01. Jen Nera
Berikan Vote - Follow kalian supaya saya semangat menamatkan kisah ini di wattpad.
Jen memulas lipstik berwarna medium pink pada bibirnya yang penuh. Untuk ketiga kali Jen menelisik penampilan melalui cermin di meja rias. Ia percaya diri sudah cukup cantik dan menggoda.
Menggoda - ya, itu syarat utama.
Saat sedang sibuk merias diri, pintu kamar Jen tiba-tiba terbuka. Seorang wanita bertubuh berisi sudah berdiri seraya merapatkan kaca mata. Ia menyorot Jen seolah hendak menerkamnya.
"Mau ke mana malam-malam gini, Jen?" Ia lantas menghampiri. "Muka menor, pakaian ketat. Mau ngelenong apa mau jualan?" cibirnya.
Jen Nera mendengkus.
"Kerja, Budhe. Aku ada event di Jaz Concert. Ya emang berangkatnya malam gini."
"Kuliah mahal-mahal jurusan Sastra Inggris ujungnya jadi SPG. Apa nggak malu kamu, Jen? Bapakmu di akhirat bakalan nangis lihat pakaianmu yang serba mini."
Jen melirik sepintas dengan tatapan dingin. Seenaknya saja bicara seolah budhe-nya itu bersedia menanggung biaya kuliah dan kebutuhan hidupnya selama ini.
"Aku kerja gini bukan untuk selamanya. Cuma sampai lulus kuliah nanti. Budhe tahu, kan, aku butuh duit buat bayar SPP sama beli keperluan kuliah," ujar Jen.
"Eh jangan sok, ya, kamu, Jen." Si budhe mendadak senewen. "Bukannya Budhe udah kasih kamu uang buat bayar SPP. Emang masih kurang apa?"
"Kurang." Jen Nera menjawab singkat. Uang itu memang hanya cukup untuk membayar separuh dari total biaya per semester.
"Siapa suruh semasa hidup bapakmu itu nggak pernah nabung? Sekarang pas nggak ada, anaknya ngerepotin orang lain," sahut wanita paruh baya itu. "Bukannya Budhe perhitungan atau pelit, ya, Jen. Tapi kamu tahu, kan, kalau Budhe juga punya tanggungan lain. Rania bentar lagi masuk SMA, sementara Miranti masih semester awal. Mereka butuh banyak biaya."
"Ya, aku tahu." Jen meraih sling bag dan memasukkan beberapa make-up ke dalam sana. "Makanya aku kerja biar kebutuhanku terpenuhi dan nggak ngerepotin Budhe."
"Tapi nggak harus jadi SPG juga kalik, Jen. Perasaan Pakde nawarin kamu buat jadi asistennya di kantor. Tapi kamu malah nolak. Aneh kamu."
Jen memilih diam. Ia menyalami dan mengecup punggung tangan Maria penuh kesopanan.
"Aku berangkat dulu, Budhe."
Menerima penawaran pekerjaan dari pakde-nya? Yang benar saja. Jen Nera tidak nyaman dengan tatapan genit dari lelaki tua itu. Dan lagi, Maria akan semakin mencekik lehernya karena menganggap Jen kembali berutang budi.
Jangankan pekerjaan - sepiring nasi yang masuk ke dalam tenggorokan Jen saja dikalkulasi Maria. Ia enggan lama-lama berurusan dengan Maria. Jen ingin segera pergi dan tak lagi dicap sebagai 'tukang numpang hidup'.
Rencana Jen sudah tersusun rapi. Mengumpulkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan kampus. Lalu mencari indekos agar bisa lepas dari Maria. Ia yakin sebentar lagi semua akan terealisasi. Jen hanya tinggal menempuh satu semester di bangku perkuliahan. Ia hanya perlu sedikit bersabar.
"Mbak Jen." Panggilan dari Miranti - putri sulung Maria menghentikan langkah Jen.
"Hmm?" toleh Jen Nera.
"Sweaterku yang warna lilac kemaren udah dicuci belum?"
Jen mengangguk. "Sudah. Kutaruh di lemari pakaianmu yang paling atas."
"Pakai tangan, kan? Soalnya kalau masuk mesin cuci rusak."
"Aku cuci pakai tangan," sahut Jen.
"Oke." Miranti meringis dan bergegas menaiki tangga.
Tinggal bersama keluarga bukan berarti ia diperlakukan sebagai keluarga. Jen Nera tidak lebih seorang pembantu berdasar hubungan kekerabatan. Semua urusan rumah tangga dilimpahkan pada Jen. Mulai dari bersih-bersih sampai memasak. Tiap kali Jen absen melakukannya, Maria akan mulai mengungkit-ungkit soal jasanya selepas sang ayah meninggal.
Semasa hidup ayahnya juga bukan orang berada - cuma sopir pribadi. Berbeda dengan Maria yang beruntung karena diperistri oleh arsitek kenamaan di Surabaya. Itu sebabnya Jen diperlakukan semena-mena. Sudah hukum alam seseorang dipandang tidak berharga karena tak memiliki harta.
"Je!" Seorang wanita berkulit putih menengokkan kepala dari sedan yang ia kendarai.
Jen membuka pintu dan mengambil tempat di samping kemudi. "Lama nunggu, Sil?" tanyanya.
Wanita bernama Cecilia itu menggeleng.
"Nggak. Baru juga aku datang." Ia menoleh dan mengamati Jen dari atas ke bawah. "Udah siap, ta? Berangkat sekarang?"
"Iya," jawab Jen.
Cecilia lantas melajukan kendaraan. Fokus wanita bermata sipit itu tertuju ke arah jalan. Perjalanan mereka sedikit tersendat karena terkena macet di jalan raya Darmo.
"Yakin udah siap, Je?" tanya Cecilia memecah hening. "Kamu dari tadi diem aja. Grogi, ya?"
Jen mengulas senyum getir demi menutupi kegugupan. Apa yang dikatakan Cecilia memang benar. Dia belum siap -- atau lebih tepatnya - tak pernah siap melakukan pekerjaan ini.
"Lumayan deg-degan, sih," kata Jen.
"Tenang aja. Kan ada aku. Kita main nggak sendirian. Yang penting kamu rileks dan kasih service terbaik aja." Cecilia melirik Jen. "Betewe ini yang keberapa kali kamu ngelayanin customer?"
Jen berdeham. "Ini yang kedua."
"Hah? Sumpah?" Mata Cecilia terbelalak. "Kenapa sebelumnya nggak bilang sama aku? Baru satu kali pengalaman dan kamu nerima penawaranku buat main rame-rame? Are you serious, Je?"
Jen tertunduk. Ia menggigit bibir di antara gigi taringnya sebelum mengungkapkan isi pikiran.
"Aku butuh uang, Sil," aku Jen. "Aku janji bakalan profesional. Tenang aja."
Cecilia berdecih. "Profesional sih profesional, Je. Tapi pengalaman juga dibutuhkan. Aku sudah melayani salah satu diantara pelanggan kita nanti. Dan dia kalau main luar biasa kasar. Aku takut kamu nggak bisa ngimbangin."
Jen terdiam seraya memainkan kuku. Setelah dipecat dari pekerjaan sambilan sebagai SPG, ia memilih jalan pintas menjadi wanita BO. Booking Order, Booking Out, atau Booking Online merupakan praktik prostitusi melalui media sosial atau aplikasi. Cecilia adalah teman yang mengenalkannya pada dunia lendir tersebut. Cecilia pikir Jen Nera memang sudah berpengalaman dalam urusan persetubuhan. Sekarang wanita Chindo itu sadar kalau dia salah.
"Aku pasti bisalah, Sil. Tenang aja. Aku nggak akan ngecewain," ujar Jen mencoba menyakinkan.
Ia tidak tahu apa yang membuat semua orang berpikir kalau Jen Nera adalah wanita nakal. Apa karena kulit sawo matang yang terkesan eksotis? Atau sepasang mata upturned-nya yang seolah sedang menantang? Atau mungkin juga pemilihan pakaian yang wanita itu biasa kenakan? Entahlah.
Jen Nera masih ingat selepas ia dipecat, Cecilia datang menghampiri seraya menyodorkannya sebatang rokok. Seolah temannya itu yakin kalau Jen adalah seorang perokok, padahal bukan.
Alih-alih menolak - Jen Nera justru menerima pemberian Cecilia.
"Ngga usah pusing. Kerjaan lain banyak."
Jen sedikit tersedak oleh isapan pertamanya. "Ya, banyak. Tapi nyarinya susah. Apa lagi yang bisa disambi sama kuliah. Aku bener-bener butuh uang buat skripsian."
"Nih." Cecilia menyodorkan ponsel. Tampak sebuah foto lelaki berusia matang pada layarnya. "Kalau mau kamu ambil, deh. Dia carinya cewek-cewek kuliahan."
"Ma-maksud kamu?" Kedua alis Jen saling bertautan.
Cecilia melirik Jen melalui sudut mata. "Ngga usah pura-pura kalau di depanku, Je. Ngga usah munafik. Aku tahu, kok, kalau kamu bisa dipake."
Jen Nera ingin sekali melempar ponsel yang sekarang ada di genggamannya. Enak saja mencapnya sebagai wanita murahan. Dasar panlok girang!
(* Panlok adalah sebutan gaul bagi wanita panggilan yang berdarah Tionghoa)
"Sekali main dia berani bayar 10 juta," lanjut Cecilia.
"Huh? Sebanyak itu?" Jen melotot penuh keterkejutan. Ia urung melampiaskan marah. Wanita itu kembali memandangi layar gawai milik Cecilia untuk mengamati potret si lelaki hidung belang. "Gimana caranya kalau aku mau, Sil?"
***
"Kita udah sampai."
Setelah memarkir sedannya di areal parkir khusus tamu, Cecilia dan Jen Nera pun berjalan masuk ke dalam lobi.
Suasana mewah sekaligus megah menyambut kedua wanita itu. One Icon Residence adalah apartemen yang terletak di atas mal Tunjungan Plaza. Towernya menyatu dan terhubung langsung dengan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya.
Jen Nera akhirnya paham kenapa Cecilia gusar setelah tahu dirinya tak berpengalaman. Klien mereka kali ini pasti orang kaya. Unit apartemennya adalah unit yang memiliki private lift khusus. Jantung Jen Nera makin berdebar kala pintu lift terbuka. Mereka sampai di foyer yang menghubungkan dengan pintu utama.
Seakan tahu tamunya sudah datang, pintu itu lantas terbuka. Seorang lelaki tinggi berkulit putih menyambut mereka berdua. Keseluruhan wajahnya tak tampak karena mengenakan masker medis berwarna hitam.
"Malam, Ko." Cecilia tersungging cerah.
"Masuk," sahut lelaki itu.
Darls, Bosen nunggu di wp? Baca POLY di Karyakarsa Kucing Hitam! Atau komen biar Ayana bagi Linknya 🖤
Thank you 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro