Ketika Langit Jatuh
Kapan terakhir kali kau melihat langit biru?
Bagi Asher, ingatan tentang permadani luas yang membentang tanpa ujung di atas kepala tidak pernah ada. Sebuah angan-angan. Sebuah cerita penenang yang diberitahu ibunya jikalau dia terbangun tiba-tiba di tengah malam. Tentang kota dengan kapas putih di atas yang bergerak malas. Tentang busur tujuh warna yang ada setelah hujan.
Kotanya selalu kelabu dan mendung setiap hari– sepanjang tahun selama enam belas tahun terakhir ini. Tidak ada yang tahu alasan pasti mengapa tiba-tiba langit retak dan runtuh di suatu hari yang cerah. Berjatuhan dari atas seperti kepingan pecahan kaca. Orang-orang berlarian menyelamatkan nyawa masing-masing. Mereka pikir kiamat sudah tiba. Namun malaikat kematian tidak datang menjemput. Jadi mereka melanjutkan beraktifitas seperti biasa. Dan sebagai gantinya, hujan menghantam tanah hampir setiap hari alih-alih pelukan hangat mentari. Musim semi tak kunjung menghampiri. Warna abu-abu mencoreng kemurnian salju yang turun, terlihat layaknya bumbungan asap residu perang.
Hampir satu tahun setelah peristiwa itu, Asher lahir.
Asher– berkah, orang tuanya bilang. Harapan yang mereka terima di antara salju yang menumpuk di halaman rumah. Omong kosong, menurutnya. Karena tidak ada yang namanya berkah atau harapan di kota mereka yang masih dipenuhi sisa-sisa dari langit biru dulu.
Seorang pria tak dikenal datang mengunjungi mimpi Asher manakala dia menginjak dua belas tahun. Hanya sekali. Bagaikan adegan acak yang dikeluarkan dari film yang sesekali tayang di televisi mereka. Asher tidak bisa mengingat wajahnya dengan jelas. Yang ditangkap oleh ingatannya adalah rambut runcing berwarna coklat, dan mata biru yang mereka bilang dulu dimiliki langit. Ketika dia bangun, Asher mendapati air matanya membasahi pipi dan kerinduan membuncah di dalam dada. Tangannya menggapai udara kosong.
Figur tak berwajah dalam mimpi dia bawa sampai remaja. Asher memproyeksikan sosok itu ke dalam kanvas. Mencurahkan waktu bebasnya di sela-sela sekolah. Berulang kali salah, berulang kali wajahnya berbeda. Dan dia hanya bisa tersenyum kosong. Bagaimana dia bisa memproyeksikannya dengan benar jika dia sendiri tidak tahu siapa yang dia gambar?
Sekarang setelah satu tahun dia tekuni gambar itu, mahakaryanya selesai. Sosok itu kini abadi. Dia dekati kanvasnya, menatap mata biru dalam kanvas penuh kerinduan.
Sebuah cinta tidak rasional.
Bunyi pintu klub seni yang dibuka mengejutkan Asher. Hanya anggota yang diperbolehkan masuk selama jam klub, dan hanya dia seorang anggota klub seni.
"Maaf, hanya anggota yang boleh masuk."
Asher berbalik, berniat mencari tahu siapa orang yang membuka pintu.
Lelaki dengan kepingan angkasa di matanya memasuki netra Asher.
-
Surealism seenak itu buat ditulis???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro