XXXIX. | Lara
"Sampai kapan kamu mau tidur?"
Suara lembut itu membangunkan Ann dari mimpi, suara lembut yang tak pernah ia dengar datang dari pemilik rambut pirang yang dikepang itu. Dua alisnya naik garang, tidak sepadan dengan nada bersahabat barusan.
Fiore duduk di kasur tingkat di seberang tempat Ann tidur. Karena anggota Sekolah Militer Dresden yang ikut lengkap, pembagian ruang tidur di kereta dikhususkan per kelas. Seingat Ann, di ruangan itu ada juga Blair, Muriel, Alicia, dan Eris, tapi mereka berempat tidak terlihat ada di sana. Sinar matahari sudah menyengat masuk ke satu-satunya jendela, dan tatapan Fiore ke arahnya sudah sama menyengatnya. Ia terlihat sedikit geram, entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Kamu melewatkan acara pembukaan festival." Fiore berpangku tangan.
"Festival?"
Mata Fiore memicing. Ann berusaha mengingat-ingat apa pun tentang festival. Ia membatin, hingga menemukan jawaban 'Festival Redcrosse' di benaknya.
"Yah, memang menurut Instruktur, kamu, Eris, Gloria, dan Lucia diperbolehkan beristirahat selama mungkin, tapi sayang kalau kamu melewatkan festival ini juga." pemilik rambut pirang itu menatap ke arah pintu yang terbuka. "Eris dan Lucia pergi ke festival, Gloria diajak oleh Karen. Mereka mungkin tidak ingin memikirkan apa yang telah terjadi."
Soal Hana, mungkin Fiore ingin berkata demikian. Atau soal para musuh yang asing dan sangat kuat.
Mungkin tidak sepantasnya mereka memikirkan tentang dua orang yang mencoba membunuh mereka berlima karena tidak akan ada habisnya. Akan tetapi, bahaya yang sama bisa datang kapan saja. Ann juga merasa tidak biasa baginya memikirkan hal ini lamat-lamat, bahkan sampai terlarut. Ann yang biasa akan menaikkan bahunya dengan tidak peduli dan menjalani harinya seperti biasa, mencoba mencari solusi termudah dari segala situasi tanpa harus repot.
Fiore menatapnya aneh dalam beberapa menit ini, terlebih lagi karena ia tidak menjawab apa-apa. Gadis berambut pirang itu akhirnya menarik tangannya dengan agak kuat, menyuruhnya berdiri.
"Ayo kita ke festival juga."
"Kita?"
"Kamu dan aku," Fiore memperjelas. "Tidak ada lagi yang akan mengajakmu pergi."
"Kalau kamu membiarkan aku di sini saja, bagaimana?"
"Ah, tuh cara membalasmu yang menyebalkan sudah kembali," gerutu Fiore. "Sudahlah, ikut saja. Tidak baik cuma tidur seharian."
Ann tidak merasa ada paksaan yang membuat Fiore berusaha menariknya pergi, ia pun dengan diam turut.
Lagipula, pilihan apa lagi yang ia punya selain ini?
✾
Festival Redcrosse terletak di jantung kota, mereka harus melalui jalan utama untuk sampai ke pintu masuk kota dan mengantri seperti yang lain.
Beberapa tentara sebenarnya mempersilakan mereka masuk duluan, tapi mereka berdua menolak. Anggota Sekolah Militer Dresden harus menunjukkan sikap yang patut dicontoh, itu menurut aturan etika siswi yang berlaku.
Cuaca musim panas yang terik itu sirna sesaat mereka melangkah masuk ke dalam kota yang sejenak berbeda jauh dari saat masa persiapan. Orang-orang berkerumun di berbagai kedai makanan dan minuman, namun mereka tertib sehingga jalan utama untuk menuju ke tempat-tempat wisata yang ditunjukkan tidak tertutup. Hiasan warna-warni seperti balon dan bendera pada lampu-lampu penerang jalan memberi kesan cerah yang nyaman di mata. Kedai-kedai yang berbentuk sekedar meja atau kubikel saja dihias sesuai dengan warna barang yang mereka jajakan, misal seperti kedai es serut dengan meja dengan tirai aksen biru laut.
Ann tidak asing dengan festival, walau mungkin festival Kota Nelayan tidak bisa dibandingkan dengan festival Redcrosse di hadapannya sekarang. Ia merasa seperti seekor ikan di lautan luas yang tidak pernah dikenali; segalanya tampak abu-abu dan buram, suara-suara di sekitarnya terdengar bising tidak bersahabat, ia tidak mampu mencium bau laut padahal laut tidak jauh dari sana.
Seperti otaknya menolak kehadiran tempat lain yang bukan Kota Nelayan.
"Ann."
Tangan yang menggenggam dan menariknya pergi itu mengelus punggung tangannya lembut. Alih-alih sekelilingnya mulai fokus dan menajam, Ann mengerjap, menatap lurus Fiore di depannya yang menatapnya dengan bingung. Mereka tengah ada di tengah-tengah kerumunan tempat empat jalan bertemu, lalu-lalang orang membawa makanan dan minuman atau peta penunjuk festival berjalan teratur layaknya semut berbaris. Panas matahari di hari itu sangat terik, terasa membakar kakinya yang beralas sepatu tebal dan membuat gerah tubuhnya yang berbalut seragam.
Fiore mulai mengernyit, ekspresinya gamang.
"Beli minum, yuk? Kamu sepertinya haus."
Ann sekedar mengangguk, menunggu Fiore menariknya ke salah satu kios di dekat mereka. Papan penanda di atas meja itu bertuliskan milkshake.
"Wah, anak-anak dari Dresden, selamat datang!" pria berkulit coklat berpakaian oblong putih dengan balutan handuk di kepalanya menyapa mereka. "Silakan pilih rasa yang kalian inginkan dari daftar menu di sini. Gratis."
"Eh? Ti-tidak, kami bukan kesini untuk mendapat gratisan!" Fiore mencoba menolak. Pria tadi terkekeh puas.
"Kalian bukan yang pertama kok! Ini tanda terima kasih karena sudah membantu kami merapikan toko dan membawakan barang!" sambutnya bersemangat. "Kalau kalian tidak memilih, kupilihkan."
Ann melihat Fiore menyerah cepat, menghela nafas panjang sebelum menuruti kemauan pak penjual minuman. Pemilik rambut coklat itu menilik papan menu yang bersandar di sisi kanan meja. Berbagai gelas warna-warni digambarkan di sana beserta penjelasan nama dan rasa. Di kaki papan, ada petunjuk yang bertuliskan kalau pembeli dapat memilih untuk mengurangi takaran es dan gula sesuai keinginan.
"Pak, maaf, boleh saya bertanya?" Ann menaikkan tangan.
"Ada apa, nak? Sudah memilih?"
"Milkshake itu apa ya?"
Baik pak penjual minuman dan Fiore sama-sama tertegun.
✾
Dua gelas besar di tangan; merah untuk Fiore dan putih untuk Ann, mereka menepi ke sisi taman utama yang tidak banyak dikunjungi orang.
Di tengah terik matahari itu, interkom berbunyi untuk mengumumkan bahwa akan ada konser siang di panggung pantai. Para turis yang tertarik segera menuju pantai, meninggalkan area-area taman yang diperuntukkan untuk beristirahat atau sekedar menarik nafas sejenak.
Ann menatap gelas dingin di tangannya yang berisi susu rasa vanilla yang dikocok dengan es batu hingga berbuih. Gelas itu terus berkeringat karena suhu panas, Ann belum sekalipun mencoba meneguk isinya. Fiore meminta minuman miliknya diblender, isinya terlihat lebih penuh dibandingkan minuman Ann.
Setelah mendengar penjelasan dari pak penjual minuman yang baik hati dan Fiore yang berusaha tidak marah atau tertawa, Ann baru tahu tentang apa itu milkshake yang dijual. Intinya, susu kocok; bisa dikocok manual menggunakan gelas kocok berwarna keperakan atau diblender dengan mesin. Es dan gula opsional, tergantung selera pembeli, tapi pak penjual minuman menyarankan mereka membelinya dengan es. Ada juga pelengkap tambahan seperti kembang gula dan pemanis-pemanis lain yang Ann tidak tahu namanya, jadi Ann memilih yang polos.
Mereka duduk di salah satu bangku panjang yang teduh di bawah sebuah pohon rindang. Dari tempat mereka duduk, mereka masih dapat melihat hiruk-pikuk bazar yang tiada habisnya bergulir.
"Di Kota Nelayan tidak ada milkshake?"
"Kakakku tidak suka susu."
"Pantas. Paling tidak kamu pernah mencoba susu, sih."
Sunyi, hanya suara mereka mencoba menikmati susu dingin di tengah cuaca panas untuk melepas dahaga, sebelum akhirnya Fiore membuka suara lagi.
"Kamu terlalu diam, hampir kukira kalau kamu bukan Ann."
"Bagus dong, kalau aku diam?" Ann mengedikkan bahu.
"Bagus sih bagus, tapi kelas kita terlewat diam setelah Hana dirawat."
Ann mengulum bibir. Lidahnya terasa kelu. Entah ekspresi apa yang dibuatnya sekarang, namun Fiore segera mengacak rambutnya gusar, menyadari sesuatu.
"Ah. Maaf aku membawa-bawa soal itu."
"Tidak apa-apa."
Jeda berikutnya terasa lebih berat, Ann menunduk menatap pangkuannya dan gelas yang ada di genggamannya. Bimbang. Kalut. Benang-benang kusut di dalam kepalanya membuatnya bingung.
Ann menarik pandangan kembali ke Fiore, yang kembali dengan raut wajah sedikit muram.
"Kamu tidak ada saat itu, tapi apa kamu merasa kesal ketika tahu kami membiarkan Hana tumbang?"
Pertanyaan itu meluncur cepat dari mulut Ann. Mata biru Fiore melebar sedikit, sebelum ia meluruskan punggung.
"Tentu saja," balasnya cepat dan lantang. "Aku juga anggota Kelas Sembilan."
"... Maksudmu?"
"Aku juga merasa tidak dapat menolong Hana." Fiore menatapnya lurus. Tidak ada keraguan di air mukanya. "Aku terus berandai kalau saja aku menyadari sesuatu yang ganjil, atau andai aku datang lebih cepat setelah Instruktur Bathory memberitahukan soal kalian dalam bahaya. Aku merasa tak berdaya."
Ann mengerjap sekali. Sejenak, ia merasa melihat Fiore membakar matanya, membuatnya merasa perih dan terenyuh.
"Kamu tidak sendiri, Ann. Aku yakin semua juga merasakan hal yang sama, bahkan Instruktur pun."
"Aku tidak sendiri?"
"Ya, kamu tidak sendiri. Kita semua khawatir soal Hana." Fiore meraih tangannya. "Tapi Hana tidak akan senang kalau kita bersungut-sungut saja, bukan?"
Tangan Fiore yang meraih menggenggam tangannya terasa lebih dingin, seperti air yang mengguyur langsung ke wajahnya, menyuruhnya sadar.
Ah.
Seperti itu, ya, yang dinamakan empati?
Ann menurunkan kedua bahunya, mengangguk kecil pada ucapan penuh emosi dari Fiore.
"Aku, rasanya aku mengerti."
"Bagus, semoga kamu jadi cerewet lagi setelah ini." Fiore menutup dengan deham. Semburat merah muncul di pipinya sesaat ia menarik tangan kecilnya pergi.
'Ia tidak sendiri' adalah sebuah kalimat yang baik. Kalimat itu membuatnya merasa ringan. Ada anak-anak Kelas Sembilan lainnya yang juga merasa kehilangan, merasa lemah; Ann tidak perlu berdiam diri dan bicara dengan mereka.
Bukan sebuah hal buruk, walau mungkin belum bisa ia terapkan secepat itu.
Dirinya yang tak acuh masih merasa segalanya merepotkan.
Akan tetapi, ia ingin percaya dengan kalimat Fiore barusan, untuk saat ini. Karena, ia masih punya hal lain untuk dipikirkan.
Selain seputar Hana, ada banyak sekali pertanyaan di benaknya selepas kejadian itu. Seperti sebuah 'pintu' telah terbuka dan dirinya tenggelam dalam hempasan yang datang tiba-tiba setelahnya. Ia tidak tahu siapa yang harus ia tanyakan mengenai hal-hal itu selain kakak tirinya, Julia Knightley. Walau demikian, Ann tidak tahu harus memulai bertanya dari mana, atau pertanyaan seperti apa yang harus ia sampaikan.
Ann menyambut pandang Fiore lagi, kini dengan permintaan di ujung lidah.
"Fiore?"
"Mm?"
"Mau bantu aku tulis surat untuk kakakku lagi?" [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro