XXV. | Ekskursi Daerah Kedua
Kota Redcrosse, menurut peta, adalah kota di selatan Caelia yang memiliki stasiun kereta megah yang dapat disandingkan dengan stasiun kereta utama di ibukota Caelia. Wisata pantai, keragaman budaya, dan beberapa situs sejarah di sana menjadi daya tarik wisatawan dari berbagai provinsi. Pantai berpasir putih Redcrosse berbeda dengan pantai pasir di sepanjang Caelia. Keteraturan kota tersebut juga membuat pantai yang ada selalu bersih. Situs sejarah di sana juga cukup terawat sehingga pernah memenangkan piala penghargaan dari pemerintah ibukota setempat.
Kota dengan pelabuhan kecil itu memiliki struktur tanah yang tidak stabil sehingga kota dibangun di atas beton-beton berundak dengan pondasi yang terdiri atas batu-batu besar. Pelabuhan kecil yang menghubungkan selatan Caelia dengan sisi tenggara itu memiliki kapal feri yang berangkat setiap lima jam.
Lagi, Ann tidak mengenal seperti apa Kota Redcrosse selain apa yang ditampilkan di televisi besar, belum lagi Kota Redcrosse itu jauh sekali dari Kota Nelayan. Kalau soal ibukota Caelia, Euryale, Ann masih bisa ingat samar-samar karena kakaknya pernah mengajaknya kesana cukup sering. Kota Folia yang baru ditinggalinya sebulan saja belum ia terlalu ingat.
Kepala Sekolah Durandal menjelaskan bahwa Ekskursi Daerah kali ini mereka akan membawa tim lengkap, artinya Kelas Sembilan hanya perlu fokus dengan tugas mereka dan tidak perlu repot mengurusi pembangunan barak, pengaturan persediaan, persiapan dapur umum dan tetek-bengek lainnya. Walau demikian, Kelas Sembilan dihimbau untuk tetap membantu bila Kelas Tiga dan Kelas Enam punya keperluan.
"Kita akan bawa Warden?" tentu saja Gloria akan bertanya.
"Empat tipe Oberon, dua tipe Lysander, satu tipe Titania-Alpha, dan satu tipe Demetrius, ya." Kepala Sekolah menjawab dengan mantap. Gloria menyembunyikan kegirangannya sesaat Instruktur Bathory menatap ke arahnya tajam.
Agenda tugas untuk Kelas Sembilan belum diperjelas, tapi sepertinya mereka akan mengikuti aturan seperti saat mereka pergi ke Leanan: mereka akan melakukan pemeriksaan kargo di stasiun dengan polisi militer provinsi setempat. Lalu, setelah selesai dengan pembangunan barak sementara di dekat tempat kereta mereka diparkirkan, mereka akan menghadap pemimpin daerah setempat.
"Sayang kita nggak punya pemandu kali ini, ya." tukas Val setelah mereka dibubarkan. Selayaknya biasa, dia sudah sibuk mencatat apa saja yang tadi disampaikan. Buku catatannya sudah setengah penuh padahal mereka belum ada dua bulan bersekolah.
"Memang sangat perlu adanya pemandu?" celetuk Karen. "Ada peta daerah yang bisa dibagi di Cincin Peri masing-masing, 'kan?"
"Iya sih, dan lagian juga lihat anak-anak dari Caelia itu, mereka tidak becus semua. Kecuali Muriel." ledek Alicia, seketika Blair menepuk punggungnya keras.
Ann hanya sekedar menguap menanggapi hal itu.
"Aku tinggal di utara, Muriel tinggal di pegunungan dengan Bluebeard dan si malas--ah, kamu tinggal dekat ibukota provinsi ya?"
"Kota Nelayan," koreksinya lemas. "Dulu desa, cuma menurut batas-batas apalah itu, wilayah itu jadi kota. Kami juga punya barak tentara sendiri."
"Di tempat Ann ada barak tentara juga!?" Hana menyambar dengan takjub. Ann merasa sudah salah menyebutkan. Dan benar saja, Hana langsung mendekatinya dan mulai melingkarkan tangannya di lengan Ann, menarik-narik tidak sabaran. "Ceritakan, ceritakan!"
"Apa menariknya, toh aku bukan tentara di sana." gerutu Ann.
"Ya tapi kalau kamu lulus kamu pasti lebih mau ditempatkan di sana, bukan?" Val mencibir.
"Ada benarnya."
Ann tetap digelendot oleh Hana sepanjang mereka berjalan dari auditorium hingga kelas, Hana berusaha membuat Ann bercerita. Tampak yang lain jadi turut penasaran, jadi Ann membalas mereka seadanya soal barak tentara Kota Nelayan.
"Kamu punya kakak!?" pekik Blair. "Apa kakakmu juga separah ini malasnya?"
"Hei, jangan hina kakakku," tukas Ann. "Nggak, dia itu semacam, mungkin wakil ketua di sana. Dia super sibuk."
"Menyenangkan punya saudara." imbuh Lucia. Ann dan Blair segera terdiam. "Eh, ah, tenang. Bukan maksud saya membuat beku suasana. La-lanjutkan saja cerita kalian."
"Saudara tiri, kok. Julia bukan kakak kandungku."
Alicia menepuk pundak Ann, "Pantas saja beda jauh, ya nggak Blair?"
"Setuju setuju!" Hana memekik senang.
"Kalian ini, pujilah orang sedikit." komentar pemilik rambut coklat itu setengah hati. Tapi yah, tidak ada yang bisa dipuji darinya.
Fiore yang duluan mengomentari, "Tidak ada yang patut dipuji darimu."
"Ow, terdengar menyakitkan sekali, Pendek."
"Ya, terutama mulutmu itu!"
"Sudah, sudah kalian~"
✾
Omong-omong soal Julia Knightley, Ann benar-benar belum sempat menulis surat kepada kakaknya itu.
Mungkin lumrah kalau dirinya yang beralasan sibuk dan hendak mengirim surat nanti-nanti saja, tapi tidak menjamin akan ada 'nanti-nanti saja' terjadi. Bisa saja ia benar-benar lupa, atau nanti malah si kakak yang mengiriminya surat duluan dengan petikan pembuka: 'Hei, kamu sudah mati ya di sana?' dengan maksud bercanda.
Tidak, tidak. Ann sesekali harus tahu rasa terima kasih. Salah satunya adalah mengirim surat walaupun cuma selembar.
Malam itu, ia mengungsi ke ruang belajar asrama karena di kamar ia merasa tidak dapat menulis. Ann sudah menyiapkan bak tinta penuh dan pena dengan ujung yang masih runcing. Kata-kata yang ingin ia tulis sudah ada di benaknya, tapi entah kenapa ia tidak dapat menulis satu kalimat pun. Terlalu banyak coretan hanya akan membuat kakaknya mencibirnya nanti.
"Tumben belajar."
Tak disangka Ann, yang menyapanya adalah si pendek - Fiore Angelica Alba. Ia tampak baru selesai mandi, dari harum tajam sampo dan sabun yang tercium seketika Fiore menarik salah satu kursi untuk duduk di sampingnya di meja terpanjang di ruang belajar. Fiore hanya mengenakan kemeja putih dan rok seragam, khas seluruh siswa setelah mereka mandi atau latihan.
Rambut pirang Fiore yang biasa ia kepang dibiarkan lepas, hampir Ann menduga kalau itu Eris, tapi Eris tidak sependek itu. Mata Eris juga tidak berwarna kirmizi.
"Aku mau menulis surat."
"Hee," ia menaikkan kedua alis. "Kalau kamu bilang kamu belajar, kurasa dunia sudah terbalik."
"Segitunya kamu menganggap rendah aku, Pendek?" cengirnya.
"Kamu kapan sih nggak minta ditinju?" balas Fiore geram. "Ada yang bisa kubantu?"
"Tumben baik."
"Knightley."
Ann tak pelak tertawa lepas melihat Fiore yang mungkin sebentar lagi benar-benar meledak secara harfiah.
"Ya sudah, carikan kata pembuka yang enak tapi nggak mendayu-dayu."
Fiore jelas menggeram sekali lagi, tapi ia benar-benar membantunya.
Mulai dari kata pembuka, hingga struktur surat sehingga ia tidak terkesan terlalu banyak menumpuk tulisan di satu paragraf. Fiore juga memarahinya kalau ia mulai buang-buang tinta.
Sampai kalimat penutup dan sekian kertas dicapai, Ann sesekali mengejek Fiore lagi dan lagi.
"Kamu malas tapi tulisanmu bagus. Lebih bagus lagi kalau kamu isi buku catatanmu dengan tulisan yang bagus."
"Oh? Kamu tahu aku nggak pernah mencatat?"
"Ya, siapa juga yang selalu tidur di kelas Sejarah atau Linguistik?"
"Hana."
"Kamu juga, Knightley." hardiknya.
Seusai membubuhkan tanda tangan di akhir surat, Ann melipat kertas itu dan menyisipkannya ke dalam amplop. Entah kapan ia bisa mengirim surat itu, tapi ia usahakan besok atau lusa untuk menyempatkan diri ke kantor pos yang ada di Stasiun Folia.
"Aneh tapi kamu memilih menulis surat, sekarang 'kan Cincin Peri sudah canggih?"
"Kakak lebih senang menerima surat. Dia terlalu sibuk untuk terima telepon yang bukan urusan kerjaan."
Fiore berdengung, lalu mengangguk. "Nah, sudah. Aku mau balik ke kamarku."
"Oh iya," Ann menghentikan tangannya. "Terima kasih, Fiore."
Pemilik rambut pirang itu tertegun, terasa lebih lama dari semenit. Ann sampai merasa ia sudah lancang menarik pergelangan kecil itu dalam waktu lama.
Perlahan, rona merah muncul di wajahnya, yang segera ia sembunyikan dengan mengalihkan muka. Dengan segera ia menarik tangannya. Ann sekedar mengerjap.
"T-Tumben kamu memanggilku dengan namaku."
"Tidak ... masalah, 'kan? Atau kamu lebih suka dipanggil Pendek?"
Fiore kembali menoleh, kembali galak, "Sudah kubilang dari awal itu nggak sopan!"
"Oke, jadi, Fiore."
Ia menghela nafas panjang dan langsung pergi, tidak sekalipun menoleh. Ann menganggap itu sebagai tanda setuju. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro