Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Cingulomania

Boy menelan saliva. Ia punya prinsip soal batasan terhadap lawan jenis. Lelaki itu enggan bercinta dengan seseorang yang tidak ia sayangi.

Mungkin karena pendiriannya tadi; Boy jadi diasingkan orang-orang terdekat yang ia miliki. Dan lagi selama 26 tahun hidup, Boy hanya pernah berhubungan intim dengan dua orang perempuan. Yang satu adalah pacar pertamanya dan satu lagi adalah women crush saat mengambil pendidikan magister di Stanford.

"Could you stay here?"

Boy mungkin akan menjawab tidak jika itu bukan Jen Nera. Tetapi entah mengapa wanita itu berhasil menumbuhkan perasaan cingulomania bagi Boy. Suatu hasrat untuk memeluk seseorang demi mengutarakan keinginan yang tak tersampaikan melalui kata-kata.

Boy tertarik pada wanita bermata manipulatif itu.

Ia ketagihan memandangi paras manis berhidung bangir milik Jen. Ia juga tersihir tiap kali Jen bicara - seolah suara wanita itu adalah nyanyian berisi mantra siren.

"Apa yang harus kulakukan di sini, Je?" sahut Boy.

"Kita bisa ngobrol lagi kayak tadi."

Boy pun mengesampingkan nafsu purba yang timbul. Beruntung tubuh polos wanita itu tersembunyi di balik busa sabun. Paling tidak mengungkung segala bisikan setan akan niat menjamah Jen Nera seperti tempo lalu.

Ia lantas duduk di atas keramik caspari yang membenamkan bak tempat Jen Nera berendam. Lelaki itu bersandar santai mengikuti kemauan si wanita.

"Betewe, kamu ambil jurusan apa, Je?"

"Sastra Inggris." Jen menyesap cairan sepat yang tadi Boy berikan.

"No wonder your english is so good. Do you kind of grammar freaks, Je?"

Jen Nera menggeleng. "That is not something I really pay attention to. Kamu pikir aku ambil jurusan itu karena aku pinter ngomong Inggris, huh? Aku hanya butuh gelarnya buat ngelamar kerja sesudah lulus nanti."

"Kerja apa?"

"Sekretaris," sahut Jen. "Bos bapakku pernah nawarin kerjaan jadi sekretaris di perusahannya. Cuma dia bilang aku harus pinter berbahasa Inggris biar bisa bales email yang rata-rata berbahasa asing."

Boy terkikik. "Padahal bisa ambil kursus bahasa Inggris, kan? Nggak perlu sampai kuliah segala."

"Iya, sih. Nggak kepikiran," sesal Jen.

"I thought people are using you as human dictionary, right?" tebak Boy.

"He'em." Jen mengiakan. "People used to ask me what's the English translation of a word, and when I said I didn't know, their reaction was 'apa? Kok bisa?'"

Boy kembali tertawa. Ia lalu berusaha menghentikannya dan menatap Jen Nera lekat.

"Kamu wanita yang pintar, Je. Aku yakin kamu bisa mendapatkan pekerjaan sampingan yang lebih baik ketimbang pekerjaanmu sekarang."

Jen mengembuskan napas berat. "Pekerjaan ini menghasilkan banyak uang dalam waktu cepat."

"Kenapa kamu sangat membutuhkan uang? Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka tahu kamu melakukan ini?" selidik Boy.

Jen tersenyum getir. "Tahu," jawabnya.

"Apa?!" Boy melotot. "Dan mereka nggak marah? Atau melarangmu?"

"Nggak," sahut Jen.

"Kenapa?" Boy mulai tersulut.

Jen lantas membisik. "Mereka tidak bisa marah karena mereka berdua sudah tak lagi ada di dunia ini."

"A-apa?"

"Orang tuaku pasti melihat apa yang kukerjakan sekarang, tapi mereka tak bisa melakukan apa pun. Mereka berdua sudah tiada. Ibu pergi saat aku berusia dua tahun. Lalu setahun yang lalu bapak meninggal karena kecelakaan," ujar Jen.

Boy terhenyak.

Ia sekarang ingin menonjok mukanya sendiri. Tega sekali melabeli Jen sebagai orang matre yang mengambil jalan pintas. Wanita itu bukan matrealistis - ia hanya terdesak keadaan.

"Terlalu sayang untuk putus kuliah, aku tinggal susun skripsi. Aku juga punya harapan bisa bekerja di perusahaan tempat bos bapak dulu. Makanya aku ngumpulin duit buat bayar uang spp," terang Jen.

"Kamu nggak punya keluarga lain yang bisa bantu kamu?"

"Ada; aku sekarang tinggal di rumah budheku, dia adik kandung mendiang ibu." Jen terkekeh. Kontras dengan matanya yang sendu. "I was left to do the cleaning and the cooking of that nights dinner or breakfast. I felt just like a slave."

Boy terdiam membisu.

"There was no prince to save me, Boy," lanjut Jen. "Nor fairy godmother. Only me can save myself. My responsibility for my own well being and happiness."

Boy membungkuk dan mengusap lembut pipi Jen yang licin karena busa sabun. Mereka berdua kemudian saling bertatapan untuk beberapa detik.

"Je," kata Boy pelan. "If being pretty is a crime ..."

Jen Nera mengerucutkan bibir. "Kamu mau ngehina aku lagi?"

"If being pretty is a crime," tegas Boy. "Then you are innocent. You are innocent because you far more that pretty. You are pretty amazingly beautiful."

Jen Nera merona dengan muka memanas. Netranya bertumbukan dengan iris pekat milik Boy. Wanita itu lantas mengalihkan atensi pada bibir Boy yang baru saja melontarkan kalimat manis. Bibir yang pernah memberikan kepuasan setengah mati dalam benam kedua tungkainya.

Darah Jen berdesir.

Ia menyusuri telapak Boy yang masih bertengger pada pipi dan dagunya. Jen lantas menarik tangan itu agar mendekat.

"Boy, give me a big juicy snog," pinta Jen.
(Snog (slang word) adalah kata lain dari berciuman. Mengarah pada cumbuan/pelukan mesra yang berlangsung lama)

"But, friends don't kiss," sahut Boy.

Jen Nera berdiri dan keluar dari dalam bak. Ulah berani wanita itu membuat Boy terperangah. Untuk kali kedua; lelaki itu kembali disuguhi tubuh menantang yang polos tanpa sehelai penutup. Kali ini Jen terlihat lebih menggairahkan karena kulit yang mengilap oleh sisa sabun. Wanita itu tanpa ragu duduk di pangkuan Boy. Mengakibatkan salah satu organ inti Boy membengkak karena terangsang.

Jen menatap Boy dari jarak kurang dari sejengkal. Ia mengalungkan kedua lengan pada leher Boy.

"Friends don't sex," sanggah Jen. Ia lantas mendekat - bertukar napas dengan Boy yang membeku sekaligus pasrah.

Jantung mereka bertabuh kencang seperti alunan musik rock. Sementara tubuh mulai memanas menjalar di seluruh aliran darah.

Boy membelai punggung licin Jen dengan telapak. Menyusuri lekuk pinggang yang kini menguasai pikirannya. Ia lalu menarik pinggul Jen dengan tangan satunya, dan yang lain bertangkup pada pipi si wanita. Napas Boy mulai tertahan ketika ia memberanikan diri menempelkan bibir pada bibir Jen Nera yang hangat.

Ciuman itu akhirnya terjadi.

Semula begitu lembut hingga membelenggu Boy dan Jen dalam pagutan. Jen merasakan kulit Boy yang semanis madu namun sekenyal permen gelatin. Wanita itu sedikit mendesah ketika lidah Boy memaksa masuk; mencari miliknya dan saling membelit.

Boy menyapu sisa-sisa chardonnay yang justru berbalik memabukkannya. Melumat setiap inci bibir plum milik Jen yang luar biasa seksi.

Jen kian larut oleh cara Boy memperlakukannya. Ia yakin lelaki itu sudah berpengalaman. Boy menawarkan Jen sebuah ciuman manis yang lembut sekaligus menuntut. Sentuhan lelaki bermata monolid itu membuat bagian bawah Jen berkedut penuh penantian. Tapi tidak - ia sendiri yang tak menginginkan persetubuhan terjadi antara mereka.

Pergumulan itu semakin memanas tatkala tangan Boy berpindah menuju gundukan sekal milik Jen Nera. Ia membelai area itu pelan lalu berhenti di pucuknya. Boy kemudian memilin puncak menegang tersebut.

"Oh ..." Jen Nera menggeliat. Ia tak menolak dan justru membusungkan dada. Wanita itu mempersilakan Boy menjamahnya lebih; lagi dan lagi.

"Je." Boy melepaskan cumbuan. "Kamu mau aku melanjutkan ini?"

Jen Nera mengangguk. Ia memandang Boy dengan mata yang sayu. "Aku suka dengan caramu menyentuhku, Boy. Bisakah kamu teruskan - lakukan sampai aku keluar?"

Boy tak menjawab dan kembali mengulum bibir Jen Nera. Kali ini lebih ganas. Hal yang menjadikan Jen Nera makin bergairah bak cacing kepanasan. Ia pun mengerang ketika Boy memutus tautan secara mendadak.

"Duduklah membelakangiku, Je," bisik Boy samar. "Aku akan memberikanmu kepuasan."


Darls, Bosen nunggu di WP? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤

Thank you 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro