XXXIV. | Laksana
Walaupun dibilang jaraknya dekat, menuju reruntuhan gedung yang disebut di peta mengharuskan mereka untuk melintasi sebuah sungai.
Sungai-sungai yang ada di sekitar Redcrosse, karena sangat dekat dengan laut, tidak berbatu. Karena daerah sekitar reruntuhan gedung itu juga ditinggalkan, tidak ada infrastruktur pembantu seperti jembatan kayu yang bisa dilewati.
Untungnya, sungai itu cukup dangkal, kurang lebih sebetis Ann. Aliran sungai juga tidak terlalu deras, jadi mereka akhirnya memutuskan untuk menyeberangi sungai dengan berbaris sambil mengikat diri masing-masing dengan tali. Ann menjadi yang paling depan, Lucia di paling belakang dan Gloria di tengah.
Setelah mengingatkan satu sama lain agar mereka melepas sepatu dan bergerak perlahan sesuai aba-aba, mereka pun mulai menyeberang.
"Hana! Jangan goyang-goyang!" pekik Ann setengah jalan.
"Ada ikan lewat di dekat kaki Hana! Geli!"
Gloria di belakang mereka terbahak-bahak.
"Kamu juga jangan ikutan goyang, Gloria." peringat Eris.
"Sudah, sudah. Ayo jalan terus Ann."
Sungai yang lebar membuat mereka berjalan cukup hati-hati. Bisa saja kalau Ann kehilangan keseimbangannya, Hana di belakangnya akan turut dan mereka terbawa arus sampai ke laut. Sebenarnya tidak apa-apa sih, cuma akan terdengar cukup bodoh. Mungkin kalau Cincin Peri mereka bisa merekam kegiatan mereka sekarang, Instruktur Bathory akan segera mengomeli mereka - untung teknologi belum secanggih itu.
"Sepertinya akan asyik kalau mandi di laut ya!" sergah Hana. "Kamu pernah mandi di laut, Ann?"
"Berenang, maksudmu?" balasnya.
"Oh, namanya berenang, ya?"
Ann mengernyit, "Mungkin bisa juga sih, mandi. Tapi mana enak mandi di air asin. Memang kenapa?"
"Hana juga ingin berenang!" ucapnya antusias. "Dulu Hana cuma sempat melihat laut tapi Hana tidak boleh ke sana!"
"Laut? Ah ... dekat barakmu itu?" Gloria menimpali. "Kamu tidak pernah ke sana?"
"Tidak boleh sama para orang tua, katanya lautnya banyak mayat."
Eris mendelik, namun terkekeh. "Sebentar, obrolannya kok jadi topik hitam begini?"
"Tidak apa-apa, nanti kita main di laut ya setelah ini selesai, Hana." Lucia menambahkan. "Kita punya waktu sebelum kembali ke Folia?"
Ann mengingat-ingat. Kalau tidak salah, mereka punya waktu kosong saat 18 Agustus siang dan sore hari sambil memperhatikan jalannya festival, mereka akan kembali ke Folia pagi tanggal 19 Agustus.
"Benar! Kita bisa menikmati festival dan main ke laut!" sambut Gloria.
Omong-omong soal laut, sudah lama sekali Ann tidak melihat laut di Kota Nelayan. Biasanya, setiap hari ia akan menghabiskan waktu di pinggir laut karena ia mengunjungi barak Kota Nelayan. Dari sisi kota pun laut dengan jelas terlihat karena tidak banyak bangunan tinggi di Kota Nelayan, tidak perlu capek-capek menuju bibir pantai. Malam di Kota Nelayan juga terasa jauh lebih indah bila langit malam cerah, kakak tirinya itu akan belanja makan malam sambil melihat bintang-bintang bersamanya.
Ternyata, kehidupan sederhana itu cukup membuatnya rindu. Kangen. Dan, sesuai kata Muriel, tidak masalah untuk merasa rindu. Tidak perlu malu bila ingin berjumpa dengan orang-orang yang sedari dulu dikenalnya, sama seperti Muriel dan anak-anak panti di kaki gunung Caelia.
"Ann berarti harus memandu kita untuk mandi di laut!" sambung Hana.
"Pakai baju ya, jangan telanjang bulat, nanti bisa-bisa kita masuk koran."
"Hana masih tahu malu kok!"
Mereka semua pun terbahak.
✾
Selepas melintasi sungai, mereka mengeringkan sisi rok dan mengelap kaki mereka, mereka kembali mengenakan sepatu setelah yakin kaki mereka tidak lembab atau terluka dari menyeberangi sungai barusan.
Mengikuti peta yang ada di Cincin Peri, mereka berlima akhirnya sampai ke pagar-pagar batu yang sudah keropos dan dijebol di berbagai sisi. Jejak-jejak sepatu jelas ada di tiap-tiap sisi pagar, selain dari beberapa jejak hewan yang tampak kecil dan nyaris tidak signifikan. Semak belukar tidak tumbuh karena status tanah lempung di sekitaran gedung tampak sudah sengaja disterilkan. Pohon besar yang tumbuh sebelum pintu masuk gedung terbesar di sana terlalu rimbun untuk disebut sebagai pohon asli, mungkin pohon itu ada di sana sebagai hiasan diantara banyak sekali beton dan besi.
Bangunan utama yang terdiri dari beton dengan atap baja dan insulasi dari mineral wol tidak termakan usia, tapi kaca-kaca jendela dan pintu-pintu yang melingkari gedung tidak ada yang utuh. Ada saja yang berlubang karena seseorang melempar pecahan beton atau bongkahan batu, ada juga yang sengaja dipecahkan keseluruhan sehingga orang dewasa bisa masuk dari jendela besar kaca yang ada tepat di sebelah pintu masuk. Tulisan 'Kompleks Penelitian Redcrosse' sudah pudar dari papan penanda yang diletakkan di sebelah pohon artifisial itu.
Dari sekian banyak gedung, hanya 'bangunan utama' saja yang masih berdiri, beberapa bangunan kecil dengan model yang tampak sama di sekitarnya sudah runtuh atau kehilangan atap. Jerami tampak mengotori lantai masuk gedung, tapi selain itu, pelataran gedung tampak kosong-melompong.
Mereka berlima berhenti di tengah-tengah tanah lapang agar Gloria memindai dengan Cincin Peri-nya dalam radius lima meter. Benar-benar tidak ada tanda-tanda manusia ada di sekitar mereka.
"Aneh, tadi kata Instruktur Bathory ada banyak Pencari Harta Karun, 'kan, di daerah ini?" suara bip kecil berbunyi perlahan dari layar pemindaian. "Oh, ini terbaca ada kemungkinan sebuah benda dengan gelombang sihir aneh terdeteksi dari dalam gedung."
Eris menopang dagu, "Sebaiknya kita mulai menyisir di sekitar luar gedung dulu. Siapa tahu para Pencari Harta Karun itu menggunakan alat agar mereka tidak terlihat. Atau ada perangkap hewan yang bisa saja mencelakai manusia."
Gloria menoleh, "Maksudmu, jammer? Pencari Harta Karun di Angia bisa punya jammer untuk menolak interferensi gelombang dari Cincin Peri?"
"Ada saja kemungkinan, bukan?" sergah Eris.
"Apa itu jammer?" Lucia bertanya.
Gloria menutup layar pemindaiannya dan menunjukkan sebuah halaman lain dalam proyeksi tiga dimensi dari Cincin Peri-nya. Sebuah alat berbentuk setengah lingkaran berwarna hitam, ukurannya cukup kecil dan dapat ditaruh di batang pohon atau diletakkan di atas tanah. Deskripsi jammer di layar interaktif itu adalah untuk menutup interferensi Cincin Peri dari melakukan deteksi keberadaan manusia. Alat ini biasa digunakan oleh agen ekstra pemerintah atau anggota tentara yang telah diberi izin.
"Barangnya sudah cukup langka di pasar gelap, tapi ya, begitulah, aku yakin orang-orang tertentu bisa dapat!" imbuh Gloria. Lucia mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Artinya, kamu pernah main ke pasar gelap?" Eris menaikkan alis beberapa kali tanda sugestif.
Gloria sekedar tersenyum makin lebar, "Itu terserah padamu mau menyimpulkan apa, Nona Putri sayangku~"
"Apa ini, topik hitam lagi?" Ann tertawa kering.
"Rasanya hitamnya berbeda dengan punya Hana tadi deh!"
Eris menginterupsi pembicaraan itu dengan berdehem kencang. "Kita tidak perlu berpencar untuk melakukan penyisiran, kita mencari bersama saja, oke?"
"Siap!" Hana yang paling kencang menjawab, memberi tanda hormat kepada Eris.
"Semangat sekali bocah satu ini~" komentar Ann yang sedikit-sedikit menghela nafas panjang.
"Makanya kamu harus semangat juga, Ann." Lucia mencoba menyemangati. Ann melenguh lagi.
✾
Reruntuhan gedung kecil yang mereka singgahi hampir semuanya telah kosong.
Mesin-mesin kontrol yang tampaknya merupakan jantung operasional dari masing-masing gedung tak beratap itu sudah dijebol dan diambil perlengkapannya, hingga tersisa tombol-tombol yang tidak berguna dan stik yang sudah tidak bisa digerakkan. Lemari-lemari penyimpanan yang sepertinya digunakan untuk menaruh berbagai bahan kimia maupun benda-benda penunjang juga semuanya telah dijarah. Gedung-gedung itu benar-benar sudah menjadi sisa, kecuali ada orang yang ingin mengambil beton penyusun bangunannya untuk dijual. Bahkan, ada gedung yang jelas sering dipakai untuk seseorang tidur, ditandai dari adanya kantung tidur yang masih baru dan sisa kayu bakar yang masih keras dan belum seluruhnya menjadi abu.
Walau telah menemukan bekas adanya kehidupan di sana, mereka tidak menemui satu pun orang. Atau satu pun binatang. Sinar matahari yang meredup membuat pencarian mereka yang semula enerjik menjadi sempurna sunyi. Suara bip-bip dari Cincin Peri Gloria menjadi satu-satunya yang ribut, sementara lima pasang mata menangkap keadaan sekeliling dan tangan mereka sibuk mencatat detail yang mereka temukan.
"Nanti kugabung semua di peta milikku, ya, kita obrolin nanti saja pas sudah mau balik ke kota." jelas Gloria, berusaha tidak mengganggu konsentrasi siapa-siapa.
"Nahas juga ya, semua barang sudah diambil." pungkas Eris memperhatikan lemari yang kini hanya ditinggali debu. Kacanya sudah buram sementara lubang kuncinya sudah dirusak.
"Jangan-jangan kalau ada bunker di bawah tanah, isinya juga sudah diambil?" tebak Ann seraya mengedikkan bahu.
Mereka berlima kembali menuju tanah lapang, dekat dengan pohon rimbun. Semua mulai mengumpulkan data mereka ke Gloria dengan menyentuhkan Cincin Peri mereka agar pengiriman data lebih cepat.
"Mungkin saja, semua orang butuh uang." Eris menanggapi. "Tapi tadi di gedung utama masih ada tanda-tanda artifak?"
Gloria mengiyakan, "Menurut Instruktur Bathory sih gelombangnya lebih kuat dari desa wisata dibandingkan di sini, tapi ... aneh, bukan?" ia menampilkan peta yang sudah mulai mereka kurasi. "Tidak ada orang, tapi katanya kegiatannya sedang tinggi. Semua barang sudah diambil dan tempat ini sempurna ditinggalkan, tapi ada jejak keberadaan orang."
"Atau jangan-jangan kita ... sudah dijebak?" Lucia mengimbuh.
"Anak-anak pintar, jadi kita tidak perlu capek-capek menggiring kalian ke tempat lain."
Peta Gloria yang terbuka jelas-jelas di depan mereka tetap tidak menampilkan tanda-tanda adanya orang, tapi ada dua orang dengan jubah dan topeng putih menghampiri tempat mereka berdiri. Dua orang yang berjalan santai, namun tidak sedikit pun tanda-tanda berubah di peta kalau mereka terdeteksi padahal jarak mereka semakin dekat. Hana segera menarik senjata, membuat Ann dan Eris juga mengikuti hal serupa.
Pemilik topeng putih yang di sebelah kanan tertawa. Ia mengangkat kedua tangannya terbuka ke atas. "Santai, santai. Kami kesini bukan untuk mencari keributan," ungkapnya. "Tak kenal maka tak sayang, bukan? Aku Rook dan ini rekanku Messenger, kami di sini cuma memastikan sesuatu."
Messenger mengayunkan tangannya sekali, sebuah kalung muncul di tangannya dan segera sensor di peta mengedip keras pertanda anomali sihir. Kalung itu mungkin adalah tujuan mereka yang hendak mereka cari di dalam gedung itu, mengapa dengan cepat kalung itu bisa berpindah?
"Kalian menginginkan ini juga, 'kan? Bagaimana kalau kalian pergi saja dan biarkan kakak-kakak memiliki ini tanpa perlu memaksa?" suara Rook terdengar memohon dan mendayu, namun gertakan di gigi Hana terdengar lebih jelas.
Eris membentangkan tangannya untuk menahan Hana, dengan pelan ia menggeleng. Kerlingan mata Eris menyiratkan sesuatu ke arah Hana, Ann, Lucia, dan Gloria, mereka segera menyetujui rencana kecil itu.
"Kalau kami bilang kami tidak akan membiarkan kalian kabur?" tantang Eris.
"Permainan dimu--ah!"
Hana melompat dengan cepat mengambil kalung itu dan segera kembali ke posisi awal, ia menyengir lebar dan menunjukkan kalung itu di tangannya.
"Bocah sialan!" umpat Rook. Dua pedang berukuran setengah lengannya dimunculkannya dari balik jubah. Begitu juga Messenger yang memunculkan sebuah tongkat dengan bola besar di pucuknya, decih kecil muncul darinya.
"Permainan baru dimulai, kakak-kakak!" [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro