls, Bosen nunggu di WP? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤

Thank you 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro