XXII. | Sebuah Rutinitas
Juli yang terasa panjang akhirnya berganti menjadi Agustus. Dan, Ann merasa jam biologisnya yang membuat dirinya terbangun lebih cepat dari biasanya sudah tidak bisa tertolong lagi. Musim panas mencapai puncaknya di bulan Agustus, tapi tentu kegiatan di luar ruangan tidak akan berkurang. Malah rasanya semakin banyak.
Apel pagi, kegiatan fisik, mata pelajaran yang banyak dan silih berganti, segalanya kini sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Sudah tidak ada lagi malam-malam badannya nyeri. Malah, pernah dirinya terjaga cukup lama mendengarkan Gloria mengoceh tentang serba-serbi Warden yang tidak ia ketahui sambil mereka melumas oli di atas tombak.
"Ada apa, Ann? Kamu mau sarapan yang lain saja?"
"Ah, nggak, bukan itu."
Di depannya, Muriel tengah duduk. Dua piring nasi campur ada di hadapan mereka bersamaan dengan segelas air. Nasi campur, adalah masakan keahlian Muriel yang mengandung orak-arik telur, iris tipis daging, nasi yang digoreng bersama dengan bumbu-bumbu dan bubur brokoli, sehingga nasinya hijau. Nasi itu menjadi favorit asrama sehingga Muriel sampai membuatkannya paling tidak sekali seminggu. Apa saja yang dimasak Muriel sangat enak, seperti biasa. Mungkin dia juga akan membuat air yang sedap bila dia memasak air.
"Tapi?"
"Nggak, nggak ada 'tapi' di akhir kalimatnya."
"Oke."
Berbagi meja dengan anak-anak Kelas Sembilan baik itu sarapan, istirahat siang maupun makan malam sudah menjadi hal yang biasa. Ann tidak pernah mencari mereka tapi ada saja satu atau dua yang nimbrung di mejanya atau dia yang tidak kebagian tempat dan akhirnya menumpang. Seperti sekarang, Muriel selalu benar menebak apa yang ia inginkan untuk makan dan Muriel akan ikut makan bersamanya.
"Katanya sebentar lagi kita akan mendapat tugas Ekskursi Daerah berikutnya."
"Oh?" Ann menyendok nasinya asal-asalan. Suap-suapan kecil. "Ke mana?"
"Itu aku juga belum tahu," ucap Muriel. "Tapi mungkin untuk yang saat ini semua bisa ikut, seluruh anggota Kelas Tiga dan Kelas Enam."
Ann mendengung, sekedar memberi tanda kalau dia mendengarkan.
"Aku penasaran kalau kita bisa datang ke Spriggan juga atau tidak, Spriggan sudah jadi bagian provinsi Angia, 'kan?" Ann mengangguk sekali. Muriel menepuk tangannya. "Hana bilang Spriggan itu indah, aku jadi tambah penasaran."
"Kalau setiap bulan kita Ekskursi ya, kemungkinan kita bisa ke Spriggan?" komentar Ann.
"Berarti naik kapal?"
"Bisa saja naik, apa itu namanya, aircraft? Kata Gloria, Dresden punya aircraft."
Ann tidak pernah lihat dari dekat, tapi menurut Gloria, sekolah mereka punya aircraft berukuran cukup besar yang diletakkan di hanggar bagian dalam. Pesawat kargo itu mampu terbang dengan kecepatan cukup tinggi dan mampu menampung banyak penumpang dan kargo sebanding dengan kereta cepat milik sekolah. Seberapa banyaknya muatan, Ann tidak terlalu hafal. Itu mungkin hanya Gloria saja yang tahu.
"Wow! Sekolah kita punya segalanya, ya!"
"Ada benarnya."
✾
Selain dengan rasa terbiasa, Ann menangkap bahwa siswi Kelas Sembilan juga perlahan lebih berpengalaman dari sebelumnya, terutama dari sisi pertarungan tunggal. Memang, mereka diharuskan untuk berlatih setiap hari dan Instruktur Bathory mengawasi perkembangan mereka, tapi Ann tidak menyangka perubahan yang cukup signifikan dapat terjadi dalam kurun waktu satu bulan lebih.
Ayunan kapak Blair tidak akan bisa sekuat Muriel, tapi Blair sudah bisa mengalokasikan kekuatannya secara efektif sehingga tidak ada lagi energi yang terbuang percuma. Fiore dan Karen semakin mengerikan dengan olah sihir mereka, ini sudah tidak usah dibahas. Gloria yang sebelumnya kurang ahli dalam menempatkan dirinya ketika melakukan penyerangan sekarang ahli membaca situasi dengan lebih cepat dan tepat. Val yang kerap ragu dalam menembak kini mampu menembak tepat beberapa sasaran sekaligus. Hana yang cukup ceroboh sekarang sudah bisa mengontrol dirinya sendiri untuk membantu anak-anak lain.
"Ann, apa kursi di sebelahmu kosong?"
Ann mengerjap dari lamunannya. Kelas berikutnya belum mulai hingga setengah jam lagi tapi ia malas bergerak dari kelas. Sesekali ia membalik halaman buku Linguistik yang tidak ia baca karena bosan, dan sekarang, Lucia datang dan bertanya.
"Duduk saja."
Lucia mengangguk. Seperti biasa, cara duduk Lucia adalah yang paling santun di antara semua bangsawan yang Ann pernah temui di Dresden: ia akan melipat bagian roknya dari samping, duduk setelah meluruskan bagian alas, kemudian kedua tangannya akan menangkup di pangkuan, atau di atas meja. Tongkat sihir yang selalu dibawanya akan disandarkan di tepi, mudah untuk dijangkau.
Gadis berambut hitam itu juga satu dari banyak yang meningkat kemampuannya dalam jangka waktu sebulan. Lucia yang semula sulit sekali membuat bola elemen kini sudah bisa memunculkan bola elemen kecil dari segala macam elemen dasar. Kemampuan penyembuhannya juga meningkat sedikit sehingga ia mampu menutup sempurna luka gores dan luka tusuk yang tidak terlalu dalam.
"Tadi kamu latihan sama Pendek pagi-pagi?"
Lucia tampak kaget, "Oh. Kamu melihatnya?"
"Muriel dan Alicia yang bilang." tukasnya. "Pendek nggak galak?"
Lucia terkekeh, "Fiore itu lucu dan penyayang. Sepertinya dia cuma galak ke kamu saja, Ann."
Ann mendelik dari awal kata 'lucu', tapi ia sekedar menelengkan kepala. "Oh. Bagus deh kalau kamu nggak diomelin pas diajari."
"Fiore sangat sabar, begitu juga Karen bila mereka membantu saya mempelajari sihir," Lucia tampak senang sekali, senyumnya merekah dan pipinya merona. "Saya tidak terlalu mengerti sihir, tapi mereka membuat sihir terasa mudah."
Ann menyandarkan dagunya. "Kenapa harus sihir? Kamu tidak bisa hal lain?"
Lucia melirik ke arah tongkat di sampingnya. Tongkat itu memiliki panjang sedang, warnanya toska kromium. Di kepala tongkat terdapat ulir yang mengingatkan Ann pada simbol setengah sayap Sylph.
"Saya hanya ingin menggunakan tongkat ini demi kebaikan."
"Atau kamu bisa menghajar kepala orang pakai itu sebagai pentungan."
"Ann." Lucia tak bisa menahan tawanya, walau sepertinya tawa terpingkal versi Lucia hanya dia menutup bibirnya dan menahan getaran seluruh tubuhnya. Bukan membuka mulutnya lebar-lebar. "Rasanya itu terlalu barbar."
"Lihat saja Muriel, misal."
"Itu kapak, Ann. Tongkat akan cepat buyar kalau lawannya kapak."
Mereka pun akhirnya mulai membicarakan soal anak-anak Kelas Sembilan hingga ruang kelas mulai ramai kembali. Sebuah rutinitas yang tidak terlalu melelahkan.
✾
Makan malam hari itu, Ann baru datang ke ruang makan asrama setelah mandi. Kebetulan hanya ada meja milik Eris dan Alicia yang kosong. Mereka tampak baru saja selesai berlatih pedang, melihat Alicia yang menyeka dahinya yang berkeringat berulang-ulang. Alicia melihat ke arah Ann dan ia segera melambaikan tangan, menunjuk kursi kosong di meja mereka.
Para gadis pengguna pedang yang selalu berlatih setiap harinya, mereka-lah yang sering terlihat di ruang latihan milik asrama. Walau yang paling sering adalah Eris, Alicia hampir harus ada bersamanya. Paling tidak kalau Eris absen, Hilde akan ada di sekitar Alicia. Status narapidana-nya tidak berbohong.
"Aku nggak pernah lihat tim tombak latihan." imbuh Alicia, mereka bertiga tengah menikmati puding roti untuk makan malam.
"Karena tempat latihannya dipakai tim pedang?" jawab Ann asal.
"Kita bisa berlatih bersama loh. Sparring juga boleh." Eris mengidekan. "Sekali-sekali bertarung lawan senjata yang berbeda sepertinya menarik."
"Tunggu, tuan putri, ingat waktu kita minta lawan Hana dan kita bertiga tidak dapat mengenainya karena dia lincah sekali?" Alicia menghela nafas panjang. "Demi Sayap Peri, anak itu benar-benar gesit sekali. Mana senjatanya berat."
Eris sekejap tampak lelah, ia memijat batang hidungnya dan menggeleng-geleng. "Untungnya dia bukan musuh kita."
"Hana ... secepat itu?"
"Bukan main, Ann! Kamu sekali-sekali harus coba melawannya!" keluh Alicia. "Semoga Instruktur Bathory tidak iseng dan membuat itu jadi menu latihan siang kita."
'Tentara anak-anak' itu sepertinya juga bukan sekedar nama saja. Dia benar-benar terlatih.
Ada saja kejutannya, Ann tidak pernah kehilangan materi yang membuat dia terkejut setiap hari. Apa kira-kira kakaknya bakal senang menerima surat penuh dengan keluhannya selama di sekolah, ya?
Ah, sebaiknya ia mulai berpikir untuk menulis ke kakaknya sebelum ia lupa lagi. [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro